29.1 C
Jakarta
Sunday, December 15, 2024

Gwangju 1980

Langit pada hari yang tak terlupakan itu merekah. Cahaya merah semburat dari ufuk timur, seolah darah terburai dari luka yang baru saja terbuka. Sungai di Gwangju mengalir lambat, mengendap di antara gedung-gedung dan bangunan-bangunan, berupaya mengabarkan sesuatu yang enggan disampaikan.

Sementara, di jalan-jalan di pusat kota, ribuan kaki memukul aspal yang retak, satu demi satu membentuk denyut kehidupan yang akan dihancurkan oleh kekerasan.

Segala sesuatu terasa lebih lambat sekaligus berat. Bahkan, burung-burung yang biasanya berkicau di pepohonan sepanjang Geumnam-ro seakan dipaksa menahan napas. Suara yang paling lantang dan pertama kali memecah damai adalah langkah sepatu bot. Berat, teratur, dan berirama; ritmenya menyusup ke dalam dada setiap orang yang bersembunyi, bahkan di balik jendela rumah mereka yang jauh dari pusat keriuhan.

Asap dari ban-ban yang dibakar berbaur dengan debu jalanan yang menguar jalang, melukis langit dengan goresan hitam pekat dan merah yang buram. Suara-suara datang silih berganti, kadang berharmonisasi –teriakan, tangisan, jerit pukulan tongkat, dan desing peluru–mengiris udara yang dingin. Suara-suara yang terlalu sulit didengar tanpa melibatkan rasa cemas yang berlebihan, seolah bumi sedang mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa dipahami.

Orang-orang berkemeja lusuh –karena sempat terjatuh– berlarian, beberapa menyeret tubuh mereka sendiri yang terluka oleh hunjaman peluru. Yang lainnya memanggul beban yang lebih berat: entah saudara, entah kerabat, entah anak, entah kawan seperjuangan, atau seseorang yang baru saja mereka temui tetapi sudah dianggap sebagai saudara atas kesamaan pandangan. Bau darah dan keringat bercampur menjadi aroma yang tak ingin dikenang, tetapi tak pernah bisa dilupakan.

Geumnam-ro kini tak ubahnya ruang penuh tubuh. Di permukaan aspal yang keras, barisan tubuh tak berdaya tergeletak, sebagian telah kehilangan nyawa, beberapa masih bergerak dengan menyertakan keengganan yang tak terucap.

Tidak ada perbedaan yang jelas di antara mereka, kecuali sekelompok orang berseragam yang berlindung di balik senjata dan terus bergerak bersama kepongahan.

”Akhiri kediktatoran!”

”Turunkan Chun Doohwan!”

Seruan lantang itu berbalas salak senjata dan lemparan gas air mata. Kerumunan para pengunjuk rasa berlari, tanpa arah, tak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada satu tujuan di benak masing-masing dari mereka, berlari sejauh mungkin dari gapaian para tentara yang dilindungi tangan-tangan kekuasaan. Orang-orang berlarian dengan wajah kosong, tak menyisakan ruang untuk pertanyaan –yang mungkin juga tak memiliki jawaban.

Di tengah kerumunan yang hilang bentuk, seorang pria paro baya yang mengenakan ikat kepala berwarna putih berdiri tegak, matanya kosong, menelusuri setiap sudut yang menampilkan ketiadaan.

Namun, di dalam tatapannya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesedihan. Seperti ia menyaksikan seluruh dunia telah runtuh dan tak lagi percaya pada apa pun; pada siapa pun.

Detik berikutnya, tongkat berkelir hitam melesat, mengucapkan salam perkenalan yang tak pernah diinginkan, tepat di keningnya. Pria itu meraba-raba keningnya, mendapati sesuatu yang hangat sekaligus lengket.

Ikat kepala berwarna putih itu perlahan berangsur merah, bercampur pekat darah, seperti tinta yang tumpah di atas kertas basah. Ia ambruk, bersamaan itu tongkat kembali menggerayang, bukan hanya di kening, tetapi di seluruh tubuh ringkihnya.

Di salah satu sudut lainnya di Kota Gwangju, Junghwan melajukan taksinya dengan hati dan rahang yang mengeras. Tangannya menggenggam roda setir dengan kaku, berkendara tanpa peduli terhadap rambu-rambu.

Baca Juga :  Kelabu di Kepala Anwar

Nyala lampu merah bukanlah perintah untuk berhenti, tetapi terlihat serupa panggilan untuk terus melaju. Setiap detik yang dilalui Junghwan adalah taruhan hidup-matinya seseorang yang sedang berjuang melawan kediktatoran.

Terhitung sejak tadi pagi, Junghwan telah membawa tiga orang keluar dari Geumnam-ro: seorang pria dengan luka akibat hantaman benda tumpul di mata kaki, seorang wanita yang tak berhenti menangis sambil memegangi perutnya yang terus mengucurkan darah akibat tertembus timah panas, dan kini, seorang mahasiswa yang seragamnya tampak lusuh serta penuh bercak darah yang nyaris kering.

Di kursi belakang, mahasiswa itu bernapas pendek-pendek, memeluk sebuah buku berlatar merah. Buku itu, entah jurnal harian, atau semacam manifesto yang mungkin terlalu sulit dipahami oleh orang awam sepertinya.

Junghwan enggan bertanya. Ia hanya memandangi dengan ekspresi iba mahasiswa itu melalui kaca spion depan, mengamati bagaimana bibirnya bergerak seperti sedang berdoa atau merapal harapan yang nyaris musnah.

Junghwan tidak sendiri, di jalan-jalan utama Kota Gwangju, para sopir taksi lainnya bergerak dalam kesenyapan yang terkoordinasi, layaknya arus sungai yang mengalir menuju hamparan laut. Mereka tak saling mengenali, tetapi dalam gelap yang tak berwujud, mereka saling memahami. Mereka bergerak ke satu tujuan akhir yang sama: rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, Junghwan segera menurunkan penumpangnya, memapahnya menuju ruang gawat darurat. Namun, ketika ia menyaksikan sekeliling, ia tahu bahwa ruangan itu tak lagi bisa menyembuhkan apa pun. Rumah sakit penuh sesak dengan orang-orang yang tergeletak tanpa daya, wajah mereka pucat pasi, dan tubuh mereka penuh luka. Tak ada cukup ruang, tak ada cukup tangan untuk merawat.

Mungkin, setelah ini, akan datang lebih banyak orang yang entah akan diletakkan di mana, simpul Junghwan dibersamai oleh perasaan khawatir. Dan benar saja, sepanjang hari itu seperti parade yang tak berkesudahan. Taksi demi taksi muncul, membawa tubuh-tubuh yang kelak –sebagian besar– diselimuti bendera berlatar belakang putih.

***

Di sebuah unit apartemen yang tak tertata sebagaimana mestinya hunian, Junghwan duduk bersila sambil menatap layar televisi yang menampilkan potongan gambar yang membuatnya mual dan dadanya seketika bergejolak.

Siaran berita mengudara melalui suara yang lembut bercampur tegas, memuat laporan mengenai keadaan Kota Gwangju yang semakin membaik, dan segala bentuk perlawanan telah berhasil dipadamkan oleh pihak militer. Namun, Junghwan tahu betul, apa yang ditampilkan di televisi bukanlah kenyataan yang terjadi di lapangan.

Berita pertama yang Junghwan dengar pada pagi itu adalah mengenai warga Kota Gwangju yang melakukan kerusuhan dan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah.

Hanya saja, tidak ada satu pun dari potongan berita itu yang menyebutkan tentang serangan mendalam terhadap mereka yang meminta haknya, tidak ada suara yang memperlihatkan mengenai korban-korban yang bergelimpangan di tengah jalan, ditembak peluru tajam dan dipukuli menggunakan tongkat berkelir hitam. Tidak ada sama sekali. Narasi pada layar televisi hanya berpusat pada kata ’’kerusuhan”.

Masyarakat Kota Gwangju, yang didominasi para mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan protes dan perlawanan. Perlawanan yang didasari oleh rasa muak kepada rezim militer di bawah komando Jenderal Chun Doohwan, yang lahir melalui kudeta terhadap rezim militer lainnya.

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

Rezim yang kemudian menerapkan keadaan darurat militer, menutup kampus-kampus, membatasi pers, melarang beragam aktivitas politik, serta menetapkan jam malam yang melibatkan para tentara.

Para demonstran hanya meneriakkan kebebasan, meneriakkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, kebebasan dan hak itu tidak hadir seperti aroma sup yang menyelinapdari dapur rumah, tetapi dipaksa keluar dengan gas air mata dan peluru tajam yang menghujani Geumnam-ro melalui tindakan represif para tentara yang tak memahami batas kemanusiaan.

Pihak militer bahkan tak segan mengadang dengan kekuatan penuh. Tank-tank meluncur perlahan di jalan yang sempit, menggilas apa pun yang berada di hadapan mereka; apa pun yang menghalangi mereka.

Kerusuhan Gwangju: Provokator Anti-Pemerintah Memicu Kerusuhan.

Kalimat itu tertulis tebal, persis di bagian bawah layar televisi yang saat ini ingin sekali Junghwan lempar dari jendela unit apartemennya, seolah itu adalah kesan utama yang ingin disampaikan kepada para pemirsa yang sedang duduk di rumah, atau di mana pun mereka berada. Kemudian, kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembawa berita terus mengalir serupa sketsa yang penuh kebohongan, tetapi dipoles dengan cukup baik untuk menutupi darah dan keringat yang menodai kenyataan.

Junghwan meraba dadanya, mencoba meresapi apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ketakutan dan kegelisahan seolah telah bersepakat, menyusup dalam-dalam hingga jantungnya berdebar keras.

Ia tahu betul bahwa Gwangju sedang dihancurkan. Perlawanan yang belakangan meletus bukanlah sekadar ’’kerusuhan” seperti yang kerap digaungkan media-media yang menghamba pada penguasa. Itu adalah teriakan dari mereka yang tak sudi berdiam diri, yang kemudian dianggap sebagai komunis.

Di ruang sempit itu, Junghwan membuka kaca jendela, menghirup udara yang tak lagi mengenal kata segar, penuh debu dan puing mesiu. Langit tercabik oleh kabut yang kelabu, seperti meniti luka-luka yang tak kunjung sembuh.

Di luar sana, para pelajar, mahasiswa, dan siapa pun yang memperjuangkan kebebasan hanya berusaha bertahan. Mereka, yang selama ini hanya menjadi bagian dari cerita yang tak pernah mereka pilih, kini terjebak dalam narasi yang diciptakan oleh para penguasa.

Junghwan tak pernah menjadi sosok yang mencolok, hanya seorang sopir taksi yang hidup dari sisa-sisa keramaian kota. Tapi, pada pagi itu, seperti beberapa hari sebelumnya, ia tahu ada sesuatu dari dirinya akan segera menyeretnya keluar. Bukan sekadar heroisme, tetapi pada rasa malu jika ia memutuskan tetap berada di sana, menjadi saksi diam atas rasa sakit yang tak berwujud yang dihasilkan oleh tirani.

Masih terngiang jelas di telinga Junghwan, kata-kata terakhir seorang mahasiswa yang kemarin diantarnya ke rumah sakit sebelum ajal benar-benar menjemput dalam sunyi di tengah keriuhan ruang gawat darurat.

Kata-kata yang juga kerap dilontarkan oleh para pengunjuk rasa lainnya sambil menggantungkan kepalan tangan mereka di udara dengan urat leher yang menegang. Kata-kata yang lebih tajam dari butir peluru dan lebih perih dari gas air mata: ’’Kami, rakyat Gwangju, lebih suka mati berdiri daripada harus hidup berlutut.” (*)

*) ARIE FAJAR ROFIAN, penulis berdomisili di Karawang, Jawa Barat

Langit pada hari yang tak terlupakan itu merekah. Cahaya merah semburat dari ufuk timur, seolah darah terburai dari luka yang baru saja terbuka. Sungai di Gwangju mengalir lambat, mengendap di antara gedung-gedung dan bangunan-bangunan, berupaya mengabarkan sesuatu yang enggan disampaikan.

Sementara, di jalan-jalan di pusat kota, ribuan kaki memukul aspal yang retak, satu demi satu membentuk denyut kehidupan yang akan dihancurkan oleh kekerasan.

Segala sesuatu terasa lebih lambat sekaligus berat. Bahkan, burung-burung yang biasanya berkicau di pepohonan sepanjang Geumnam-ro seakan dipaksa menahan napas. Suara yang paling lantang dan pertama kali memecah damai adalah langkah sepatu bot. Berat, teratur, dan berirama; ritmenya menyusup ke dalam dada setiap orang yang bersembunyi, bahkan di balik jendela rumah mereka yang jauh dari pusat keriuhan.

Asap dari ban-ban yang dibakar berbaur dengan debu jalanan yang menguar jalang, melukis langit dengan goresan hitam pekat dan merah yang buram. Suara-suara datang silih berganti, kadang berharmonisasi –teriakan, tangisan, jerit pukulan tongkat, dan desing peluru–mengiris udara yang dingin. Suara-suara yang terlalu sulit didengar tanpa melibatkan rasa cemas yang berlebihan, seolah bumi sedang mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa dipahami.

Orang-orang berkemeja lusuh –karena sempat terjatuh– berlarian, beberapa menyeret tubuh mereka sendiri yang terluka oleh hunjaman peluru. Yang lainnya memanggul beban yang lebih berat: entah saudara, entah kerabat, entah anak, entah kawan seperjuangan, atau seseorang yang baru saja mereka temui tetapi sudah dianggap sebagai saudara atas kesamaan pandangan. Bau darah dan keringat bercampur menjadi aroma yang tak ingin dikenang, tetapi tak pernah bisa dilupakan.

Geumnam-ro kini tak ubahnya ruang penuh tubuh. Di permukaan aspal yang keras, barisan tubuh tak berdaya tergeletak, sebagian telah kehilangan nyawa, beberapa masih bergerak dengan menyertakan keengganan yang tak terucap.

Tidak ada perbedaan yang jelas di antara mereka, kecuali sekelompok orang berseragam yang berlindung di balik senjata dan terus bergerak bersama kepongahan.

”Akhiri kediktatoran!”

”Turunkan Chun Doohwan!”

Seruan lantang itu berbalas salak senjata dan lemparan gas air mata. Kerumunan para pengunjuk rasa berlari, tanpa arah, tak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada satu tujuan di benak masing-masing dari mereka, berlari sejauh mungkin dari gapaian para tentara yang dilindungi tangan-tangan kekuasaan. Orang-orang berlarian dengan wajah kosong, tak menyisakan ruang untuk pertanyaan –yang mungkin juga tak memiliki jawaban.

Di tengah kerumunan yang hilang bentuk, seorang pria paro baya yang mengenakan ikat kepala berwarna putih berdiri tegak, matanya kosong, menelusuri setiap sudut yang menampilkan ketiadaan.

Namun, di dalam tatapannya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesedihan. Seperti ia menyaksikan seluruh dunia telah runtuh dan tak lagi percaya pada apa pun; pada siapa pun.

Detik berikutnya, tongkat berkelir hitam melesat, mengucapkan salam perkenalan yang tak pernah diinginkan, tepat di keningnya. Pria itu meraba-raba keningnya, mendapati sesuatu yang hangat sekaligus lengket.

Ikat kepala berwarna putih itu perlahan berangsur merah, bercampur pekat darah, seperti tinta yang tumpah di atas kertas basah. Ia ambruk, bersamaan itu tongkat kembali menggerayang, bukan hanya di kening, tetapi di seluruh tubuh ringkihnya.

Di salah satu sudut lainnya di Kota Gwangju, Junghwan melajukan taksinya dengan hati dan rahang yang mengeras. Tangannya menggenggam roda setir dengan kaku, berkendara tanpa peduli terhadap rambu-rambu.

Baca Juga :  Kelabu di Kepala Anwar

Nyala lampu merah bukanlah perintah untuk berhenti, tetapi terlihat serupa panggilan untuk terus melaju. Setiap detik yang dilalui Junghwan adalah taruhan hidup-matinya seseorang yang sedang berjuang melawan kediktatoran.

Terhitung sejak tadi pagi, Junghwan telah membawa tiga orang keluar dari Geumnam-ro: seorang pria dengan luka akibat hantaman benda tumpul di mata kaki, seorang wanita yang tak berhenti menangis sambil memegangi perutnya yang terus mengucurkan darah akibat tertembus timah panas, dan kini, seorang mahasiswa yang seragamnya tampak lusuh serta penuh bercak darah yang nyaris kering.

Di kursi belakang, mahasiswa itu bernapas pendek-pendek, memeluk sebuah buku berlatar merah. Buku itu, entah jurnal harian, atau semacam manifesto yang mungkin terlalu sulit dipahami oleh orang awam sepertinya.

Junghwan enggan bertanya. Ia hanya memandangi dengan ekspresi iba mahasiswa itu melalui kaca spion depan, mengamati bagaimana bibirnya bergerak seperti sedang berdoa atau merapal harapan yang nyaris musnah.

Junghwan tidak sendiri, di jalan-jalan utama Kota Gwangju, para sopir taksi lainnya bergerak dalam kesenyapan yang terkoordinasi, layaknya arus sungai yang mengalir menuju hamparan laut. Mereka tak saling mengenali, tetapi dalam gelap yang tak berwujud, mereka saling memahami. Mereka bergerak ke satu tujuan akhir yang sama: rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, Junghwan segera menurunkan penumpangnya, memapahnya menuju ruang gawat darurat. Namun, ketika ia menyaksikan sekeliling, ia tahu bahwa ruangan itu tak lagi bisa menyembuhkan apa pun. Rumah sakit penuh sesak dengan orang-orang yang tergeletak tanpa daya, wajah mereka pucat pasi, dan tubuh mereka penuh luka. Tak ada cukup ruang, tak ada cukup tangan untuk merawat.

Mungkin, setelah ini, akan datang lebih banyak orang yang entah akan diletakkan di mana, simpul Junghwan dibersamai oleh perasaan khawatir. Dan benar saja, sepanjang hari itu seperti parade yang tak berkesudahan. Taksi demi taksi muncul, membawa tubuh-tubuh yang kelak –sebagian besar– diselimuti bendera berlatar belakang putih.

***

Di sebuah unit apartemen yang tak tertata sebagaimana mestinya hunian, Junghwan duduk bersila sambil menatap layar televisi yang menampilkan potongan gambar yang membuatnya mual dan dadanya seketika bergejolak.

Siaran berita mengudara melalui suara yang lembut bercampur tegas, memuat laporan mengenai keadaan Kota Gwangju yang semakin membaik, dan segala bentuk perlawanan telah berhasil dipadamkan oleh pihak militer. Namun, Junghwan tahu betul, apa yang ditampilkan di televisi bukanlah kenyataan yang terjadi di lapangan.

Berita pertama yang Junghwan dengar pada pagi itu adalah mengenai warga Kota Gwangju yang melakukan kerusuhan dan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah.

Hanya saja, tidak ada satu pun dari potongan berita itu yang menyebutkan tentang serangan mendalam terhadap mereka yang meminta haknya, tidak ada suara yang memperlihatkan mengenai korban-korban yang bergelimpangan di tengah jalan, ditembak peluru tajam dan dipukuli menggunakan tongkat berkelir hitam. Tidak ada sama sekali. Narasi pada layar televisi hanya berpusat pada kata ’’kerusuhan”.

Masyarakat Kota Gwangju, yang didominasi para mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan protes dan perlawanan. Perlawanan yang didasari oleh rasa muak kepada rezim militer di bawah komando Jenderal Chun Doohwan, yang lahir melalui kudeta terhadap rezim militer lainnya.

Baca Juga :  Sajak Angga Trio Sanjaya

Rezim yang kemudian menerapkan keadaan darurat militer, menutup kampus-kampus, membatasi pers, melarang beragam aktivitas politik, serta menetapkan jam malam yang melibatkan para tentara.

Para demonstran hanya meneriakkan kebebasan, meneriakkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, kebebasan dan hak itu tidak hadir seperti aroma sup yang menyelinapdari dapur rumah, tetapi dipaksa keluar dengan gas air mata dan peluru tajam yang menghujani Geumnam-ro melalui tindakan represif para tentara yang tak memahami batas kemanusiaan.

Pihak militer bahkan tak segan mengadang dengan kekuatan penuh. Tank-tank meluncur perlahan di jalan yang sempit, menggilas apa pun yang berada di hadapan mereka; apa pun yang menghalangi mereka.

Kerusuhan Gwangju: Provokator Anti-Pemerintah Memicu Kerusuhan.

Kalimat itu tertulis tebal, persis di bagian bawah layar televisi yang saat ini ingin sekali Junghwan lempar dari jendela unit apartemennya, seolah itu adalah kesan utama yang ingin disampaikan kepada para pemirsa yang sedang duduk di rumah, atau di mana pun mereka berada. Kemudian, kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembawa berita terus mengalir serupa sketsa yang penuh kebohongan, tetapi dipoles dengan cukup baik untuk menutupi darah dan keringat yang menodai kenyataan.

Junghwan meraba dadanya, mencoba meresapi apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ketakutan dan kegelisahan seolah telah bersepakat, menyusup dalam-dalam hingga jantungnya berdebar keras.

Ia tahu betul bahwa Gwangju sedang dihancurkan. Perlawanan yang belakangan meletus bukanlah sekadar ’’kerusuhan” seperti yang kerap digaungkan media-media yang menghamba pada penguasa. Itu adalah teriakan dari mereka yang tak sudi berdiam diri, yang kemudian dianggap sebagai komunis.

Di ruang sempit itu, Junghwan membuka kaca jendela, menghirup udara yang tak lagi mengenal kata segar, penuh debu dan puing mesiu. Langit tercabik oleh kabut yang kelabu, seperti meniti luka-luka yang tak kunjung sembuh.

Di luar sana, para pelajar, mahasiswa, dan siapa pun yang memperjuangkan kebebasan hanya berusaha bertahan. Mereka, yang selama ini hanya menjadi bagian dari cerita yang tak pernah mereka pilih, kini terjebak dalam narasi yang diciptakan oleh para penguasa.

Junghwan tak pernah menjadi sosok yang mencolok, hanya seorang sopir taksi yang hidup dari sisa-sisa keramaian kota. Tapi, pada pagi itu, seperti beberapa hari sebelumnya, ia tahu ada sesuatu dari dirinya akan segera menyeretnya keluar. Bukan sekadar heroisme, tetapi pada rasa malu jika ia memutuskan tetap berada di sana, menjadi saksi diam atas rasa sakit yang tak berwujud yang dihasilkan oleh tirani.

Masih terngiang jelas di telinga Junghwan, kata-kata terakhir seorang mahasiswa yang kemarin diantarnya ke rumah sakit sebelum ajal benar-benar menjemput dalam sunyi di tengah keriuhan ruang gawat darurat.

Kata-kata yang juga kerap dilontarkan oleh para pengunjuk rasa lainnya sambil menggantungkan kepalan tangan mereka di udara dengan urat leher yang menegang. Kata-kata yang lebih tajam dari butir peluru dan lebih perih dari gas air mata: ’’Kami, rakyat Gwangju, lebih suka mati berdiri daripada harus hidup berlutut.” (*)

*) ARIE FAJAR ROFIAN, penulis berdomisili di Karawang, Jawa Barat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/