26.9 C
Jakarta
Thursday, October 31, 2024

Yang Dominan dalam Sajian di Layar Televisi

Oleh AHMAD RIYADI

Oleh sebab sensitivitas stasiun televisi terhadap keanekaragaman geografis absen, bukan tidak mungkin terjadi keterabaian di luar daerah Jakarta dan Pulau Jawa lainnya.

KRISHNA Sen pernah menyebut media sebagai penanda setiap transisi monumental dalam memori kehidupan. Setelah masa panjang Orde Lama dan Orde Baru yang menjadikan televisi dan radio sebagai corong absolut kekuasaan, reformasi menjadi imajinasi lahirnya keberagaman.

Imajinasi itu kemudian dikristalisasi melalui penciptaan struktur informasi yang relatif inklusif. Regulasi dibuat lebih demokratis, perizinan memperhatikan keadilan, lalu dibentuk badan independen untuk mengawasi lalu lintas informasi, termasuk partisipasi publik yang lebih aktif.

Televisi dan radio, setelah purnatugas Orde Baru yang tumbuhnya seperti jamur di musim hujan, diharapkan benar-benar mampu menjadi ruang publik, di mana setiap perbedaan dihadirkan untuk menginformasikan keunikan budaya, cara pandang, hingga gagasan. Kendati dalam perjalanannya, imajinasi itu seperti mimpi basah.

Sebab, dalam praktiknya, televisi dan radio sebagai media arus utama hanya dikuasai oleh segelintir pemodal. Merlyna Lim mengatakan tiga belas kelompok media mengontrol semua saham televisi komersial nasional. Disusul Yanuar Nugroho dkk, menyebut dua belas kelompok media besar mengontrol hampir semua kanal media Indonesia, termasuk media cetak, penyiaran, dan media daring (Ross Tapsell, 2019).

Dan, seperti biasanya, perubahan teknologi seperti digitalisasi dan konvergen tidak mengubah banyak struktur penyiaran di Indonesia. Digitalisasi, bagi Tapsell, memungkinkan banyak perusahaan media besar di Indonesia membangun, tumbuh, dan menjadi lebih kaya. Sementara perusahaan kecil berjuang untuk bertahan secara finansial atau dicaplok oleh perusahaan-perusahaan yang lebih besar.

Menilik cengkeraman bisnis media –termasuk televisi– yang terkonsentrasi begitu kuat, adalah wajar homogenitas menjadi karakter dalam setiap program siaran di layar kaca. Buku Kamuflase Tayangan Televisi: Membongkar Kedok Keberagaman dalam Kelindan Kepentingan Ekonomi-Politik Pemilik Media (2024) mengupas kelindan kepentingan politik dan ekonomi ikut campur tangan menentukan –lebih tepatnya memanipulasi– keberagaman di layar televisi.

Baca Juga :  Pahlawan

Hellena Souisa, penulis buku ini, secara jujur mengatakannya dengan bukti-bukti empiris. Dalam menulis buku ini, sosok yang sudah malang melintang di berbagai media nasional seperti ANTV, TPI (sekarang MNC TV), SUN TV, dan Kompas TV itu mengumpulkan data-data yang sulit dibantah bahwa imajinasi keberagaman di layar kaca hanya kamuflase, sebatas kedok yang menyembunyikan kelindan kepentingan ekonomi-politik.

Kamuflase Keberagaman

Hellena melihat isi program siaran televisi –utamanya berita– dari tiga jenis keberagaman, yaitu keberagaman geografis, keberagaman demografis, dan keberagaman sudut pandang. Keberagaman geografis mengacu pada pendapat Van Cuilenburg dan Iosifidis yang mengatakan keberagaman geografis mencakup unsur-unsur geografis seperti lokal, pedalaman, nasional, atau internasional.

Temuannya menjelaskan bahwa stasiun televisi memiliki lebih banyak berita dari ibu kota daripada luar ibu kota. Berita dari Jakarta dan Pulau Jawa disebut paling dominan ketimbang daerah lain. Dari total 17.282 berita yang dianalisis, didominasi oleh Jakarta (6.461), luar Indonesia (2.235), Jawa Barat (2.009), Jawa Timur (1.672), dan Jawa Tengah (1.081).

Data ini seperti relevan dengan beberapa data survei yang menyebut publik mempunyai keterjarakan informasi dengan pelaksanaan Pilkada 2024. Ramainya pemberitaan Pilkada 2024 hanya terpusat di Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Timur, sementara cakupan geografis yang lain sangat minimalis.

Pemberitaan tentang Pilkada 2024 bukannya tidak ada, tapi cakupan geografisnya diabaikan. Oleh sebab sensitivitas stasiun televisi terhadap keanekaragaman geografis absen, bukan tidak mungkin terjadi keterabaian di luar daerah Jakarta dan Pulau Jawa lainnya.

Sementara keberagaman demografis mencakup kelompok minoritas dan kelompok terpinggirkan. Hellena fokus pada representasi gender di dalam penelitiannya. Analisis dari temuannya menjelaskan bahwa laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan saat menjadi narasumber.

Ia mendapati dari total 17.771 tayangan, narasumber laki-laki mencapai 13.758 tayangan atau sekitar 76 persen dan perempuan 4.193 tayangan atau sekitar 24 persen. Persentase representasi ini tentu saja mempunyai keterkaitan dengan wacana dominan yang berkembang melalui layar kaca.

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

 

Frekuensi berita yang ada di layar kaca sebagai titik mengukur keberagaman sudut pandang menjelaskan pernyataan yang konsisten dengan pemerintah sebanyak 942 (6 persen), berita yang tidak konsisten dengan pendirian pemerintah mencapai 930 (6 persen), dan jumlah berita yang mempunyai campuran sudut pandang sebesar 560 (3 persen). Selain hal itu, terdapat berita bergenre hukum dan kriminalitas mencapai 14.850 (85,9 persen).

Mengejar Keuntungan

Perspektif keberagaman dari aspek geografis, demografis, dan sudut pandang menjelaskan bagaimana keberagaman yang dimimpikan oleh cita-cita reformasi tidak berjalan maksimal. Jawasentris dalam aspek geografis menunjukkan kesenjangan geografis. Dalam hal ini, daerah-daerah tidak mendapatkan informasi yang layak, bahkan daerah hanya sebagai waduk penerima luberan siaran daerah-daerah lain.

Lebih jauh tentang kesenjangan demografis dalam konteks keberagaman, terjadi pembiaran ”hak warga” untuk mengemukakan pendapat secara diskursif. Kelompok minoritas dan terpinggirkan seperti perempuan kehilangan ruang dalam pertarungan wacana.

Begitu juga dalam hal sudut pandang yang notabene tidak menyentuh kepentingan publik. Stasiun televisi selalu menjelaskan peristiwa, tetapi tidak lebih kritis membahasnya secara struktural.

Dalam artian yang lebih jauh, mimpi-mimpi keberagaman bisa hadir di layar kaca terpasung. Penguasaan media, baik silang maupun konvergen, mengakibatkan erosi keberagaman.

Sementara digitalisasi yang diharapkan bisa mendistribusikan keadilan penyelenggaraan penyiaran nyatanya hanya berkutat pada orkestrasi teknologi, tidak mengarah pada substansi keberagaman. (*)

Judul: Kamuflase Tayangan Televisi: Membongkar Kedok Keberagaman dalam Kelindan Kepentingan Ekonomi-Politik Pemilik Media

Penulis: Hellena Yoranita Souisa

Cetakan: I, Agustus 2024

Penerbit: Cantrik Pustaka

Tebal: 246 halaman

ISBN: 978-623-139-062-2

*) AHMAD RIYADI, Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia

Oleh AHMAD RIYADI

Oleh sebab sensitivitas stasiun televisi terhadap keanekaragaman geografis absen, bukan tidak mungkin terjadi keterabaian di luar daerah Jakarta dan Pulau Jawa lainnya.

KRISHNA Sen pernah menyebut media sebagai penanda setiap transisi monumental dalam memori kehidupan. Setelah masa panjang Orde Lama dan Orde Baru yang menjadikan televisi dan radio sebagai corong absolut kekuasaan, reformasi menjadi imajinasi lahirnya keberagaman.

Imajinasi itu kemudian dikristalisasi melalui penciptaan struktur informasi yang relatif inklusif. Regulasi dibuat lebih demokratis, perizinan memperhatikan keadilan, lalu dibentuk badan independen untuk mengawasi lalu lintas informasi, termasuk partisipasi publik yang lebih aktif.

Televisi dan radio, setelah purnatugas Orde Baru yang tumbuhnya seperti jamur di musim hujan, diharapkan benar-benar mampu menjadi ruang publik, di mana setiap perbedaan dihadirkan untuk menginformasikan keunikan budaya, cara pandang, hingga gagasan. Kendati dalam perjalanannya, imajinasi itu seperti mimpi basah.

Sebab, dalam praktiknya, televisi dan radio sebagai media arus utama hanya dikuasai oleh segelintir pemodal. Merlyna Lim mengatakan tiga belas kelompok media mengontrol semua saham televisi komersial nasional. Disusul Yanuar Nugroho dkk, menyebut dua belas kelompok media besar mengontrol hampir semua kanal media Indonesia, termasuk media cetak, penyiaran, dan media daring (Ross Tapsell, 2019).

Dan, seperti biasanya, perubahan teknologi seperti digitalisasi dan konvergen tidak mengubah banyak struktur penyiaran di Indonesia. Digitalisasi, bagi Tapsell, memungkinkan banyak perusahaan media besar di Indonesia membangun, tumbuh, dan menjadi lebih kaya. Sementara perusahaan kecil berjuang untuk bertahan secara finansial atau dicaplok oleh perusahaan-perusahaan yang lebih besar.

Menilik cengkeraman bisnis media –termasuk televisi– yang terkonsentrasi begitu kuat, adalah wajar homogenitas menjadi karakter dalam setiap program siaran di layar kaca. Buku Kamuflase Tayangan Televisi: Membongkar Kedok Keberagaman dalam Kelindan Kepentingan Ekonomi-Politik Pemilik Media (2024) mengupas kelindan kepentingan politik dan ekonomi ikut campur tangan menentukan –lebih tepatnya memanipulasi– keberagaman di layar televisi.

Baca Juga :  Pahlawan

Hellena Souisa, penulis buku ini, secara jujur mengatakannya dengan bukti-bukti empiris. Dalam menulis buku ini, sosok yang sudah malang melintang di berbagai media nasional seperti ANTV, TPI (sekarang MNC TV), SUN TV, dan Kompas TV itu mengumpulkan data-data yang sulit dibantah bahwa imajinasi keberagaman di layar kaca hanya kamuflase, sebatas kedok yang menyembunyikan kelindan kepentingan ekonomi-politik.

Kamuflase Keberagaman

Hellena melihat isi program siaran televisi –utamanya berita– dari tiga jenis keberagaman, yaitu keberagaman geografis, keberagaman demografis, dan keberagaman sudut pandang. Keberagaman geografis mengacu pada pendapat Van Cuilenburg dan Iosifidis yang mengatakan keberagaman geografis mencakup unsur-unsur geografis seperti lokal, pedalaman, nasional, atau internasional.

Temuannya menjelaskan bahwa stasiun televisi memiliki lebih banyak berita dari ibu kota daripada luar ibu kota. Berita dari Jakarta dan Pulau Jawa disebut paling dominan ketimbang daerah lain. Dari total 17.282 berita yang dianalisis, didominasi oleh Jakarta (6.461), luar Indonesia (2.235), Jawa Barat (2.009), Jawa Timur (1.672), dan Jawa Tengah (1.081).

Data ini seperti relevan dengan beberapa data survei yang menyebut publik mempunyai keterjarakan informasi dengan pelaksanaan Pilkada 2024. Ramainya pemberitaan Pilkada 2024 hanya terpusat di Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Timur, sementara cakupan geografis yang lain sangat minimalis.

Pemberitaan tentang Pilkada 2024 bukannya tidak ada, tapi cakupan geografisnya diabaikan. Oleh sebab sensitivitas stasiun televisi terhadap keanekaragaman geografis absen, bukan tidak mungkin terjadi keterabaian di luar daerah Jakarta dan Pulau Jawa lainnya.

Sementara keberagaman demografis mencakup kelompok minoritas dan kelompok terpinggirkan. Hellena fokus pada representasi gender di dalam penelitiannya. Analisis dari temuannya menjelaskan bahwa laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan saat menjadi narasumber.

Ia mendapati dari total 17.771 tayangan, narasumber laki-laki mencapai 13.758 tayangan atau sekitar 76 persen dan perempuan 4.193 tayangan atau sekitar 24 persen. Persentase representasi ini tentu saja mempunyai keterkaitan dengan wacana dominan yang berkembang melalui layar kaca.

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

 

Frekuensi berita yang ada di layar kaca sebagai titik mengukur keberagaman sudut pandang menjelaskan pernyataan yang konsisten dengan pemerintah sebanyak 942 (6 persen), berita yang tidak konsisten dengan pendirian pemerintah mencapai 930 (6 persen), dan jumlah berita yang mempunyai campuran sudut pandang sebesar 560 (3 persen). Selain hal itu, terdapat berita bergenre hukum dan kriminalitas mencapai 14.850 (85,9 persen).

Mengejar Keuntungan

Perspektif keberagaman dari aspek geografis, demografis, dan sudut pandang menjelaskan bagaimana keberagaman yang dimimpikan oleh cita-cita reformasi tidak berjalan maksimal. Jawasentris dalam aspek geografis menunjukkan kesenjangan geografis. Dalam hal ini, daerah-daerah tidak mendapatkan informasi yang layak, bahkan daerah hanya sebagai waduk penerima luberan siaran daerah-daerah lain.

Lebih jauh tentang kesenjangan demografis dalam konteks keberagaman, terjadi pembiaran ”hak warga” untuk mengemukakan pendapat secara diskursif. Kelompok minoritas dan terpinggirkan seperti perempuan kehilangan ruang dalam pertarungan wacana.

Begitu juga dalam hal sudut pandang yang notabene tidak menyentuh kepentingan publik. Stasiun televisi selalu menjelaskan peristiwa, tetapi tidak lebih kritis membahasnya secara struktural.

Dalam artian yang lebih jauh, mimpi-mimpi keberagaman bisa hadir di layar kaca terpasung. Penguasaan media, baik silang maupun konvergen, mengakibatkan erosi keberagaman.

Sementara digitalisasi yang diharapkan bisa mendistribusikan keadilan penyelenggaraan penyiaran nyatanya hanya berkutat pada orkestrasi teknologi, tidak mengarah pada substansi keberagaman. (*)

Judul: Kamuflase Tayangan Televisi: Membongkar Kedok Keberagaman dalam Kelindan Kepentingan Ekonomi-Politik Pemilik Media

Penulis: Hellena Yoranita Souisa

Cetakan: I, Agustus 2024

Penerbit: Cantrik Pustaka

Tebal: 246 halaman

ISBN: 978-623-139-062-2

*) AHMAD RIYADI, Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia

Terpopuler

Artikel Terbaru