Para hakim di bawah Mahkamah Agung (MA) se-Indonesia Raya menghelat cuti bersama pada 7–11 Oktober 2024. Berita itu mengembalikan ingatan kita pada 12 tahun lalu. Saat itu para hakim muda yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) mengancam mogok sidang. Mereka menuntut perbaikan kesejahteraan karena tidak ada peningkatan gaji dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2002.
Ancaman tersebut membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PP itu mengatur hak keuangan dan fasilitas hakim di bawah MA. Pada 2016, Presiden Jokowi menandatangani PP Nomor 74 Tahun 2016 tentang perubahan atas PP 94/2012. PP itu menyebutkan, gaji pokok hakim diberikan berdasar golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat dan masa kerja golongan hakim.
Hakim dan PNS Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, hakim adalah pejabat negara. Status itu tentu menimbulkan konsekuensi. Salah satunya, adanya perbedaan hak dan kewajiban antara pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS). Namun, PP 94/2012 maupun PP 74/2016 mengatur bahwa ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok PNS. Hal itu menunjukkan adanya kontradiksi antara undang-undang dan peraturan pemerintah.
Merujuk pada pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan UU Mahkamah Agung, salah satu kewenangan MA adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang. Menyikapi peraturan yang kontradiktif tersebut, 17 hakim dari berbagai lingkungan pengadilan mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil atas beberapa pasal dalam PP 94/2012 sebagaimana yang telah diubah dengan PP 74/2016.
Permohonan didasarkan pada pendapat Dr Philipus Hadjon dan Prof Jimly Asshiddiqie bahwa kedudukan hakim haruslah dibedakan dengan PNS. Sebab, hakim adalah pelaku fungsi ajudikasi yang sangat berbeda dengan PNS sebagai pelaksana fungsi pelayanan publik. Hakim secara sendiri-sendiri membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi atas nama negara.
Hakim diberi kewenangan atas nama negara untuk membebani warga negara dengan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan daya ikatnya. Sementara pegawai negeri tidak diberi kewenangan semacam itu kecuali atas perintah pejabat negara yang menjadi atasannya. Karena itu, mengaitkan hakim dengan PNS merupakan kesalahkaprahan yang harus diperbaiki.
Selain itu, menyamakan gaji pokok hakim dengan gaji pokok PNS berarti menyamakan beban kerja, tanggung jawab, serta risiko pekerjaan hakim dengan beban kerja, tanggung jawab, serta risiko pekerjaan PNS. Padahal, hakim adalah ’’pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang’’ sesuai dengan pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman. Sementara PNS ’’melaksanakan kebijakan yang ditetapkan pimpinan instansi pemerintah’’ sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UU ASN.
Kedudukan Hakim Karena itu, jabatan hakim yang berbeda dengan PNS harus diberlakukan secara berbeda pula. Hal itu sejalan dengan prinsip perlakuan sama dalam kondisi yang sama (treat like cases alike) dan perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda (treat different cases differently).
UU ASN menyebut hakim sebagai pejabat negara. Pasal 25 UU ASN mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, pemberhentian, pengaktifan kembali, dan hak kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara diatur dalam PP.
Kenyataannya, sampai saat ini PP mengenai hak kepegawaian PNS yang diangkat menjadi hakim belum diterbitkan. Bukannya menerbitkan PP tentang gaji hakim sebagai pejabat negara, pemerintah justru menyamakan dan menggantungkan pengaturan gaji hakim dengan pengaturan gaji PNS.
Atas permohonan tersebut, dengan putusan Nomor 23 P/HUM/2018, Mahkamah Agung menyatakan bahwa beberapa pasal terkait dalam PP 94/2012 yang telah diubah dengan PP 74/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, negara menjamin keamanan dan kesejahteraan hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Kebutuhan akan adanya aturan penggajian hakim tersendiri sudah tak terelakkan. Negara harus segera menunaikannya. Argumentasi sebagaimana yang terurai di atas dan putusan MA Nomor 23 P/HUM/2018 seharusnya sudah menjadi tekanan bagi pemerintah untuk memperbaiki kekeliruan dalam memaknai kedudukan hakim sehingga tidak seharusnya para hakim memperjuangkan sendiri penghargaan atas profesi mereka.
Negara wajib memosisikan hakim sebagai profesi yang bermartabat. Profesi mulia (officium nobile). Negara haruslah memberikan hak-hak hakim sebagai pejabat negara dengan sepenuh hati, bukan hanya setengah hati. (*)
*) Anita Zulfiani, Akademisi Universitas Sebelas Maret; peneliti di Pustapako; mantan hakim pengadilan negeri (2010–2022)