31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Menggagas Oposisi Nonbiner

ADA ironi keputusan para elite pasca penetapan hasil Pemilu 2024. Arah posisi politik elite terhadap pemenang pemilu sulit dijangkau rakyat. Keputusan mengenai bergabung dalam koalisi atau memilih oposisi seolah hanya domain kalkulasi elite.

Konsolidasi politik elitis pimpinan partai seolah menafikan aspirasi warga yang memilih pihak yang kalah. Padahal, rakyatlah sejatinya yang harus menjadi pertimbangan keputusan posisi politik itu. Setiap keputusan satu atau beberapa partai diagregasi oleh banyak suara rakyat atas proposal kepemimpinan politik, program, dan manfaatnya.

Perilaku Memilih

Memahami perilaku memilih merupakan salah satu dasar penting mempertimbangkan keputusan partai. Temuan exit poll (EP) atau survei segera seusai pencoblosan oleh Poltracking Indonesia (14 Februari 2024) mengategorikan tiga alasan memilih kandidat Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, yaitu rasional (50 persen/%), psikologis (22,5%), dan sosiologis (13,5%).

Di antara pemilih yang bertindak rasional, sebanyak 20,3% pemilih pasangan capres-cawapres 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan pasangan capres-cawapres 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) mempertimbangkan program-programnya. Maka, ada sekitar 16.564.800 pemilih (perkiraan partisipasi 80%) memiliki pertimbangan strategis yang berbeda dengan pasangan pemenang.

Analisis segregasi menunjukkan perbedaan pertimbangan lainnya. Hasil EP Indikator Politik (14 Februari 2024) mengungkap alasan tertinggi memilih pasangan capres-cawapres 01 karena ingin ada perubahan (18,6%). Sementara alasan tertinggi memilih pasangan capres-cawapres 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka) dan 03, masing-masing karena tegas, berwibawa, berlatar belakang militer (20,4%), dan perhatian kepada rakyat (26,7%).

Selain itu, para pemilih pasangan capres-cawapres 01 dan 03 mempertimbangkan visi-misi dan program kerjanya (18,6% dan 12,3%). Dengan kata lain, para pemilih tersebut memiliki aspirasi program pemerintahan relatif berbeda dengan pasangan capres-cawapres 02 yang memenangi Pilpres 2024.

Perbedaan itulah yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan para elite pengusung pasangan capres-cawapres 01 atau 03 membentuk oposisi. Elite memastikan keseimbangan kebijakan dan program pemerintah terpilih yang akan berdampak pada konstituennya.

Baca Juga :  Menjelang Pemilu 2024, Bupati Minta Warga Tolak Politik Identitas

Sementara analisis agregasi menunjukkan perbedaan pilihan capres-cawapres tidak sepenuhnya kontras dalam argumen memilih. Temuan EP Indikator (14 Februari 2024) menunjukkan kesamaan persepsi pemilih seluruh pasangan capres-cawapres mengenai masalah paling mendesak yang harus diselesaikan oleh pemimpin terpilih.

Tiga basis capres-cawapres sepakat mengenai urutan lima masalah paling mendesak dituntaskan, yaitu pengendalian harga-harga kebutuhan pokok, pemberantasan korupsi, pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan keamanan/ketertiban. Semua basis juga menginginkan perubahan.

Argumen perubahan tidak hanya diinginkan basis pasangan capres-cawapres 01 (14,3%) dan 03 (6,9%). Basis pasangan 02 menginginkan hal yang sama (4,8%), sebagaimana temuan jajak pendapat LSI Lembaga (19–21 Februari 2024).

Berdasar temuan tersebut, gagasan pentingnya oposisi pada pemerintahan mendatang (2024–2029) memiliki landasan logis. Kehadiran oposisi bukan semata karena kebutuhan pengawasan pemerintahan. Oposisi juga memiliki visi mewujudkan aspirasi konstituen.

Oposisi tak semata mencegah tirani pembuatan kebijakan. Oposisi juga menjamin pemerintah bertanggung jawab menjalankan legislasi dan penganggaran dengan mengakomodasi kepentingan basis pasangan kandidat 01 dan 03.

Untuk mewujudkan oposisi, kita bisa belajar dari temuan-temuan akademis. Riset dan teori oposisi dalam kajian politik mengungkap lima elemen pendorong politik oposisi. Unsur tersebut adalah pengaturan kelembagaan oposisi, posisi politik partai dan pimpinan partai, polarisasi ideologi, tingkat fragmentasi lembaga legislatif, serta preferensi para legislator (Forestiere, 2011).

Pascapemilu 2024, hanya polarisasi ideologi yang kurang tampak menonjol pada peta kekuatan parlemen mendatang. Meskipun demikian, belajar dari pengalaman pembentukan pemerintah sebelumnya, arah koalisi atau oposisi cenderung ditentukan secara eksklusif oleh posisi politik partai dan pemimpin partai. Maka, sikap etis para pemimpin partai dibutuhkan untuk berkomitmen membangun kekuatan oposisi.

Bila prasyarat utama sudah terpenuhi, gagasan oposisi yang akan dibangun selama periode pemerintahan mendatang perlu disiapkan. Para elite parpol oposan sebaiknya keluar dari model oposisi biner. Praktik checks and balances yang mengedepankan perbedaan berisiko menimbulkan kemacetan pengambilan kebijakan dan minim nilai kemanfaatan publik.

Baca Juga :  Presiden Dapur

Untuk itu, ide oposisi nonbiner bisa diajukan. Para pengusung oposisi tidak menerapkan prinsip berhadapan dan saling menihilkan. Sistem nonbiner memandu posisi oposan terhadap rancangan kebijakan pemerintah tidak sekadar berseberangan, tapi juga saling memaksimalkan nilai manfaat kebijakan.

Oposisi tidak sebatas mengekspresikan nalar kritis atau berargumentasi jernih dan rasional, mengandalkan hubungan logis, konsisten, dan menyelesaikan masalah. Oposisi nonbiner meningkatkan levelnya menjadi nalar kreatif dengan mengajukan perspektif baru, tidak klise, dan menawarkan kebaruan solusi atas masalah publik yang sedang diselesaikan pemerintah. Pada level terbaik, oposisi nonbiner bernalar desain dengan senantiasa mencari solusi inovatif atas masalah publik yang kompleks dan berpusat pada kepentingan publik.

Secara politis, langkah oposisi nonbiner akan mencegah ketua umum partai berperilaku sebagai pemain veto dan mendorongnya menjadi wiraswasta politik. Pemimpin partai berorientasi memanfaatkan kesempatan, bukan mengubah problem publik menjadi amunisi politik. Menurut Tsebelis (2002), risiko banyaknya pemain veto justru mendukung status quo kebijakan karena terlalu banyak pilihan yang sulit diselaraskan saat akan melakukan perubahan kebijakan.

Terakhir, oposisi nonbiner juga bisa menekan persoalan inkompatibilitas presidensialisme multipartai. Orientasi oposisi sebagai negosiator kepentingan konstituen membantu penyelarasan aspirasi dalam rancangan kebijakan pemerintah.

Sehingga efektivitas pemerintahan dan stabilitas demokrasi akan tercapai karena fragmentasi antarpartai rendah akibat keterlibatan oposisi dalam musyawarah rancangan kebijakan pemerintah. Alhasil, praktik oposisi biner layak disudahi demi politik legislasi dan penganggaran pemerintah mendatang lebih dialogis. (*)

*) WAWAN SOBARI, Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya

 

ADA ironi keputusan para elite pasca penetapan hasil Pemilu 2024. Arah posisi politik elite terhadap pemenang pemilu sulit dijangkau rakyat. Keputusan mengenai bergabung dalam koalisi atau memilih oposisi seolah hanya domain kalkulasi elite.

Konsolidasi politik elitis pimpinan partai seolah menafikan aspirasi warga yang memilih pihak yang kalah. Padahal, rakyatlah sejatinya yang harus menjadi pertimbangan keputusan posisi politik itu. Setiap keputusan satu atau beberapa partai diagregasi oleh banyak suara rakyat atas proposal kepemimpinan politik, program, dan manfaatnya.

Perilaku Memilih

Memahami perilaku memilih merupakan salah satu dasar penting mempertimbangkan keputusan partai. Temuan exit poll (EP) atau survei segera seusai pencoblosan oleh Poltracking Indonesia (14 Februari 2024) mengategorikan tiga alasan memilih kandidat Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, yaitu rasional (50 persen/%), psikologis (22,5%), dan sosiologis (13,5%).

Di antara pemilih yang bertindak rasional, sebanyak 20,3% pemilih pasangan capres-cawapres 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan pasangan capres-cawapres 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) mempertimbangkan program-programnya. Maka, ada sekitar 16.564.800 pemilih (perkiraan partisipasi 80%) memiliki pertimbangan strategis yang berbeda dengan pasangan pemenang.

Analisis segregasi menunjukkan perbedaan pertimbangan lainnya. Hasil EP Indikator Politik (14 Februari 2024) mengungkap alasan tertinggi memilih pasangan capres-cawapres 01 karena ingin ada perubahan (18,6%). Sementara alasan tertinggi memilih pasangan capres-cawapres 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka) dan 03, masing-masing karena tegas, berwibawa, berlatar belakang militer (20,4%), dan perhatian kepada rakyat (26,7%).

Selain itu, para pemilih pasangan capres-cawapres 01 dan 03 mempertimbangkan visi-misi dan program kerjanya (18,6% dan 12,3%). Dengan kata lain, para pemilih tersebut memiliki aspirasi program pemerintahan relatif berbeda dengan pasangan capres-cawapres 02 yang memenangi Pilpres 2024.

Perbedaan itulah yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan para elite pengusung pasangan capres-cawapres 01 atau 03 membentuk oposisi. Elite memastikan keseimbangan kebijakan dan program pemerintah terpilih yang akan berdampak pada konstituennya.

Baca Juga :  Menjelang Pemilu 2024, Bupati Minta Warga Tolak Politik Identitas

Sementara analisis agregasi menunjukkan perbedaan pilihan capres-cawapres tidak sepenuhnya kontras dalam argumen memilih. Temuan EP Indikator (14 Februari 2024) menunjukkan kesamaan persepsi pemilih seluruh pasangan capres-cawapres mengenai masalah paling mendesak yang harus diselesaikan oleh pemimpin terpilih.

Tiga basis capres-cawapres sepakat mengenai urutan lima masalah paling mendesak dituntaskan, yaitu pengendalian harga-harga kebutuhan pokok, pemberantasan korupsi, pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan keamanan/ketertiban. Semua basis juga menginginkan perubahan.

Argumen perubahan tidak hanya diinginkan basis pasangan capres-cawapres 01 (14,3%) dan 03 (6,9%). Basis pasangan 02 menginginkan hal yang sama (4,8%), sebagaimana temuan jajak pendapat LSI Lembaga (19–21 Februari 2024).

Berdasar temuan tersebut, gagasan pentingnya oposisi pada pemerintahan mendatang (2024–2029) memiliki landasan logis. Kehadiran oposisi bukan semata karena kebutuhan pengawasan pemerintahan. Oposisi juga memiliki visi mewujudkan aspirasi konstituen.

Oposisi tak semata mencegah tirani pembuatan kebijakan. Oposisi juga menjamin pemerintah bertanggung jawab menjalankan legislasi dan penganggaran dengan mengakomodasi kepentingan basis pasangan kandidat 01 dan 03.

Untuk mewujudkan oposisi, kita bisa belajar dari temuan-temuan akademis. Riset dan teori oposisi dalam kajian politik mengungkap lima elemen pendorong politik oposisi. Unsur tersebut adalah pengaturan kelembagaan oposisi, posisi politik partai dan pimpinan partai, polarisasi ideologi, tingkat fragmentasi lembaga legislatif, serta preferensi para legislator (Forestiere, 2011).

Pascapemilu 2024, hanya polarisasi ideologi yang kurang tampak menonjol pada peta kekuatan parlemen mendatang. Meskipun demikian, belajar dari pengalaman pembentukan pemerintah sebelumnya, arah koalisi atau oposisi cenderung ditentukan secara eksklusif oleh posisi politik partai dan pemimpin partai. Maka, sikap etis para pemimpin partai dibutuhkan untuk berkomitmen membangun kekuatan oposisi.

Bila prasyarat utama sudah terpenuhi, gagasan oposisi yang akan dibangun selama periode pemerintahan mendatang perlu disiapkan. Para elite parpol oposan sebaiknya keluar dari model oposisi biner. Praktik checks and balances yang mengedepankan perbedaan berisiko menimbulkan kemacetan pengambilan kebijakan dan minim nilai kemanfaatan publik.

Baca Juga :  Presiden Dapur

Untuk itu, ide oposisi nonbiner bisa diajukan. Para pengusung oposisi tidak menerapkan prinsip berhadapan dan saling menihilkan. Sistem nonbiner memandu posisi oposan terhadap rancangan kebijakan pemerintah tidak sekadar berseberangan, tapi juga saling memaksimalkan nilai manfaat kebijakan.

Oposisi tidak sebatas mengekspresikan nalar kritis atau berargumentasi jernih dan rasional, mengandalkan hubungan logis, konsisten, dan menyelesaikan masalah. Oposisi nonbiner meningkatkan levelnya menjadi nalar kreatif dengan mengajukan perspektif baru, tidak klise, dan menawarkan kebaruan solusi atas masalah publik yang sedang diselesaikan pemerintah. Pada level terbaik, oposisi nonbiner bernalar desain dengan senantiasa mencari solusi inovatif atas masalah publik yang kompleks dan berpusat pada kepentingan publik.

Secara politis, langkah oposisi nonbiner akan mencegah ketua umum partai berperilaku sebagai pemain veto dan mendorongnya menjadi wiraswasta politik. Pemimpin partai berorientasi memanfaatkan kesempatan, bukan mengubah problem publik menjadi amunisi politik. Menurut Tsebelis (2002), risiko banyaknya pemain veto justru mendukung status quo kebijakan karena terlalu banyak pilihan yang sulit diselaraskan saat akan melakukan perubahan kebijakan.

Terakhir, oposisi nonbiner juga bisa menekan persoalan inkompatibilitas presidensialisme multipartai. Orientasi oposisi sebagai negosiator kepentingan konstituen membantu penyelarasan aspirasi dalam rancangan kebijakan pemerintah.

Sehingga efektivitas pemerintahan dan stabilitas demokrasi akan tercapai karena fragmentasi antarpartai rendah akibat keterlibatan oposisi dalam musyawarah rancangan kebijakan pemerintah. Alhasil, praktik oposisi biner layak disudahi demi politik legislasi dan penganggaran pemerintah mendatang lebih dialogis. (*)

*) WAWAN SOBARI, Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya

 

Terpopuler

Artikel Terbaru