28.1 C
Jakarta
Saturday, December 21, 2024

P. Diddy dan Hedonisme Pesakitan

Oleh: Moammar Emka

KEJAHATAN dan pelecehan seksual, perdagangan manusia, pemerasan, kekerasan, prostitusi, sampai eksploitasi anak di bawah umur adalah sederet tuduhan serius yang kini harus dihadapi P. Diddy.

Banyak yang terbelalak kaget. Ada yang tak percaya. Sebagian mungkin sibuk bertanya-tanya. Benarkah rapper dan produser bernama lengkap Sean John Combs itu sebegitu liar, jahat, dan sadis? Atau sesakit itukah gaya hidup pelantun I’ll Be Missing You itu?

Harta, Takhta, dan Pesta

Terkenal, harta melimpah, dan punya kendali kekuasaan di industri hiburan (musik). Tak ada yang memungkiri. P. Diddy punya semua itu. Tak heran jika kehidupan sehari-harinya serba bergelimang kemewahan. Rumah, mobil, baju, dan segala yang melekat pada dirinya adalah simbol sekaligus perwujudan nyata dari gaya hidupnya.

Pesta-pesta yang digelar di rumah pribadinya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari gambar besar bagaimana gaya hidup seorang P. Diddy. Dengan kekayaan dan kendali kekuasaannya, P. Diddy menggelar white party di rumah mewahnya yang dihadiri sejumlah selebriti papan atas Hollywood. Di rumah megah seharga Rp 921 miliar itu juga, P. Diddy mengaktualisasi dan melegitimasi eksistensi dirinya.

Bukan hanya white party, ternyata P. Diddy punya freak off party yang rutin ia gelar setiap tahun secara privat. Ini bukan sembarang pesta biasa, melainkan pesta liar yang berlangsung selama beberapa hari dan melibatkan aktivitas seksual secara maraton serta obat-obatan terlarang.

Mirisnya, beredar kabar bahwa pesta tersebut melibatkan perdagangan seks dan eksploitasi anak-anak di bawah umur yang dipaksa melakukan kegiatan seksual secara berlebihan.

Sekali lagi, pesta-pesta itu tak akan terjadi jika P. Diddy adalah orang biasa yang tak punya harta dan memiliki takhta. Seperti dua sisi mata uang, harta dan takhta menjadi simbiosis mutualisme yang saling mendukung dan menguatkan. Dan, lahirlah pesta-pesta liar dan ’’gila” itu. ’’No money, no party!”

Baca Juga :  Sumpah Pemuda di Era Bisnis Digital

 

Aaliyah dan Sean “Diddy” Combs. (KEVIN WINTER/GETTY IMAGE VIA AFP) (KEVIN WINTER)

Hedonisme Pesakitan

Jika benar terbukti, pesta freak off –seolah-olah– semakin mengukuhkan eksistensi P. Diddy sebagai penganut hedonisme. Gaya hidup yang ia jalani hanya berfokus mencari kesenangan dan kepuasan semata. Dengan begitu, gampang dan tanpa beban membelanjakan uangnya untuk mencapai kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Bahkan –jika perlu– menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Sayangnya, pesta freak off juga menjadi potret hitam, bagaimana hedonisme dianut dan dirayakan secara berlebihan dan kelewat batas. Bahkan cenderung mengarah pada pesakitan. Aktivitas seperti perdagangan seks dan eksploitasi anak di bawah umur adalah dua di antara sederet contoh nyatanya. Di pesta itu tidak ada batasan umur, gender, dan orientasi seks seseorang. Semua boleh dan bebas berpesta pora.

Suka tidak suka, apa yang dilakukan P. Diddy di Negeri Paman Sam itu ternyata juga dilakukan sebagian orang di Indonesia, misalnya di Jakarta. Tentu saja perbandingannya tidak bisa secara apple-to-apple, tapi lebih terfokus pada perilaku-perilaku dan aktivitas pesta yang di luar batas kewajaran.

Sebelum berita tentang P. Diddy yang menggunakan bunker sebagai salah satu tempat berpesta mencuat ke permukaan dan viral misalnya, jauh hari sebelumnya, sekitar sepuluh tahun lalu, di Jakarta ada sebuah komunitas yang menggelar orgy party selama beberapa hari di basemen rumah mewah yang disulap menjadi kelab malam (baca buku Jakarta Undercover 1 (Sex in the City), 2003).

Baca Juga :  Tindak Tutur Politik dan Kepercayaan Publik

Tak hanya itu, di tahun-tahun berikutnya, muncul beragam pesta liar yang lain dengan tema-tema tertentu yang digelar secara privat. Sebut saja Swinger Party, Tukar Kunci, Topless/Tangju Party, Pesta Tukar Kelamin, dan Arisan Seks.

Pada saat bersamaan, industri hiburan yang menjual jasa sex-entertainment juga tumbuh subur dengan menawarkan berbagai macam variasi pelayanan seks. Sebut saja sushi girl, seks helikopter, threesome service, dan seks kursi donat. Bahkan pada perkembangannya, dari 2010 sampai sekarang, muncul tren supermarket seks di industri hiburan triple X.

Pada titik ini, para pegiat hedonisme pesakitan bisa mendapatkan impiannya dengan dua cara. Pertama, menggelar pesta seks secara privat atau menjadi bagian dari komunitas. Kedua, tinggal mencari dan datang ke tempat hiburan sex-entertainment yang menjual aneka menu seks sesuai selera.

Inilah kenyataan yang terjadi. Artinya, hedonisme pesakitan bisa terjadi di mana saja dan dianut oleh siapa saja. Sadar atau tidak, dari sisi perilaku, hedonisme pesakitan bermetamorfosis menjadi bagian dari gaya hidup yang dianut sebagian masyarakat, terutama yang hidup di bawah payung harta, takhta, dan pesta.

  1. Diddy hanyalah satu sketsa wajah dari sekian ribu wajah yang tergambar dalam kanvas buram. Dan di antara ribuan sketsa wajah tersebut, tak ada yang tahu siapa di balik wajah-wajah itu sesungguhnya. Semoga bukan kita. (*)

Oleh: Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover, pengamat gaya hidup

 

Oleh: Moammar Emka

KEJAHATAN dan pelecehan seksual, perdagangan manusia, pemerasan, kekerasan, prostitusi, sampai eksploitasi anak di bawah umur adalah sederet tuduhan serius yang kini harus dihadapi P. Diddy.

Banyak yang terbelalak kaget. Ada yang tak percaya. Sebagian mungkin sibuk bertanya-tanya. Benarkah rapper dan produser bernama lengkap Sean John Combs itu sebegitu liar, jahat, dan sadis? Atau sesakit itukah gaya hidup pelantun I’ll Be Missing You itu?

Harta, Takhta, dan Pesta

Terkenal, harta melimpah, dan punya kendali kekuasaan di industri hiburan (musik). Tak ada yang memungkiri. P. Diddy punya semua itu. Tak heran jika kehidupan sehari-harinya serba bergelimang kemewahan. Rumah, mobil, baju, dan segala yang melekat pada dirinya adalah simbol sekaligus perwujudan nyata dari gaya hidupnya.

Pesta-pesta yang digelar di rumah pribadinya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari gambar besar bagaimana gaya hidup seorang P. Diddy. Dengan kekayaan dan kendali kekuasaannya, P. Diddy menggelar white party di rumah mewahnya yang dihadiri sejumlah selebriti papan atas Hollywood. Di rumah megah seharga Rp 921 miliar itu juga, P. Diddy mengaktualisasi dan melegitimasi eksistensi dirinya.

Bukan hanya white party, ternyata P. Diddy punya freak off party yang rutin ia gelar setiap tahun secara privat. Ini bukan sembarang pesta biasa, melainkan pesta liar yang berlangsung selama beberapa hari dan melibatkan aktivitas seksual secara maraton serta obat-obatan terlarang.

Mirisnya, beredar kabar bahwa pesta tersebut melibatkan perdagangan seks dan eksploitasi anak-anak di bawah umur yang dipaksa melakukan kegiatan seksual secara berlebihan.

Sekali lagi, pesta-pesta itu tak akan terjadi jika P. Diddy adalah orang biasa yang tak punya harta dan memiliki takhta. Seperti dua sisi mata uang, harta dan takhta menjadi simbiosis mutualisme yang saling mendukung dan menguatkan. Dan, lahirlah pesta-pesta liar dan ’’gila” itu. ’’No money, no party!”

Baca Juga :  Sumpah Pemuda di Era Bisnis Digital

 

Aaliyah dan Sean “Diddy” Combs. (KEVIN WINTER/GETTY IMAGE VIA AFP) (KEVIN WINTER)

Hedonisme Pesakitan

Jika benar terbukti, pesta freak off –seolah-olah– semakin mengukuhkan eksistensi P. Diddy sebagai penganut hedonisme. Gaya hidup yang ia jalani hanya berfokus mencari kesenangan dan kepuasan semata. Dengan begitu, gampang dan tanpa beban membelanjakan uangnya untuk mencapai kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Bahkan –jika perlu– menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Sayangnya, pesta freak off juga menjadi potret hitam, bagaimana hedonisme dianut dan dirayakan secara berlebihan dan kelewat batas. Bahkan cenderung mengarah pada pesakitan. Aktivitas seperti perdagangan seks dan eksploitasi anak di bawah umur adalah dua di antara sederet contoh nyatanya. Di pesta itu tidak ada batasan umur, gender, dan orientasi seks seseorang. Semua boleh dan bebas berpesta pora.

Suka tidak suka, apa yang dilakukan P. Diddy di Negeri Paman Sam itu ternyata juga dilakukan sebagian orang di Indonesia, misalnya di Jakarta. Tentu saja perbandingannya tidak bisa secara apple-to-apple, tapi lebih terfokus pada perilaku-perilaku dan aktivitas pesta yang di luar batas kewajaran.

Sebelum berita tentang P. Diddy yang menggunakan bunker sebagai salah satu tempat berpesta mencuat ke permukaan dan viral misalnya, jauh hari sebelumnya, sekitar sepuluh tahun lalu, di Jakarta ada sebuah komunitas yang menggelar orgy party selama beberapa hari di basemen rumah mewah yang disulap menjadi kelab malam (baca buku Jakarta Undercover 1 (Sex in the City), 2003).

Baca Juga :  Tindak Tutur Politik dan Kepercayaan Publik

Tak hanya itu, di tahun-tahun berikutnya, muncul beragam pesta liar yang lain dengan tema-tema tertentu yang digelar secara privat. Sebut saja Swinger Party, Tukar Kunci, Topless/Tangju Party, Pesta Tukar Kelamin, dan Arisan Seks.

Pada saat bersamaan, industri hiburan yang menjual jasa sex-entertainment juga tumbuh subur dengan menawarkan berbagai macam variasi pelayanan seks. Sebut saja sushi girl, seks helikopter, threesome service, dan seks kursi donat. Bahkan pada perkembangannya, dari 2010 sampai sekarang, muncul tren supermarket seks di industri hiburan triple X.

Pada titik ini, para pegiat hedonisme pesakitan bisa mendapatkan impiannya dengan dua cara. Pertama, menggelar pesta seks secara privat atau menjadi bagian dari komunitas. Kedua, tinggal mencari dan datang ke tempat hiburan sex-entertainment yang menjual aneka menu seks sesuai selera.

Inilah kenyataan yang terjadi. Artinya, hedonisme pesakitan bisa terjadi di mana saja dan dianut oleh siapa saja. Sadar atau tidak, dari sisi perilaku, hedonisme pesakitan bermetamorfosis menjadi bagian dari gaya hidup yang dianut sebagian masyarakat, terutama yang hidup di bawah payung harta, takhta, dan pesta.

  1. Diddy hanyalah satu sketsa wajah dari sekian ribu wajah yang tergambar dalam kanvas buram. Dan di antara ribuan sketsa wajah tersebut, tak ada yang tahu siapa di balik wajah-wajah itu sesungguhnya. Semoga bukan kita. (*)

Oleh: Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover, pengamat gaya hidup

 

Terpopuler

Artikel Terbaru