PEMUDA di era ekonomi digital ini tetaplah relevan untuk bersumpah: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa (Indonesia). Walaupun berada pada dua realitas yang berbeda, namun terintegrasi. Realitas pembangunan pada aspek kehidupan secara offline sebagai komitmen tinggi terhadap keutuhan tanah air dan persatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke. Sumpah ini diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sampai wilayah perbatasan lewat usaha pertanian, peternakan, dan perikanan.
Realitas kedua adalah platform digital atau bisnis online dalam menjaga kedaulatan NKRI. Platform yang dipakai kaum muda untuk go digital bisa berupa aplikasi sederhana seperti WhatsApp, LINE, dan Telegram. Juga media sosial umum seperti Facebook, Instagram, Linkedln, dan Twitter. Kaum muda juga dapat berkolaborasi dengan unicorn nasional seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Di sini para unicorn membantu promosi dan penjualan produk mereka.
Di level berikutnya, kaum pebisnis muda bisa saja membangun sistem elektronik bisnis (e-business) secara mandiri alias tidak melibatkan unicorn. Hanya, khusus platform pada level ini kaum muda perlu menguasai teknologi informasi guna menyelaraskan bisnisnya dengan teknologi informasi (arsitektur enterprise). Demi sukses di pasar global, kaum muda harus mampu mengelola informasi tentang kondisi harga di pasar online, pengelolaan database konsumen, dan perencanaan sistem kerja serta pengawasan kerja.
Bahkan, kaum muda berplatform mandiri harus bisa mengeksplorasi pemanfaatan sistem digital supaya bisnisnya berkembang cepat. Dalam arsitektur enterprise, pebisnis muda memiliki biaya operasional yang lebih rendah, organisasi lebih gesit, tenaga kerja lebih fleksibel, dan produktivitas meningkat. Kaum muda juga harus mampu membuat konten website yang menarik dan lengkap sebagai jendela informasi produk, harga, dan aplikasi transaksi yang mudah bagi pelanggan. Ini butuh kepemimpinan digital yang fokus pada kualitas layanan dan mampu mengoptimalkan ragam aset digital di perusahaan.
Koneksi bisnis online lintas negara tidak menjadi pendegradasi jiwa nasionalisme pemuda. Tetapi justru sebagai zona perjuangan lewat pemasaran produk-produk dalam negeri sekaligus menaikkan citra Indonesia di kancah perdagangan dunia. Karena itu, kaum muda perlu terus menyadari bahwa platform bisnis digital telah terintegrasi dengan semua area bisnis global dengan budaya organisasi yang serbaprogresif. Misalnya, terciptanya pelayanan yang cepat, akurat, aman, dan efisien ke semua pelanggan di berbagai lokasi.
Koneksi online juga telah memudahkan dan mempercepat transaksi kaum muda dengan berbagai pihak (stakeholder). Dengan begitu, produk atau layanan pebisnis muda bisa lebih kompetitif dan dipasarkan secara efisien.
Namun, ada beberapa kendala pemuda menghadapi era digital. Pertama, tidak semua pemuda memiliki visi bisnis digital. Padahal, hampir semua bidang bisnis, termasuk pertanian, perikanan, dan peternakan, butuh bertransformasi ke digital dengan pengelolaan yang sesuai dinamika teknologi informasi.
Tanpa visi digital, pebisnis muda bakal kesulitan mencapai keterampilan e-commerce hingga gagal dalam mewujudkan transformasi digital. Kedua, transformasi digital butuh biaya dan investasi supaya bisa menjadi inovator yang mampu membuat standar kemajuan digital sesuai bidang usahanya. Karena itu, faktor kekhawatiran kaum muda terhadap risiko gagal menjadi salah satu kendala dalam berjuang di zona bisnis digital.
Nasionalisme Digital
Akibatnya, sebagian kaum muda lebih nyaman dengan budaya bisnis konvensional dengan tim kerja serta karyawan yang kian lama kian sulit dikonversi menjadi pekerja bisnis digital. Kelompok pemuda ini belum berani melakukan eksperimen digital hingga teknologi yang dipakai berdagang tidak bisa mengikuti pesatnya inovasi bisnis digital. Mereka kesulitan beradaptasi dengan sistem digital baru yang diinginkan pelanggan.
Kaum muda yang sudah go digital ditantang untuk mampu melindungi diri dari banyaknya informasi yang dipindahkan ke cloud (kumpulan server dan pusat data). Data internal perusahaan perlu dijaga dengan langkah-langkah inovatif. Ini tentu tidak mudah dilakukan pebisnis baru dalam bisnis digital. Sebagian kaum muda belum memiliki pengalaman berkolaborasi dengan berbagai pihak dan juga belum menguasai regulasi e-commerce. Misalnya, sistem upah tenaga kerja online, kontrak bisnis online, dan perpajakan.
Selain itu, kaum muda perlu meningkatkan pemahaman tentang tata kelola informasi, digital marketing, sistem keuangan online, regulasi paten, dan perlindungan konsumen. Karena itulah, pemerintah, unicorn nasional, dan kampus teknologi informasi perlu menyiapkan kaum muda (lewat pelatihan) tentang dunia bisnis digital. Bila perlu, pemerintah menopang biaya infrastruktur teknologi usahawan muda yang berpotensi besar go digital.
Nasionalisme para unicorn nasional perlu mendampingi jutaan bisnis kaum muda (yang belum go digital) sebagai potensi besar dalam menghadapi persaingan bisnis global. Jadi, nasionalisme digital kita lebih berwujud pada kolaborasi kekuatan e-commerce dalam konteks perdagangan bebas.
Nasionalisme digital bukan mengontrol atau membatasi internet (situs web) di wilayah tertentu di wilayah RI. Artinya, pemerintah tidak perlu membatasi aktivitas bisnis online warganya, terutama kreativitas kaum muda dalam bisnis digital.
Dengan demikian, platform digital justru membebaskan kaum muda dari batas ruang dan waktu menuju marketplace yang tak terbatas. Namun, pasca-go digital, kaum muda masih butuh pendampingan dalam menghadapi kompetisi di marketplace. Teknologi bisnis digital pada kaum muda pasti butuh pembaruan atau penyesuaian terus-menerus dengan kebutuhan stakeholder (terutama pelanggan) atau sesuai tren bisnis online masa kini. Mereka juga butuh riset pasar online untuk memahami perilaku pelanggan. Ini semua butuh kolaborasi sebagai wujud nasionalisme digital. (*)
AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Program Manajemen Bisnis FBE Universitas Kristen Petra Surabaya