26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Tindak Tutur Politik dan Kepercayaan Publik

MEDIA sosial adalah anak kreatif teknologi
informasi. Algoritma media sosial yang bisa mewadahi percakapan warga dunia
secara virtual menjadi berkah komunikasi umat manusia, termasuk anak negeri
ini. Dunia pendidikan, misalnya, mendapatkan berkah berupa kecepatan,
kemudahan, dan keluasan akses informasi. Belajar, di tengah pandemi, tidak
perlu berkumpul di gedung sekolah.

Kecuali di jagat komunikasi politik, berkah
ini tidak atau belum terjadi. Tindak tutur politik Indonesia menjadi paradoks
teknokrasi. Harusnya media sosial bisa menjadi fasilitator komunikasi
pemercepat literasi politik yang dewasa, kritis, dan kaya informasi. Namun,
pada kenyataannya, yang tersaji di media sosial adalah sebuah banalitas yang
tak terkendali. Tuturan kebencian penuh permusuhan yang saling melaknat dan
caci maki memenuhi ruang komunikasi politik di media sosial Indonesia.

Dalam wawasan Neil Postman asal New York
University, tindak tutur politik di media sosial tidak lagi bersifat mengasah
literasi, keahlian, dan keadaban publik (teknokrasi). Tetapi terjerumus pada
ketertutupan, eksklusivitas, polarisasi, dan totalitarianisme bermedia sosial.
Oleh Postman, gejala ini disebut teknopoli. Simaklah bagaimana di media sosial
hawa sengketa horizontal karena perbedaan afiliasi politik terus mendidih. Dua
kubu terus bersitegang. Kubu yang berada di dalam kekuasaan dan yang di luar
kekuasaan. Kubu pendukung dan kubu pengkritik.

Menjadi sebuah adab komunikasi jika yang
terjadi dalam sengketa itu adalah adu data, adu argumen, adu strategi logika
menarasikan isu. Misalnya isu korupsi atau virus korona. Pasti kedua kubu
menjadikan isu korupsi dan Covid-19 sebagai musuh bersama. Yang berbeda adalah
strategi penanganannya. Justru perbedaan strategi akan menghasilkan saling
koreksi dan validasi untuk menemukan penanganan korupsi dan Covid-19 yang
efektif.

Yang tidak beradab adalah terjadinya serangan
pada pribadi. Tak terhitung kiranya jumlah tokoh, figur, elite politik, atau
orang biasa yang diserang pribadi mereka. Memang belum ada laporan rating dan
ranking tentang siapa yang paling sering diserang pribadinya.

Baca Juga :  Spirit dan Strategi Penyiapan Guru Masa Depan

Berikut ini untuk sekadar contoh kasus
ringan. Label ’’pengkhianat’’ disematkan tokoh muda yang memutuskan untuk
gabung di kabinet. Perundungan juga dialami mantan Wapres tepat setelah ia
mengemukakan pertanyaan: Bagaimana cara mengkritik tanpa dipanggil polisi?
Demikian juga akronim yang sangat peyoratif ASU beredar di Twitter untuk
mencibir skenario Pilpres 2024. Tuturan lain yang lebih sadis menjijikkan
dibandingkan tiga kasus itu dan bahkan bisa memantik sentimen agama, ras, dan
suku dengan mudah ditemukan di media sosial.

Dalam ilmu logika, tindak tutur yang
menyerang pribadi disebut adhominem. Cara bertutur akibat kegagalan bersikap
objektif menangkap inti persoalan lalu dilampiaskan dengan menyerang pribadi
lawan bicara. Gejala adhominem dalam bertutur di dunia maya semakin masif
mengoyak ketersinggungan. Konsekuensi di dunia nyata, pihak, kelompok, dan
perorangan yang tersinggung merasa terhina lalu membuat laporan pidana ke
polisi. Terjadilah aksi saling melaporkan. Nahasnya lagi, kerja polisi memproses
laporan sering kali dicurigai pandang bulu dan kurang imparsial. Kehangatan
berwarga negara pun mulai sirna.

 

Jika dibiarkan, tidak mustahil gejala ini
segera mengikis habis kepercayaan antarsesama anak negeri (public trust). Kubu
yang bersengketa jelas saja tidak akan saling percaya. Sebab, masing-masing
mendaku kebenaran dengan psikologi permusuhan. Sementara mereka yang masih bisa
jaga jarak objektivitas, atau mereka yang tidak terlampau jauh terlibat
sengketa, hanya bisa menyisakan tanya: siapa dan kubu mana yang lebih benar
adanya?

Menjaga Kepercayaan Publik

Untuk bisa menjaga kepercayaan publik agar
tidak jatuh ke titik nadir, para pengguna media sosial dan konsumen berita
politik harus segera siuman. Antagonisme tindak tutur politik di media sosial
itu hanyalah realitas yang tertambah (augmented reality). Jangan biarkan
menjadi hiperrealitas yang terus menguras emosi, memompa rasa curiga, benci,
permusuhan terus menggelembung dalam otak limbik.

Baca Juga :  Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi

Sangat dibutuhkan keteladanan dari para elite
atau tokoh, baik yang berada di dalam maupun luar kekuasaan, untuk terus
menjaga konsistensi tuturan dengan tindakan mereka. Jangan sampai tuturan dan
tindakan mereka pecah kongsi. Keteladaan untuk tidak mendaku dengan paksa bahwa
tuturan pihaknya paling benar sembari menyalahkan tuturan yang liyan.
Keteladanan untuk bersedia mendengar dan jika perlu meralat dengan minta maaf
secara legawa atas kesalahan tuturan.

Belajar dari lingusitik, tindak tutur adalah
amalan yang berupa bahasa (doing things with the words). Harus dipahami, bahasa
bukanlah fakta itu sendiri. Bahasa adalah representasi fakta. Karena sifat
representatif itu, Richard dan Ogden mengajarkan bahwa dalam berbahasa, pilihan
kata bisa melencengkan fakta (misleading). Meskipun melenceng, permainan bahasa
(language games) akan tetap bisa berlangsung karena dalam tubuh bahasa ada
fasilitas berupa gramatika.

Dengan demikian, tindak tutur yang melenceng
(misleading) dari fakta sangat bisa dibuat dengan sengaja. Untuk kepentingan
kekuasaan sesaat, misleading sengaja diproduksi secara masal. Di sini pula
terjadinya hoaks sangat niscaya. Tindak tutur yang menyerang pribadi dengan
penuh permusuhan harus dicurigai sebagai salah satu produksi misleading
berbahasa itu. Apalagi jika tindak tutur tersebut berdampak pada doxing
informasi, yaitu menciptakan sikap menerima pesan, langsung memercayai, lalu
bersikap fanatik. Maka, dengan mengedepankan adab tindak tutur politik di
tengah usulan revisi UU ITE, kita berharap kepercayaan publik tetap terjaga.
(*)

Fathurrofiq, Dosen Linguistik Sekolah Tinggi
Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Paciran, Lamongan

MEDIA sosial adalah anak kreatif teknologi
informasi. Algoritma media sosial yang bisa mewadahi percakapan warga dunia
secara virtual menjadi berkah komunikasi umat manusia, termasuk anak negeri
ini. Dunia pendidikan, misalnya, mendapatkan berkah berupa kecepatan,
kemudahan, dan keluasan akses informasi. Belajar, di tengah pandemi, tidak
perlu berkumpul di gedung sekolah.

Kecuali di jagat komunikasi politik, berkah
ini tidak atau belum terjadi. Tindak tutur politik Indonesia menjadi paradoks
teknokrasi. Harusnya media sosial bisa menjadi fasilitator komunikasi
pemercepat literasi politik yang dewasa, kritis, dan kaya informasi. Namun,
pada kenyataannya, yang tersaji di media sosial adalah sebuah banalitas yang
tak terkendali. Tuturan kebencian penuh permusuhan yang saling melaknat dan
caci maki memenuhi ruang komunikasi politik di media sosial Indonesia.

Dalam wawasan Neil Postman asal New York
University, tindak tutur politik di media sosial tidak lagi bersifat mengasah
literasi, keahlian, dan keadaban publik (teknokrasi). Tetapi terjerumus pada
ketertutupan, eksklusivitas, polarisasi, dan totalitarianisme bermedia sosial.
Oleh Postman, gejala ini disebut teknopoli. Simaklah bagaimana di media sosial
hawa sengketa horizontal karena perbedaan afiliasi politik terus mendidih. Dua
kubu terus bersitegang. Kubu yang berada di dalam kekuasaan dan yang di luar
kekuasaan. Kubu pendukung dan kubu pengkritik.

Menjadi sebuah adab komunikasi jika yang
terjadi dalam sengketa itu adalah adu data, adu argumen, adu strategi logika
menarasikan isu. Misalnya isu korupsi atau virus korona. Pasti kedua kubu
menjadikan isu korupsi dan Covid-19 sebagai musuh bersama. Yang berbeda adalah
strategi penanganannya. Justru perbedaan strategi akan menghasilkan saling
koreksi dan validasi untuk menemukan penanganan korupsi dan Covid-19 yang
efektif.

Yang tidak beradab adalah terjadinya serangan
pada pribadi. Tak terhitung kiranya jumlah tokoh, figur, elite politik, atau
orang biasa yang diserang pribadi mereka. Memang belum ada laporan rating dan
ranking tentang siapa yang paling sering diserang pribadinya.

Baca Juga :  Spirit dan Strategi Penyiapan Guru Masa Depan

Berikut ini untuk sekadar contoh kasus
ringan. Label ’’pengkhianat’’ disematkan tokoh muda yang memutuskan untuk
gabung di kabinet. Perundungan juga dialami mantan Wapres tepat setelah ia
mengemukakan pertanyaan: Bagaimana cara mengkritik tanpa dipanggil polisi?
Demikian juga akronim yang sangat peyoratif ASU beredar di Twitter untuk
mencibir skenario Pilpres 2024. Tuturan lain yang lebih sadis menjijikkan
dibandingkan tiga kasus itu dan bahkan bisa memantik sentimen agama, ras, dan
suku dengan mudah ditemukan di media sosial.

Dalam ilmu logika, tindak tutur yang
menyerang pribadi disebut adhominem. Cara bertutur akibat kegagalan bersikap
objektif menangkap inti persoalan lalu dilampiaskan dengan menyerang pribadi
lawan bicara. Gejala adhominem dalam bertutur di dunia maya semakin masif
mengoyak ketersinggungan. Konsekuensi di dunia nyata, pihak, kelompok, dan
perorangan yang tersinggung merasa terhina lalu membuat laporan pidana ke
polisi. Terjadilah aksi saling melaporkan. Nahasnya lagi, kerja polisi memproses
laporan sering kali dicurigai pandang bulu dan kurang imparsial. Kehangatan
berwarga negara pun mulai sirna.

 

Jika dibiarkan, tidak mustahil gejala ini
segera mengikis habis kepercayaan antarsesama anak negeri (public trust). Kubu
yang bersengketa jelas saja tidak akan saling percaya. Sebab, masing-masing
mendaku kebenaran dengan psikologi permusuhan. Sementara mereka yang masih bisa
jaga jarak objektivitas, atau mereka yang tidak terlampau jauh terlibat
sengketa, hanya bisa menyisakan tanya: siapa dan kubu mana yang lebih benar
adanya?

Menjaga Kepercayaan Publik

Untuk bisa menjaga kepercayaan publik agar
tidak jatuh ke titik nadir, para pengguna media sosial dan konsumen berita
politik harus segera siuman. Antagonisme tindak tutur politik di media sosial
itu hanyalah realitas yang tertambah (augmented reality). Jangan biarkan
menjadi hiperrealitas yang terus menguras emosi, memompa rasa curiga, benci,
permusuhan terus menggelembung dalam otak limbik.

Baca Juga :  Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi

Sangat dibutuhkan keteladanan dari para elite
atau tokoh, baik yang berada di dalam maupun luar kekuasaan, untuk terus
menjaga konsistensi tuturan dengan tindakan mereka. Jangan sampai tuturan dan
tindakan mereka pecah kongsi. Keteladaan untuk tidak mendaku dengan paksa bahwa
tuturan pihaknya paling benar sembari menyalahkan tuturan yang liyan.
Keteladanan untuk bersedia mendengar dan jika perlu meralat dengan minta maaf
secara legawa atas kesalahan tuturan.

Belajar dari lingusitik, tindak tutur adalah
amalan yang berupa bahasa (doing things with the words). Harus dipahami, bahasa
bukanlah fakta itu sendiri. Bahasa adalah representasi fakta. Karena sifat
representatif itu, Richard dan Ogden mengajarkan bahwa dalam berbahasa, pilihan
kata bisa melencengkan fakta (misleading). Meskipun melenceng, permainan bahasa
(language games) akan tetap bisa berlangsung karena dalam tubuh bahasa ada
fasilitas berupa gramatika.

Dengan demikian, tindak tutur yang melenceng
(misleading) dari fakta sangat bisa dibuat dengan sengaja. Untuk kepentingan
kekuasaan sesaat, misleading sengaja diproduksi secara masal. Di sini pula
terjadinya hoaks sangat niscaya. Tindak tutur yang menyerang pribadi dengan
penuh permusuhan harus dicurigai sebagai salah satu produksi misleading
berbahasa itu. Apalagi jika tindak tutur tersebut berdampak pada doxing
informasi, yaitu menciptakan sikap menerima pesan, langsung memercayai, lalu
bersikap fanatik. Maka, dengan mengedepankan adab tindak tutur politik di
tengah usulan revisi UU ITE, kita berharap kepercayaan publik tetap terjaga.
(*)

Fathurrofiq, Dosen Linguistik Sekolah Tinggi
Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Paciran, Lamongan

Terpopuler

Artikel Terbaru