25.4 C
Jakarta
Sunday, September 29, 2024

Flaneur Jawa Itu Bernama Purwalelana

Arya Purwalelana, seorang ningrat Jawa, berkelana ke penjuru Jawa pada periode 1860–1875. Dia mencatat segala praktik hidup yang menurutnya menarik.

APABILA catatan-catatan perjalanan di Jawa yang ditulis oleh bangsa Eropa kerap dianggap sarat stereotipe yang bias ”Barat”, buku ini dapat diposisikan pada sisi berbeda. Lanskap daerah-daerah di Jawa yang sedang dalam fase-fase awal peralihan dari masyarakat agraris ke semi-industri dituturkan berdasar perspektif orang Jawa itu sendiri. Persisnya, perspektif seorang ningrat Jawa.

Buku setebal 318 halaman ini merupakan terjemahan dari buku asal cariyos bab lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana jilid 1 dan 2 yang pernah diterbitkan pada 1877 dan 1880.

Penulisnya adalah RMAA Candranegara V alias Arya Purwalelana, ningrat Jawa yang gemar berkelana ke hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa antara tahun 1860–1875. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Madura, Prancis, Belanda, dan Inggris.

Terbagi dalam empat babak perjalanan, tiap lembar buku ini mampu memantik imajinasi pembaca untuk membayangkan setidaknya tiga hal. Ruang, yakni gambaran tempat atau wilayah yang didatangi. Praktik, yakni peristiwa atau aktivitas manusia sehari-hari. Lalu kesadaran, yakni persepsi penulisnya terhadap ruang dan praktik yang dicatatnya.

Aspek ruang paling mengemuka terlukiskan. Mulai perairan dan kanal menuju jantung kota Surabaya, jalan-jalan di perbukitan Ngadisari-Probolinggo, hingga permukiman Belanda di Batavia, lengkap dengan gambaran trem yang ditarik oleh tiga ekor kuda. Bahasa Lelana cenderung lugas, bahkan ketika mendeskripsikan salah satu ornamen kota yang bisa membuat pembaca merinding:

”Di kota tua Jakarta, yang sekarang disebut Betawi, terdapat tengkorak kepala manusia yang ditusuk tombak dan ditempatkan di atas dinding bata di pinggir jalan… Di bawahnya terdapat tulisan Jawa kuno, yang wujud aksaranya sangat berbeda dibandingkan dengan tulisan orang sekarang (hal 23).”

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

Dalam Pengantar Penerbit dikatakan, versi terjemahan ini dilengkapi kurang lebih 76 gambar berupa foto maupun lukisan/litograf sebagai ilustrasi teks, lengkap dengan takarir. Sebagian besar material itu memang diambil dari era yang sama, namun sebagiannya lagi dari era berbeda.

Sayang, penerbitnya tidak menyertakan pula peta-peta sezaman dari masing-masing daerah yang dituliskan. Dalam genre catatan perjalanan, fungsi peta tak hanya bisa mempertajam ilustrasi, melainkan juga navigasi bagi pembaca dalam memahami toponimi, rute perjalanan, dan lanskap wilayah.

Lebih jauh, amat kentara dalam catatan-catatannya bahwa Lelana memosisikan diri sebagai, meminjam istilah penyair Prancis Charles Baudelaire (1863), seorang flaneur. Yakni, kalangan kelas atas yang punya banyak waktu santai untuk berjalan-jalan mengamati segala yang tampak di kota dan sekelilingnya. Sering kali itu dilakukan untuk kesenangan atau bisa juga gairah intelektual.

Lelana mencatat segala praktik hidup yang menurutnya menarik, khususnya hal-hal yang menampakkan kontras. Misalnya, Lelana menuliskan bahwa persis di depan masjid baru Ampel yang indah berlantai marmer, terdapat banyak pengemis yang berasal dari warga sekitar (hal 123).

Juga di Kudus saat itu, yang dalam pandangannya punya banyak imam, haji, dan santri, namun juga banyak dijumpai tledhek dan pelacur (hal 163). Tatkala Lelana tiba di Tengger, dirinya mengamati tata cara orang bertamu di sana, yang sama sekali lain dari definisi kesopanan serta tata krama dalam pandangan ningratnya (hal 100).

Catatan perjalanan merupakan pengalaman tertulis seseorang ketika menjelajahi suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Sebagai pengalaman individual, tentu subjektivitas penulisnya tak terelakkan, dan justru karenanya membuka ruang interpretasi bagi pembaca.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Pembaca dapat menafsirkan, misalnya, sejauh manakah pandangan Lelana sebagai ningrat Jawa mewujud pada caranya memilih dan mendeskripsikan objek-objek yang ditulisnya. Terkadang Lelana hanya membahas sepintas lalu apa yang dijumpainya, namun tetap menyampaikan penilaian tajam atas hal tersebut. Dalam hal teknologi, baik berbasis mesin maupun tradisional, Lelana lebih luwes menjelaskannya secara lebih terperinci.

Meskipun banyak mendeskripsikan ruang, praktik, dan kesadaran manusia-manusia di dalamnya, buku ini tetaplah catatan perjalanan yang tak dapat dan memang tak perlu dibandingkan dengan karya-karya etnografi. Namun, pembaca dapat membandingkan karya Lelana ini dengan buku-buku bergenre dan berasal dari era yang sama yang ditulis oleh penulis Eropa. Antara lain The History of Java vol 1-2 karya Raffles (1817), juga Life in Java vol 1-2 karya William Barrington Almeida (1864).

Apakah ada karya serupa dari penulis Jawa lain di era sebelumnya? Seperti diklaim oleh Lelana sendiri di bagian awal buku ini, ”Aku menerbitkan tulisan ini karena belum pernah mendengar dan membaca karya sastra Jawa yang mengisahkan perjalanan pada masa sekarang… Seluruhnya menceritakan tentang para raja, bangsawan, dan para pahlawan… Cerita-cerita itu hanya dijadikan sebagai penimbang.” Menarik, bukan? (*)

 

*) KUKUH YUDHA KARNANTA, Dosen Sastra Inggris FIB Unair

 

 

Judul: Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa (1860–1875)

Penulis: RMAA Candranegara V

Penerbit: Sinar Hidoep

Cetakan: Pertama, Juli 2024

Tebal: xxxiii + 318 halaman

ISBN: 978-623-88040-2-3

Arya Purwalelana, seorang ningrat Jawa, berkelana ke penjuru Jawa pada periode 1860–1875. Dia mencatat segala praktik hidup yang menurutnya menarik.

APABILA catatan-catatan perjalanan di Jawa yang ditulis oleh bangsa Eropa kerap dianggap sarat stereotipe yang bias ”Barat”, buku ini dapat diposisikan pada sisi berbeda. Lanskap daerah-daerah di Jawa yang sedang dalam fase-fase awal peralihan dari masyarakat agraris ke semi-industri dituturkan berdasar perspektif orang Jawa itu sendiri. Persisnya, perspektif seorang ningrat Jawa.

Buku setebal 318 halaman ini merupakan terjemahan dari buku asal cariyos bab lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana jilid 1 dan 2 yang pernah diterbitkan pada 1877 dan 1880.

Penulisnya adalah RMAA Candranegara V alias Arya Purwalelana, ningrat Jawa yang gemar berkelana ke hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa antara tahun 1860–1875. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Madura, Prancis, Belanda, dan Inggris.

Terbagi dalam empat babak perjalanan, tiap lembar buku ini mampu memantik imajinasi pembaca untuk membayangkan setidaknya tiga hal. Ruang, yakni gambaran tempat atau wilayah yang didatangi. Praktik, yakni peristiwa atau aktivitas manusia sehari-hari. Lalu kesadaran, yakni persepsi penulisnya terhadap ruang dan praktik yang dicatatnya.

Aspek ruang paling mengemuka terlukiskan. Mulai perairan dan kanal menuju jantung kota Surabaya, jalan-jalan di perbukitan Ngadisari-Probolinggo, hingga permukiman Belanda di Batavia, lengkap dengan gambaran trem yang ditarik oleh tiga ekor kuda. Bahasa Lelana cenderung lugas, bahkan ketika mendeskripsikan salah satu ornamen kota yang bisa membuat pembaca merinding:

”Di kota tua Jakarta, yang sekarang disebut Betawi, terdapat tengkorak kepala manusia yang ditusuk tombak dan ditempatkan di atas dinding bata di pinggir jalan… Di bawahnya terdapat tulisan Jawa kuno, yang wujud aksaranya sangat berbeda dibandingkan dengan tulisan orang sekarang (hal 23).”

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

Dalam Pengantar Penerbit dikatakan, versi terjemahan ini dilengkapi kurang lebih 76 gambar berupa foto maupun lukisan/litograf sebagai ilustrasi teks, lengkap dengan takarir. Sebagian besar material itu memang diambil dari era yang sama, namun sebagiannya lagi dari era berbeda.

Sayang, penerbitnya tidak menyertakan pula peta-peta sezaman dari masing-masing daerah yang dituliskan. Dalam genre catatan perjalanan, fungsi peta tak hanya bisa mempertajam ilustrasi, melainkan juga navigasi bagi pembaca dalam memahami toponimi, rute perjalanan, dan lanskap wilayah.

Lebih jauh, amat kentara dalam catatan-catatannya bahwa Lelana memosisikan diri sebagai, meminjam istilah penyair Prancis Charles Baudelaire (1863), seorang flaneur. Yakni, kalangan kelas atas yang punya banyak waktu santai untuk berjalan-jalan mengamati segala yang tampak di kota dan sekelilingnya. Sering kali itu dilakukan untuk kesenangan atau bisa juga gairah intelektual.

Lelana mencatat segala praktik hidup yang menurutnya menarik, khususnya hal-hal yang menampakkan kontras. Misalnya, Lelana menuliskan bahwa persis di depan masjid baru Ampel yang indah berlantai marmer, terdapat banyak pengemis yang berasal dari warga sekitar (hal 123).

Juga di Kudus saat itu, yang dalam pandangannya punya banyak imam, haji, dan santri, namun juga banyak dijumpai tledhek dan pelacur (hal 163). Tatkala Lelana tiba di Tengger, dirinya mengamati tata cara orang bertamu di sana, yang sama sekali lain dari definisi kesopanan serta tata krama dalam pandangan ningratnya (hal 100).

Catatan perjalanan merupakan pengalaman tertulis seseorang ketika menjelajahi suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Sebagai pengalaman individual, tentu subjektivitas penulisnya tak terelakkan, dan justru karenanya membuka ruang interpretasi bagi pembaca.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Pembaca dapat menafsirkan, misalnya, sejauh manakah pandangan Lelana sebagai ningrat Jawa mewujud pada caranya memilih dan mendeskripsikan objek-objek yang ditulisnya. Terkadang Lelana hanya membahas sepintas lalu apa yang dijumpainya, namun tetap menyampaikan penilaian tajam atas hal tersebut. Dalam hal teknologi, baik berbasis mesin maupun tradisional, Lelana lebih luwes menjelaskannya secara lebih terperinci.

Meskipun banyak mendeskripsikan ruang, praktik, dan kesadaran manusia-manusia di dalamnya, buku ini tetaplah catatan perjalanan yang tak dapat dan memang tak perlu dibandingkan dengan karya-karya etnografi. Namun, pembaca dapat membandingkan karya Lelana ini dengan buku-buku bergenre dan berasal dari era yang sama yang ditulis oleh penulis Eropa. Antara lain The History of Java vol 1-2 karya Raffles (1817), juga Life in Java vol 1-2 karya William Barrington Almeida (1864).

Apakah ada karya serupa dari penulis Jawa lain di era sebelumnya? Seperti diklaim oleh Lelana sendiri di bagian awal buku ini, ”Aku menerbitkan tulisan ini karena belum pernah mendengar dan membaca karya sastra Jawa yang mengisahkan perjalanan pada masa sekarang… Seluruhnya menceritakan tentang para raja, bangsawan, dan para pahlawan… Cerita-cerita itu hanya dijadikan sebagai penimbang.” Menarik, bukan? (*)

 

*) KUKUH YUDHA KARNANTA, Dosen Sastra Inggris FIB Unair

 

 

Judul: Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa (1860–1875)

Penulis: RMAA Candranegara V

Penerbit: Sinar Hidoep

Cetakan: Pertama, Juli 2024

Tebal: xxxiii + 318 halaman

ISBN: 978-623-88040-2-3

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru