SUARA guru dijadikan komoditas dalam siklus lima tahunan menjelang pemilu. Memprioritaskan kesejahteraan guru merupakan salah satu ”khotbah politik” yang acap kali didengungkan para calon legislatif (caleg) maupun capres-cawapres. Janji manis terhadap pendidik seolah menjadi pembius agar kelak memilih pasangan calon presiden tertentu.
Cara itu lazim dilakukan mengingat suara guru cukup signifikan. Pada Pemilu 2024, ada sekitar 3,5 juta guru yang memiliki hak suara. Jumlah yang cukup signifikan untuk mendongkrak perolehan suara mereka.
”Janji-janji surga” yang dicekokkan ke pendidik pada akhirnya hilang bak ditelan bumi. Ketika pemilu usai, problem guru seperti kesejahteraan guru yang sangat rendah, kompetensi, rekrutmen, dan distribusi guru masih amburadul. Perlindungan guru yang minim dan buruknya pengembangan karier guru menghantui kehidupan para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Suara guru yang awalnya bak berlian berubah menjadi ”sampah”. Guru harus kembali ke habitatnya sebagai pendidik yang mengimpikan kesejahteraan. Impian guru yang ingin sejahtera harus terkubur dalam-dalam. Dalam konteks siklus lima tahunan, guru semestinya sudah paham kondisi itu akan berulang. Sebagai makhluk terdidik, guru harus lebih kritis dalam melihat visi dan misi pasangan capres-cawapres.
Jika melihat sekilas janji ketiga capres-cawapres 2024, ada beberapa persoalan guru yang ingin diselesaikan. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ingin menuntaskan perekrutan ASN untuk guru. Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berjanji menambah tunjangan guru sebesar Rp 2 juta per bulan. Ganjar Pranowo-Mahfud MD berencana menetapkan gaji guru Rp 20 juta per bulan.
Politik Guru
Terlepas dari janji politik dari ketiga pasangan calon, posisi guru sebagai pendidik tidak akan pernah lepas dari urusan politik. Menjauhkan guru dalam urusan politik jelas mustahil. Sebab, sebagai bangsa Indonesia, mereka juga memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Guru adalah warga politik. Guru juga memiliki hak politik yang dijamin dalam undang-undang (UU).
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan (berpolitik). ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Lalu, dalam pasal 28 disebutkan, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Selain sebagai partisipan, jasa guru dalam politik juga diperlukan. Sebab, mereka yang memiliki ikatan khusus dengan generasi muda minimal untuk memberikan pendidikan politik. Lewat para gurulah pendidikan politik dapat disalurkan dengan baik. Dari sinilah kemudian guru ”dimanfaatkan” sebagai objek elektoral.
Dalam hal ini, ada beberapa hal mengapa guru menjadi santapan empuk dalam dunia politik. Pertama, dalam konteks otonomi daerah, guru lebih mudah dipengaruhi oleh kebijakan birokrasi. Kebijakan ini biasanya melewati tangan-tangan tersembunyi seperti dinas pendidikan terkait.
Guru biasanya diintimidasi jika tidak mendukung salah satu paslon. Bentuk intimidasi bermacam-macam, mulai kehilangan pekerjaan sebagai pendidik, dimutasi ke daerah terpencil, dan sebagainya.
Kedua, guru merupakan salah satu urat nadi dalam mendekatkan diri kepada masyarakat. Guru masih dipandang sebagai salah satu tokoh yang memiliki pengaruh untuk menentukan perilaku masyarakat. Di sinilah kemudian guru dimanfaatkan untuk menggerakkan masyarakat untuk mendukung salah satu calon.
Guru berpolitik memang masih sangat sulit diidentifikasi. Sebab, keberadaan mereka masih samar-samar dalam mendukung paslon. Bahkan, dukungan karena ada intimidasi dari atasan pun lebih pada individu sehingga sulit untuk dideteksi. Hanya, politisasi guru bisa diidentifikasi dengan lebih luas, yakni di organisasi keguruan.
Suara guru di bawah naungan organisasi keguruan di tanah air memang sangat menggiurkan. Bahkan, ada organisasi yang menaungi guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Organisasi tersebut juga memiliki identitas dan solidaritas. Organisasi itu juga terbilang kuat karena sudah memiliki akar hingga ke daerah. Selain organisasi tersebut, juga ada Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan lainnya.
Organisasi sebagai Penguat
Organisasi guru memiliki massa yang sangat jelas. Bahkan, organisasi ini memiliki suara dari pemilih tua hingga pemilih pemula. Dengan kekuatan itu, organisasi guru bisa menjadi salah satu daya tawar kepada capres-cawapres. Organisasi guru juga bisa menjadi mesin pendorong untuk mendesak pemerintah memajukan pendidikan.
Oleh karena itu, eksistensi guru, baik sebagai individu maupun organisasi, harus menjadi penguat terhadap kesejahteraan guru. Momentum politik bisa menjadi salah satu agenda penting bagi organisasi guru untuk menganalisis sejauh mana pasangan capres berpihak kepada guru.
Pertama, organisasi guru harus mampu mengontrol secara jelas dan terarah visi-misi capres yang benar-benar bervisi pendidikan. Dengan banyaknya organisasi guru, akan sangat mudah mengontrol dan menyisir kandidat yang berpihak kepada guru.
Kedua, sebagai pijakan politik guru nasional, organisasi guru harus menjadi garda terdepan sebagai penekan pemerintah. Artinya, ketika ada kebijakan yang tidak berpihak kepada guru, organisasi guru harus menjadi garda terdepan untuk bersuara.
Singkatnya, organisasi guru merupakan wadah profesi, perjuangan, dan serikat pekerja yang mempunyai sifat unitaristik, independen, dan nonpartisan. Organisasi guru juga bukan tempat ”nongkrong” para politikus. Guru juga bukan kumpulan suara politik. Menjaga marwah guru dan organisasinya serta menjaga jarak dalam politik praktis merupakan amanat moral yang lebih tinggi nilainya daripada urusan politik. (*)
*) TRI PUJIATI, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus