28 C
Jakarta
Thursday, December 26, 2024

Mendudukkan Finalitas dan Falibilitas Sistem Peradilan Indonesia

Oleh GIRI AHMAD TAUFIK, Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda, peneliti PSKN FH Unpad

Kekuatan analisis dari buku ini terletak pada kedalaman bahasan tentang praktik inkonsistensi penggunaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.

MAX Weber dalam bukunya, Wirtschaft und Gesellschaft, yang diluncurkan pada abad lalu menyatakan suatu masyarakat yang tidak dapat mempertahankan suatu tatanan normatif dalam memberikan kepastian hukum tidak akan bertumbuh dan berkembang menjadi suatu masyarakat modern.

Bagi Weber, kunci masyarakat modern yang berkembang adalah tersedianya hukum modern yang rasional dan bersifat logis, yang keputusan-keputusan hukumnya dapat diprediksi dan diperhitungkan, sehingga memberikan suasana yang stabil dan berkepastian bagi anggota masyarakat yang hidup di dalamnya.

Pada konstruksi tersebut di atas, saya membaca karya buku Binziad Kadafi, anggota Komisi Yudisial, yang berjudul Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan. Buku ini adalah sebuah buku yang lahir dari kegelisahan seorang pegiat hukum melihat gagalnya sistem peradilan dalam memberikan kepastian hukum di Indonesia.

Salah satu persoalan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum ini adalah tidak adanya standar yang ajek terkait dengan finalitas proses peradilan di Indonesia. Situasi ini terjadi disebabkan ketidakkonsistenan Mahkamah Agung (MA) di dalam memberikan batasan terhadap upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Secara normatif, PK seharusnya merupakan upaya luar biasa untuk mengoreksi –dalam hal keadaan yang terbatas– sebuah putusan yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Pada praktiknya, MA beberapa kali menyidangkan PK perkara hukum, memiliki karakteristik yang sama, namun dengan keputusan yang berbeda.

Baca Juga :  Membongkar Logika Berpikir dengan Bahasa

Misalnya, dalam persoalan PK dalam kasus Sujono Timan, MA mengabulkan permohonan PK dari terdakwa yang buron. Pendekatan yang berbeda diambil MA dalam kasus Hendra Subrata yang juga buron yang PK-nya ditolak.

Buku ini merupakan karya ilmiah hukum yang komprehensif yang lahir dari hasil studi doktoral di Universitas Tilburg, Belanda. Kekuatan analisis dari buku ini terletak pada kedalaman bahasan tentang praktik inkonsistensi penggunaan PK oleh MA yang menyelidiki, membahas, dan menggali masalah yang diajukan mulai sudut pandang doktrin sampai dengan praktik empiris di pengadilan.

Pembahasan komprehensif ini sangatlah langka akhir-akhir ini. Sulit ditemukan karya hukum ilmiah dalam level doktoral yang memiliki kedalaman analisis dalam membahas topik hukum di Indonesia seperti disajikan dalam buku ini.

Salah satu kekuatan analisis yang mendalam adalah jelasnya kerangka berpikir di dalam studi ini yang melihat problem ketidakkonsistenan dalam keraguan MA untuk membuat garis tegas terkait dengan finalitas putusan dan falibilitas hakim. Finalitas putusan menjadi penting untuk memberikan kepastian hukum dan menjadi doktrin dalam ilmu hukum yang menyatakan setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet).

Namun, di sisi lain, buku ini juga tampaknya memahami sikap MA yang melihat ada kemungkinan kesalahan hakim sebagai manusia di dalam melihat fakta dan hukum sehingga dapat menyebabkan ketidakadilan (miscarriage of justice). Salah satu contoh adalah sering kali terjadinya peradilan sesat yang mengambinghitamkan seseorang terhadap kesalahan pihak lain, seperti dalam kasus terkenal era ’80-an Sengkon dan Karta.

Baca Juga :  Si T, Si D, dan Si B

Untuk menyelesaikan pertentangan ini, buku ini melihat secara dekat konsep ne bis in idem di dalam hukum untuk mencari batasan antara finalitas dan falibilitas dengan mengkaji konsep ne bis in idem. Ne bis in idem adalah prinsip pokok dalam ilmu hukum yang menyatakan suatu perkara tidak dapat diperkarakan untuk kali kedua.

Setelah mengulas secara tuntas seluruh konsep tersebut, buku ini kemudian menyajikan beberapa batasan untuk menjembatani antara kebutuhan finalitas dan falibilitas dalam penerapan upaya hukum PK.

Salah satu yang relevan dengan kekacauan yang ada adalah menghapuskan persoalan penerapan hukum (question of law) dan membatasinya hanya untuk melihat pada persoalan fakta/pengungkapan fakta baru (question of fact) sebagai dasar untuk mengajukan PK.

Buku ini merupakan khazanah terbaru dan signifikan untuk membawa perbaikan kepada sistem peradilan Indonesia untuk mencapai kepastian hukum sebagai syarat penciptaan masyarakat modern yang maju sebagaimana dikemukakan Max Weber di atas. (*)

Judul Buku: Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan

Penulis: Binziad Kadafi

Cetakan: I, April 2023

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Oleh GIRI AHMAD TAUFIK, Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda, peneliti PSKN FH Unpad

Kekuatan analisis dari buku ini terletak pada kedalaman bahasan tentang praktik inkonsistensi penggunaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.

MAX Weber dalam bukunya, Wirtschaft und Gesellschaft, yang diluncurkan pada abad lalu menyatakan suatu masyarakat yang tidak dapat mempertahankan suatu tatanan normatif dalam memberikan kepastian hukum tidak akan bertumbuh dan berkembang menjadi suatu masyarakat modern.

Bagi Weber, kunci masyarakat modern yang berkembang adalah tersedianya hukum modern yang rasional dan bersifat logis, yang keputusan-keputusan hukumnya dapat diprediksi dan diperhitungkan, sehingga memberikan suasana yang stabil dan berkepastian bagi anggota masyarakat yang hidup di dalamnya.

Pada konstruksi tersebut di atas, saya membaca karya buku Binziad Kadafi, anggota Komisi Yudisial, yang berjudul Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan. Buku ini adalah sebuah buku yang lahir dari kegelisahan seorang pegiat hukum melihat gagalnya sistem peradilan dalam memberikan kepastian hukum di Indonesia.

Salah satu persoalan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum ini adalah tidak adanya standar yang ajek terkait dengan finalitas proses peradilan di Indonesia. Situasi ini terjadi disebabkan ketidakkonsistenan Mahkamah Agung (MA) di dalam memberikan batasan terhadap upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Secara normatif, PK seharusnya merupakan upaya luar biasa untuk mengoreksi –dalam hal keadaan yang terbatas– sebuah putusan yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Pada praktiknya, MA beberapa kali menyidangkan PK perkara hukum, memiliki karakteristik yang sama, namun dengan keputusan yang berbeda.

Baca Juga :  Membongkar Logika Berpikir dengan Bahasa

Misalnya, dalam persoalan PK dalam kasus Sujono Timan, MA mengabulkan permohonan PK dari terdakwa yang buron. Pendekatan yang berbeda diambil MA dalam kasus Hendra Subrata yang juga buron yang PK-nya ditolak.

Buku ini merupakan karya ilmiah hukum yang komprehensif yang lahir dari hasil studi doktoral di Universitas Tilburg, Belanda. Kekuatan analisis dari buku ini terletak pada kedalaman bahasan tentang praktik inkonsistensi penggunaan PK oleh MA yang menyelidiki, membahas, dan menggali masalah yang diajukan mulai sudut pandang doktrin sampai dengan praktik empiris di pengadilan.

Pembahasan komprehensif ini sangatlah langka akhir-akhir ini. Sulit ditemukan karya hukum ilmiah dalam level doktoral yang memiliki kedalaman analisis dalam membahas topik hukum di Indonesia seperti disajikan dalam buku ini.

Salah satu kekuatan analisis yang mendalam adalah jelasnya kerangka berpikir di dalam studi ini yang melihat problem ketidakkonsistenan dalam keraguan MA untuk membuat garis tegas terkait dengan finalitas putusan dan falibilitas hakim. Finalitas putusan menjadi penting untuk memberikan kepastian hukum dan menjadi doktrin dalam ilmu hukum yang menyatakan setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet).

Namun, di sisi lain, buku ini juga tampaknya memahami sikap MA yang melihat ada kemungkinan kesalahan hakim sebagai manusia di dalam melihat fakta dan hukum sehingga dapat menyebabkan ketidakadilan (miscarriage of justice). Salah satu contoh adalah sering kali terjadinya peradilan sesat yang mengambinghitamkan seseorang terhadap kesalahan pihak lain, seperti dalam kasus terkenal era ’80-an Sengkon dan Karta.

Baca Juga :  Si T, Si D, dan Si B

Untuk menyelesaikan pertentangan ini, buku ini melihat secara dekat konsep ne bis in idem di dalam hukum untuk mencari batasan antara finalitas dan falibilitas dengan mengkaji konsep ne bis in idem. Ne bis in idem adalah prinsip pokok dalam ilmu hukum yang menyatakan suatu perkara tidak dapat diperkarakan untuk kali kedua.

Setelah mengulas secara tuntas seluruh konsep tersebut, buku ini kemudian menyajikan beberapa batasan untuk menjembatani antara kebutuhan finalitas dan falibilitas dalam penerapan upaya hukum PK.

Salah satu yang relevan dengan kekacauan yang ada adalah menghapuskan persoalan penerapan hukum (question of law) dan membatasinya hanya untuk melihat pada persoalan fakta/pengungkapan fakta baru (question of fact) sebagai dasar untuk mengajukan PK.

Buku ini merupakan khazanah terbaru dan signifikan untuk membawa perbaikan kepada sistem peradilan Indonesia untuk mencapai kepastian hukum sebagai syarat penciptaan masyarakat modern yang maju sebagaimana dikemukakan Max Weber di atas. (*)

Judul Buku: Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan

Penulis: Binziad Kadafi

Cetakan: I, April 2023

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Terpopuler

Artikel Terbaru