TIDAK perlu sumpah: saya sudah menyiapkan tulisan tentang perang di jalur Gaza.
Lalu saya baca komentar Bung Mirza Mirwan: saya mundur. Tulisannya tentang Hamas bagus sekali. Lebih bagus dari seandainya saya jadi menulis soal Gaza.
Saya menyadari: pengetahuan saya tentang perang di Gaza sama dengan pengetahuan Anda.
Sama-sama mengandalkan berita media mancanegara. Kalau toh beda-beda tipis hanya keterlibatan emosinya.
Tulisan Pak Mirza terasa lebih bersimpati pada Palestina. Kalau saya yang menulis mungkin tidak bisa semenarik itu.
Saya tahu: tulisan yang menarik adalah yang ada campuran emosi di dalamnya. Pun saya. Tidak bisa lepas dari emosi itu.
Hanya saja karena terbiasa sebagai wartawan saya harus berusaha imbang. Pasti tidak bisa 100 persen. Setidaknya ada berusaha –dan sering gagal.
Dalam perang kali ini hati nurani tidak bisa dimungkiri: militan Palestina menyerang duluan.
Tiba-tiba. Tidak disangka. Berhasil menerobos perbatasan disway.id/listtag/3338/israel”>Israel di bagian selatan.
Aneh. Perbatasan yang dijaga ketat bisa diterobos. Betapa kuat serangan militan Palestina ini. Betapa lengah penjagaan perbatasan.
Saya harus mengikuti pemberitaan media yang pro Israel juga. Ingin tahu dari sisi sana.
Umumnya mirip: banyak menampilkan sisi penderitaan manusia yang kampungnya diserang dan diduduki militan Palestina. Warga sipil. Wanita. Anak-anak.
Media pro Palestina juga menampilkan sisi penderitaan manusia di Palestina. Warga sipil. Wanita. Anak-anak. Yakni ketika Israel membalas serangan itu lebih dahsyat. Dengan kekuatan militer negara. Masih dibantu Amerika, Inggris dan Jerman.
Kekuatan pun menjadi tidak imbang. Yang bergerak di Palestina hanya unsur militan. Sekitar 50.000 orang. Di sisi Israel yang bergerak seluruh militer dan polisi negara: sekitar 500.000.
Maka tugas saya menjadi sangat ringan. Terutama di saat sangat sibuk belakangan ini.
Bung Mirza telah membuat pembaca Disway tidak ketinggalan isu besar. Komentar dari Bung Baihaqi kemarin pun terjawab.
Saya jadi teringat komitmen tahun lalu: perlunya dibuka rubrik khusus untuk menampung tulisan-tulisan pembaca. Setelah dibuka hasilnya kecewa: tidak ada yang berminat. Tidak ada tulisan yang dikirim.
Tapi saya tidak kecewa. Belakangan banyak sekali komentar yang sangat berbobot. Sampai bingung memilih.
Dulu saya batasi maksimum memilih 29 komentar. Alasannya: teknis. Melebihi 29 tidak bisa saya kirim. Sudah begitu susah memilih akhirnya ”hilang”. Harus memilih lagi. Kirim lagi.
Belakangan kuota 29 itu diperlonggar. Beberapa hari lalu saya memilih lebih dari 36. Sulit mengurangi jadi 29. Ternyata kuota 29 itu sudah diubah Google. Kirim 36 pun bisa sekaligus.
Ide pembaca kemarin baik sekali: buka kolom ”like”. Saya tidak harus membaca semua komentar. Tidak harus memilih. Tapi saya tidak mau seperti itu.
Saya ingin membaca sendiri semua komentar. Saya sering terhibur. Juga sering tersinggung. Campur aduk. Semua itu bagus untuk latihan mengendalikan emosi. Juga baik untuk latihan tahu diri.
Saya setuju dengan komentar pekan lalu: jumlah komentar yang jenaka menurun. Saya semakin jarang tertawa sendirian.
Tentu manusia memerlukan sisi-sisi hiburan. Pun kalau manusia itu bernama Gibran.
Maka saya juga sering memilih komentar aneh sebagai komentar pilihan. Saya tahu ada yang protes. Tapi hidup tidak boleh selalu dalam tegangan tinggi. Bisa meledak.
Rasanya rubrik baru tidak usah dipaksa hidup. Kita kubur saja. Pemakamannya bisa dilakukan di pertemuan perusuh tanggal 15 atau 16 Desember.
Biarlah tulisan bagus dari bung-bung Liang, Liam Then, Zuve Zhang, Jimy Marta, Soedjoko Sp, Handoko, Thamrin Dahlan, Udi Salemo dan banyak lainnya tetap bercampur di komentar.
Bisa jadi rujak cingur: ada pedasnya, manisnya, asinnya, dan ada nikmatnya.
Tulisan Liang misalnya: bagi saya sangat penting. Bisa menutupi kelemahan saya: lemah di bidang musik.
Saya tidak mengerti musik sama sekali. Kasihan pembaca Disway yang kangen musik. Untung ada bung Liang. Bung Liang begitu kaya literatur.
Maka saya bukan lagi hanya penulis Disway. Saya juga pembaca Disway. (Dahlan Iskan)