Oleh BENNY ARNAS
—
Seperti sapi mencium gunung es, begitulah keadaan Suklikulisu saat ini. Keganjilan dan keanehan sedang memeluk novelis yang lima tahun terakhir karya-karyanya banyak difilmkan. Tak lazim, tapi kejemawaan yang melampaui batas membuatnya menjadi bagian dari kenyataan.
PRIA 40 tahun itu mematung di ruang tamu. Kejadian memalukan itu memukulnya bertubi-tubi. Ia sungguh benar-benar terenyak dengan apa yang baru saja Allah kirimkan. Lewat karamah bocah laki-laki 8 tahun bernama Nyapnyup, kebanggaannya dicerabut dalam ketukan yang tanpa aba-aba.
”Bagaimana bisa kepala Om Suk memikul sapi sebesar gajah dari rumah hingga masuk masjid?”
Belum pernah ia didamprat retorisme sarkastis sesadis itu sebelum putra janda penjual nasi gemuk di pasar kelurahan itu melayangkan pertanyaan mematikan itu setengah jam yang lalu di ruang tamu mereka di pagi Lebaran yang seharusnya membuat siapa pun, tak terkecuali dirinya, gembira raya.
”Ini teguran dari Allah, Pa,” entah sudah berapa kali perempuan bernama Rubilahrubi itu mengeluarkan kalimat yang sama. Di telinga Suklikulisu, kalimat itu mewujud tak ubahnya produk mesin sehingga gagal menjalankan peran sebagai pelipur kesedihan.
”Ma, Pa?” Putra bungsu mereka muncul dengan pistol-pistolan di tangan. ”Nyapnyup benar! Sapi kurban Papa memang sebesar gajah!” ia tertawa lebar.
”Halaman masjid penuh, Pa,” timpal si sulung. ”Teman-teman pada nggak sabar melihat sapi kita disembelih.”
”Kenapa Papa belum ke masjid?” Yang nomor dua buka suara. ”Yang kurban kambing aja datang semua.”
Seraya membuka kancing koko paling atas, Suklikulisu memandang mereka sejenak, sebelum kemudian istrinya meminta ketiga putra mereka yang masih duduk di bangku SD –dan kelihatan sebaya karena perbedaan usia ketiganya tak sampai dua tahun. ”Tunggulah di masjid ya, Nak,” Rubilahrubi membenarkan jilbabnya yang sedikit miring, lalu merogoh dompet. ”Papa dan Mama bentar lagi ke sana.” Ia memberikan tambahan uang jajan hari raya kepada mereka.
Ketiga anak laki-laki itu bersorak-sorak, berlarian meninggalkan ruang tamu, seraya mengangkat uang kertas pecahan lima puluh ribu di tangan mereka tinggi-tinggi.
”Atau Papa marah kepada Nyapnyup?” kata istrinya ketika ruang tamu kembali menjadi milik mereka berdua.
Suklikulisu bergeming.
”Almarhum ayahnya imam masjid, Pa. Ibunya ketua pengajian kompleks. Nyapnyup sendiri bahkan sudah hafiz 4 juz di usianya yang baru 8 tahun,” perempuan itu mengulang informasi yang sudah dihafal oleh warga kompleks atau bahkan orang-orang di luar sana. ”Kalau Papa ingin menyanggah penglihatan bocah itu, silakan saja,” ia memberi pilihan. ”Tapi, yakin Papa ingin menyanggahnya?”
Suklikulisu mengangkat wajahnya. Ia menggeleng.
”Mama senang Papa mau jujur.”
Suklikulisu menatap istrinya, kosong dan pasrah.
”Boleh Mama bertanya?”
Suaminya hanya menatapnya, sebelum kemudian mengangguk, pelan.
”Apakah benar uang membeli sapi setengah ton itu Papa ambil dari kontrak novel-novel Papa dengan beberapa PH terkemuka itu? Atau ada sumber-sumber lain?”
Suklikulisu menggeleng. ”Papa tak punya uang halal selain itu, Ma,” napasnya terengah-engah, seperti orang yang kelelahan usai menyelamatkan diri dari mara bahaya.
Rubilahrubi menghela napas. ”Syukurlah, Pa.”
”Papa belajar banyak dari Mama ketika dulu kita membuka usaha laundry.”
Istrinya tersenyum. Ia mengangguk pelan.
”Bagaimana tiap lipatan uang kertas yang lupa pelanggan kita amankan dari kantong pakaian selalu Mama kembalikan, sementara Papa kukuh menganggap itu sebagai rezeki kita.”
”Papa jangan menganggap tutupnya usaha kita enam tahun yang lalu itu karena ulah Papa?”
Suklikulisu menggeleng. ”Tapi sejak itu Papa belajar banyak tentang berikhtiar dengan jujur.”
”Papa adalah suami dan ayah yang hebat bagi Mama dan anak-anak,” Rubilahrubi menggenggam tangan suaminya. ”Apa yang Papa alami pagi ini tidak menggugurkan status itu dari diri seorang penulis kebanggaan kami sekeluarga ini,” ia tersenyum lebar.
”Terima kasih, Ma,” Suklikulisu menggapai punggung istrinya sehingga kepala Rubilahrubi jatuh di balik punggung sang suami. Bagi pasangan suami istri, tak ada cara terbaik untuk saling menguatkan selain berpelukan.
”Apakah Papa sudah siap menyaksikan penyembelihan sapi kurban kita?” Rubilahrubi merenggangkan pelukan.
Suklikulisu menggeleng, pelan.
”Kenapa? Papa masih belum ikhlas?”
”Siap dan ikhlas adalah dua hal yang berbeda, Ma.”
Rubilahrubi menunggu. Sesungguhnya ia tak ingin mendengar suaminya berdalih.
”Papa sudah ikhlas dengan apa pun pandangan orang-orang terhadap Papa,” Suklikulisu berusaha menjawab dengan tenang. ”Tentu asumsi mereka akan menggelinding bebas ke mana-mana. Ada yang menganggap Papa mendapat karma atas perbuatan buruk di masa lalu. Ada yang melabeli Papa selama ini mencari uang, termasuk membeli sapi setengah ton itu, dengan cara-cara yang tidak Allah ridai. Entah itu dengan cara mengorupsi ataupun meminta bantuan jin.”
Istrinya tertawa kecil. ”Papa kenapa berpikir sejauh itu?”
”Papa tak bisa menafikan kemungkinan-kemungkinan itu,” Suklikulisu memberi tekanan pada kata menafikan. ”Mama juga nggak usah naif. Mama pasti mengkhawatirkan hal serupa, kan?”
Giliran istrinya yang bergeming.
”Sementara siap dalam masalah ini adalah membangun sesuatu tak kasatmata bernama mental. Papa sangat malu dengan berbagai tuduhan yang meskipun tak kudengar secara langsung, tapi dapat Papa rasakan percikan energi buruknya, Ma.”
Rubilahrubi mengedikkan bahu, lalu melepas napas kuat-kuat. ”Mama tahu, berjalan dalam keadaan malu dari masjid ke rumah yang jaraknya tak sampai setengah kilometer itu pastilah berat sekali. Belum tentu orang-orang yang sedang tersudut seperti Papa, termasuk aku misalnya, sanggup melakukannya.”
Suklikulisu menggeleng. ”Tiap kali mengingat Papa salat Idul Adha tanpa rukuk dan sujud, Papa–”
”Papa nggak perlu mengulang-ulangnya.”
”Orang-orang pasti mengira Papa adalah muslim yang jahat, yang punya banyak rahasia dan keburukan tak termaafkan sehingga Allah merasa perlu mempermalukan Papa di hadapan ratusan jemaah–”
”Papa nggak boleh bicara begitu,” potong istrinya. ”Tidak mungkin Tuhan zalim.”
Suklikulisu cepat-cepat mengangguk, seperti anak kecil yang diberi peringatan oleh orang tuanya.
”Papa sombong dan takabur, Ma.”
Rubilahrubi mengangguk pelan. Aku sudah mengira, Pa, batinnya.
”Papa kira dengan berkurban sapi babon, warga kompleks akan memandang sekaligus memperlakukan penulis seperti Papa dengan lebih terhormat di hajatan perkawinan, penyuluhan kelurahan, atau sekadar yasinan. Bukan melulu memberiku tempat duduk bagian depan dan mikrofon kata sambutan kepada anggota dewan atau kepala dinas. Papa sungguh–”
”Papa tidak perlu mengatakan itu, Papa–”
”Tapi apa lagi penyebabnya kalau bukan itu, Ma?”
”Kalaupun itu penyebabnya, apakah harus Papa utarakan? Jangan zalim pada diri sendiri dengan cara mengungkit-ungkit kesalahan, Pa. Sepenting itukah duduk di depan dalam tiap kegiatan kompleks? Duduk di depan bisa buat kita cepat masuk surga?”
Suklikulisu diam.
”Aib itu ditutup, Pa, bukan–”
”Tapi Allah malah menelanjangiku pagi ini. Di hadapan–”
”Papa!” teriak istrinya. ”Istigfar, Pa. Istigfar.”
Wajah laki-laki itu pucat serta-merta. Ia beristigfar beberapa kali, seperti orang membaca mantra dalam gumaman yang menyedihkan.
”Dan … aib yang nyata-nyata ditangkap oleh mata batin si Nyapnyup sungguh tak perlu kaucemaskan, Pa,” Rubilahrubi mencoba menguatkan sang suami. ”Ia dan ibunya adalah orang-orang yang saleh dan salihah. Mereka takkan mengumbarnya. Sekali lagi, Pa,” ia mengarahkan telunjuknya ke wajah sang suami. ”Perihal kepala Papa yang memikul sapi sebesar gajah itu pun tidak diketahui warga. Ia hanya tentang kita dan ayah-ibunya Nyapnyup.”
Suklikulisu memasang wajah lega.
”Om Suk!” Tiba-tiba Nyapnyup sudah di muka pintu. ”Om Suk diminta ke masjid.” Lalu putra tetangga mereka itu pergi begitu saja.
”Jangan buat mereka menunggu, Pa,” bujuk istrinya. ”Tunjukkan kalau Papa adalah manusia biasa yang takkan luput dari salah dan dosa. Buktikan kalau Papa cepat move on. Tunjukkan kalau kejadian pagi tadi adalah titik balik Papa untuk menjadi orang yang lebih baik.”
Suklikulisu mengangguk, cepat dan bertenaga. Senyum tipis menyabit di wajahnya.
Di luar, terdengar suara keributan. Hidayat, ketua panitia kurban, dan para remaja serta anak-anak sepantaran anak-anak mereka sudah memenuhi pagar kediaman Suklikulisu.
”Kenapa rame-rame begini, Yat?” Suklikulisu bangkit dari sofanya dan bergegas ke muka pintu. Ia sudah lupa dengan rasa malu yang barusan ia khawatirkan.
”Sapimu, Suk,” Hidayat melepas kopiahnya sebentar lalu memasangnya lagi.
Suklikulisu dan istrinya bersitatap. Beberapa saat kemudian mereka melempar senyum ke Hidayat dan kerumunan di belakangnya.
”Suruhlah mereka bubar,” kata Suklikulisu. ”Aku dan istriku akan segera ke masjid sekarang juga.”
”Tapi, Suk …” Hidayat ragu-ragu ingin melanjutkan. ”Hmm, boleh kita bicara sebentar?”
Suklikulisu mengangguk. ”Kamu saja, kan?” katanya dengan pandangan mengarah ke kerumunan.
”Sapinya nggak bisa buat kurban!” Entah siapa yang berteriak ketika Hidayat baru maju beberapa langkah.
”Mungkin karena situ salatnya berdiri saja!”
”Sapinya nggak rida dikurbankan orang yang nggak bisa bedain salat pas Lebaran sama salat Jenazah!”
Lalu derai tawa pun berhamburan.
Istri Suklikulisu menepuk-nepuk lembut punggung suaminya. ”Sabar, Yah.”
”Ada apa dengan sapiku, Yat?” Suklikulisu refleks berteriak sehingga Hidayat pun yang baru melangkah mendekat menghentikan langkahnya. Sementara kerumunan di belakang pria sebayanya itu satu per satu meninggalkan pagar rumah mereka. Sindiran dan ejekan itu sayup-sayup masih menabuh gendang telinganya.
”Sejak subuh sudah nggak mau makan dan lesu terus bawaannya, Suk.”
”Ayo, Ma,” Suklikulisu menggamit tangan istrinya. ”Sapi kita harus lekas disembelih.”
”Sapinya nggak bisa disembelih, Suk.”
”Kan belum mati, Yat?” Suklikulisu mulai emosi. ”Kamu–”
”Sapi sakit nggak bisa dijadiin kurban, Suk.”
”Kemarin pas aku menjenguknya di kandang belakang sekolah, si babon masih baik-baik saja.”
Hidayat mengangguk. Kata-kata Suklikulisu barusan sungguh melegakannya bagi penanggung jawab kurban itu: pria itu sudah melihat sendiri bahwa ia telah memilihkan sapi setengah ton yang sehat dan layak kurban untuknya.
”Siapa yang meracuninya, Yat?”
Hidayat terenyak, lalu menggeleng.
”Apa maksudmu, Yat?”
”Penyakit kuku dan mulut memang sedang jadi pembunuh sapi nomor satu sekarang, Suk. Hanya dalam hitungan jam, penyakit itu bisa menyebabkan sapi ambruk.”
”Kenapa kemarin-kemarin kamu nggak bilang?”
”Kan sudah kubilang, Suk,” balas Hidayat. ”Aku bahkan menyarankan kita panjar dikit saja. Sisanya H-1 Lebaran biar kita dapat yang benar-benar sehat. Tapi kamu nggak mau dengar. Kamu takut uangnya kepake. Aku sebagai panitia kurban tentu senang karena untuk kali pertama ada yang kurban sapi di kompleks kita.”
Suklikulisu terdiam. Menyesal memang tak pernah di awal.
”Maksudmu, sapi itu memang benar-benar nggak bisa jadi hewan kurban atas nama keluarga kami, Yat?” Rubilahrubi mengambil alih.
Hidayat diam, lalu mengangguk ragu-ragu. ”Karena sapi itu statusnya adalah sapi yang sakit, Suk,” suaranya terdengar menyesal. ”Tubuhnya mengeras dan kaku, sementara kuku dan mulutnya mengeluarkan lendir yang dingin dan nyaris beku, seakan-akan sapi itu baru menabrak gunung es pagi ini.”
”Biar plong, ke masjid saja sekarang, kita lihat sapinya,” tawar Hidayat sambil membenarkan letak kopiah di kepalanya. ”Pakai masker dan jangan dekat-dekat sapinya nanti karena penyakit sapi ini katanya juga bisa menular ke manusia.”
”Ayo, Pa?” Rubilahrubi menoleh ke suaminya yang memandang Hidayat dengan tatapan kosong.
”Saya pamit dulu,” kata Hidayat. ”Saya tunggu saja di masjid,” lalu mengucapkan salam.
Suklikulisu mundur dengan langkah gontai. Tak lama kemudian ia menjatuhkan duduk di sofa seperti orang linglung. Rubilahrubi tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Di luar, Lebaran Haji tetap semarak. Takbir berkumandang dari rumah-rumah yang menyiarkan acara hiburan di TV. Sebenarnya Suklikulisu penasaran, seperti apa sapi yang menabrak gunung es itu, meskipun benaknya memberi tahu bahwa keadaannya tentu tak lebih menyedihkan dari nasibnya. (*)
Milan, Mei 2023