Oleh MAHWI AIR TAWAR, Menulis cerpen dan puisi
—
Isbedy Stiawan ZS, seorang perekam yang baik atas masa lalunya. Puisi-puisinya tak sekadar mendedah masa lalu, tapi juga mengajari kita cara merawat dan mencintai kampung halaman.
MEMBACA buku kumpulan sajak Ketika Aku Pulang karya penyair Isbedy Stiawan ZS sejatinya adalah sebuah usaha membaca kembali tapak jejak masa kanak-kanak kita. Masa di mana kita tanpa beban melakukan segala apa yang terlintas dalam pikiran sebelum akhirnya perlahan-lahan menyusut oleh berbagai hal. Tak terkecuali oleh pikiran kita sendiri, yang di antaranya pikiran untuk mendapatkan sesuatu lebih.
Maka, diam-diam pun pikiran mulai berjarak dengan kampung, dengan lingkungan tempat kita lahir dan bebas melakukan apa pun itu. Antara tubuh, pikiran, dan lingkungan mulai menunjukkan pertentangan-pertentangan sehingga sang cita-cita (atau angan-angan?) tidak kuasa menahan tubuh tetap tinggal di kampung.
Terbukalah dunia baru, pergaulan baru, dan keinginan menggapai kemerdekaan baru: merdeka dari ketertinggalan, merdeka dari kebodohan, dan merdeka dari keadaan atau nasib yang tidak kunjung membaik. Bukannya memang begitu seharusnya?
Sayangnya, dalam tulisan ini saya tidak sedang mengulas tentang manfaat ’’meninggalkan” kampung (baca: merantau) sebagaimana ditulis dalam dīwān Abu Abdillah Muhammad bin Idris (150–204 H) atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i:
’’Pergilah dari kampung halamanmu untuk mencari kemuliaan # Karena dari merantau ada lima faedah (yang bisa kamu dapatkan).”
’’Terbebas dari kesulitan, mendapat kehidupan yang layak # memperoleh ilmu pengetahuan, adab (tata krama), dan sahabat sejati.”
Eh, esai ini berjalan terlalu jauh, bukannya yang ingin saya bahas adalah buku kumpulan sajak Ketika Aku Pulang?
Baiklah!
Buku kumpulan sajak Ketika Aku Ingin Pulang karya Isbedy tidak hanya berisi tentang kerinduannya terhadap tanah kelahirannya, Rawa Subur, yang sejak beranjak usia remaja dia tinggalkan. Sebagaimana pada umumnya orang-orang kampung yang akan pergi merantau, yang tergambar dari batin penyair yang sudah melahirkan 55 judul buku karya sastra ini pun antara ’’air mata” dan ’’senyuman”. Berikut saya kutip salah satu bait puisinya yang menggambarkan batin seseorang yang hendak pergi merantau dalam buku Ketika Aku Pulang, halaman 41:
aku hanya ingin menitipkan senyum
di kampung kelahiranku itu
kelak kupetik jika pulang
yang dulu dicuri ibu-bapak
Kampung halaman dan rantau memiliki tempat istimewa dalam imajinasi sastrawan. Buku kumpulan sajak Ketika Aku Pulang, tampaknya, sengaja diciptakan oleh Isbedy sebagai kado persembahan bagi tanah kelahirannya yang telah membentuknya menjadi manusia ’’pemenang”, produktif, dan kreatif, sebagaimana ditunjukkan dalam puisinya dalam sub 42:
maka kuhidupkan kampung
lahirku agar rindu tidak karam
di hatiku terdalam
di ingatanku tak hilang
selalu kubawa kampung itu
ke mana pergi, kuhunjam wajah ayah
di hati sebagai lelaki, tak bilang
kalah sebelum ke panggung
untuk bertarung!
Dalam buku ini, Isbedy dengan segala pengakuan yang telah dia dapat tak lantas tergoda memilih diksi-diksi yang susah dan kadang membingungkan pembaca. Simak bagaimana sang ’’aku lirik” memosisikan dirinya layaknya seorang anak yang tidak bisa berpaling dari pelukan, belaian, dan tutur lembut nasihat-nasihat sang Ibu: ibu yang menatapku dalam// melebihi kedalaman lautan// yang melempar pandangannya// jauh ke balik tinggi gunung// ’’jika kau sudah sampai di sana// kabari ibu, mungkin ingin pulang: // seperti ibu juga rindu kampong”.
Lewat puisi-puisinya, Isbedy tidak hanya mengajak kita kembali, pulang. Lebih jauh dari itu ia mengajak kita bercengkerama dengan kenangan-kenangan, dengan orang-orang tercinta, dengan keadaan, sekalipun kenangan-kenangan itu, orang-orang-orang itu, dan bahkan keadaan yang sudah lama kita tinggalkan, diam-diam menyertakan sesuatu yang pahit dalam perjalanan.
Saya sendiri mengenal salah satu nama daerah di tanah kelahiran saya, Madura, lewat puisi penyair kelahiran Lampung ini. Ketika itu saya masih duduk di kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah, Pondok Pesantren Mathaliul Anwar, Madura. Dari karya Isbedy saya mengenal kata Camplong dan Sampang, yang ternyata, tidak lain dan tidak bukan adalah nama sebuah wilayah di Madura.
Untuk kesekian kali, sekitar Maret 2019, saya kembali bertemu dengan Isbedy dalam satu forum, di Way Kanan, Lampung. Kami sama-sama jadi pembicara dalam diskusi sastra. Seusai acara, Isbedy bercerita tentang masa lalunya dan nama-nama jalan di sepanjang jalan di kampungnya, Rawa Subur, tempat ia lahir dan besar.
Rawa Subur yang rawan dan tragis, Rawa Subur yang banyak diminati dan sekaligus dimanfaatkan setiap menjelang pilkada, Rawa Subur yang tidak pernah bisa berpaling dari kekerasan-kekerasan. Tapi, ’’seburuk” apa pun keadaan dan kondisi Rawa Subur, Isbedy mencintainya.
9
jelang pulang
aku mengenang kampong kelahiran, rawa subur
yang meninabobo, rawa subur yang menjajariku
arti mengelolah otot, mengenalkan aku pada manuk
dan meramut dari pedagang mie atau pun sate
jalanjalan berdasah…
hampir setiap malam kudengar erang
ada yang diseret lalu ditembak di hutan
ada yang dibekuk lalu dikarungkan
di sini, aku belajar rasa takut
Mau tidak mau, harus saya akui Isbedy adalah seorang perekam yang baik atas masa lalunya. Namun begitu, adakah masa lalu akan berubah seusai dituliskan? Maka, dengan buku Ketika Aku Pulang, Isbedy tidak sekadar mendedah masa lalu dan cintanya yang begitu dalam terhadap kampung halamannya. Tapi, juga mengajari kita cara merawat dan mencintai kampung di mana tempat kita awal mula kenal dunia. (*)
—
Judul: Ketika Aku Pulang
Penulis: Isbedy Stiawan ZS
Terbitan: 2022
Penerbit: Siger Publisher