27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

TOK ! Peladang Divonis 7 Bulan Penjara, Denda Rp50 Juta

MUARA TEWEH-Sidang
kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menjerat Saprudin alias Sapur (61)
memasuki babak akhir. Peladang asal Desa Juking Panjang, Kecamatan Murung,
Kabupaten Murung Raya (Mura) ini divonis tujuh bulan penjara, dalam sidang
pembacaan putusan oleh Ketua Majelis Hakim Cipto Hosari Parsaroan Nababan di
Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh, Senin (30/3). Dalam sidang tersebut, Sapur
didampingi sekelompok masyarakat adat.

Sapur didakwa melakukan
tindak pidana melawan hukum yakni melakukan pembakaran hutan dan lahan di Desa
Juking Pajang. Atas dasar itulah ia dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Liberty S Purba dengan tuntutan tiga tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Dalam
putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Saprudin alias Sapur telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka
lahan dengan membakar.

Baca Juga :  Bus Pembawa Jemaah Calon Haji Kalteng Terbalik, Begini Kondisi Para Pe

“Menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sebesar lima
puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan,” ungkap Ketua Majelis Hakim Cipto.

Barang bukti dalam
kasus ini berupa empat batang kayu yang sudah terbakar dengan panjang kurang
lebih 60 cm, satu bilah parang dengan panjang kurang lebih 50 cm beserta sarung
yang terbuat dari bahan pipa paralon.

Majelis Hakim menilai
hukuman minimum tiga tahun penjara yang dituntut terhadap terdakwa, tidak
berbanding lurus dengan efek pembelajaran atau perubahan yang diharapkan bagi
terdakwa ke depannya. “Tuntutan tiga tahun penjara serta denda terdakwa, jika
dihubungkan dengan fakta persidangan sebelumnya, tidak berkeadilan,”
tegasnya.

Baca Juga :  Terlibat Korupsi, Staf Ahli Bupati Katingan Dijebloskan ke Sel

Lebih lanjut Cipto menuturkan,
tujuan pemidanaan ini bukanlah semata-mata untuk membalas perbuatan pidana yang
telah dilakukan terdakwa, akan tetapi bersifat edukatif yakni instrumen
pembelajaran bagi terdakwa agar dapat memperbaiki sikap dan perbuatannya pada masa
akan datang. Kasus ini juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat agar tidak
melakukan perbuatan pidana sebagaimana dilakukan oleh terdakwa.

“Bukan bermaksud memasuki ranah dan
kewenangan legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang itu sendiri, tapi
 bila dikenakan pidana penjara minimum,
justru hukum bagi terdakwa tidak lagi memenuhi tujuan dari penyatuan pidana itu
sendiri, melainkan akan memberikan kesan derita bagi terdakwa dan
keluarganya,” pungkasnya. 

MUARA TEWEH-Sidang
kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menjerat Saprudin alias Sapur (61)
memasuki babak akhir. Peladang asal Desa Juking Panjang, Kecamatan Murung,
Kabupaten Murung Raya (Mura) ini divonis tujuh bulan penjara, dalam sidang
pembacaan putusan oleh Ketua Majelis Hakim Cipto Hosari Parsaroan Nababan di
Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh, Senin (30/3). Dalam sidang tersebut, Sapur
didampingi sekelompok masyarakat adat.

Sapur didakwa melakukan
tindak pidana melawan hukum yakni melakukan pembakaran hutan dan lahan di Desa
Juking Pajang. Atas dasar itulah ia dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Liberty S Purba dengan tuntutan tiga tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Dalam
putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Saprudin alias Sapur telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka
lahan dengan membakar.

Baca Juga :  Bus Pembawa Jemaah Calon Haji Kalteng Terbalik, Begini Kondisi Para Pe

“Menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sebesar lima
puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan,” ungkap Ketua Majelis Hakim Cipto.

Barang bukti dalam
kasus ini berupa empat batang kayu yang sudah terbakar dengan panjang kurang
lebih 60 cm, satu bilah parang dengan panjang kurang lebih 50 cm beserta sarung
yang terbuat dari bahan pipa paralon.

Majelis Hakim menilai
hukuman minimum tiga tahun penjara yang dituntut terhadap terdakwa, tidak
berbanding lurus dengan efek pembelajaran atau perubahan yang diharapkan bagi
terdakwa ke depannya. “Tuntutan tiga tahun penjara serta denda terdakwa, jika
dihubungkan dengan fakta persidangan sebelumnya, tidak berkeadilan,”
tegasnya.

Baca Juga :  Terlibat Korupsi, Staf Ahli Bupati Katingan Dijebloskan ke Sel

Lebih lanjut Cipto menuturkan,
tujuan pemidanaan ini bukanlah semata-mata untuk membalas perbuatan pidana yang
telah dilakukan terdakwa, akan tetapi bersifat edukatif yakni instrumen
pembelajaran bagi terdakwa agar dapat memperbaiki sikap dan perbuatannya pada masa
akan datang. Kasus ini juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat agar tidak
melakukan perbuatan pidana sebagaimana dilakukan oleh terdakwa.

“Bukan bermaksud memasuki ranah dan
kewenangan legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang itu sendiri, tapi
 bila dikenakan pidana penjara minimum,
justru hukum bagi terdakwa tidak lagi memenuhi tujuan dari penyatuan pidana itu
sendiri, melainkan akan memberikan kesan derita bagi terdakwa dan
keluarganya,” pungkasnya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru