27.5 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Dampak Karhutla Mulai Terasa, Kabut Sudah Menyelimuti Ibu Kota Kalteng

PALANGKA
RAYA
-Dampak
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai dirasakan masyarakat. Kabut sudah
menyelimuti ibu kota Kalteng, Palangka Raya, Rabu (17/7). Sebagian masyarakat
memilih memakai masker saat beraktivitas di luar rumah.

Wali Kota Palangka Raya
Fairid Naparin didampingi Sekda Hera Nugrahayu angkat bicara mengenai kabut asap
tipis yang mulai terlihat di Kota Cantik. “Kami sudah berkomunikasi dengan
kabupaten tetangga, khususnya Pulang Pisau, karena kita ini diapit kabupaten
lain dan asap ini merupakan kiriman,” katanya.

Di samping asap kiriman,
lanjut Fairid, asap juga muncul karena dampak karhutla di Palangka Raya.

“Kami terus berupaya memantau
dan memadamkan kebakaran,” ujarnya.

Menurutnya, kebakaran juga
disebabkan karena kemarau panjang yang melanda saat ini. Pemerintak kota
(pemko) akan terus mengambil langkah-langkah efektif dalam mengantisipasi
dampak yang ditimbulkan kabut asap.

Masyarakat pun diimbau
agar selalu menggunakan masker ketika beraktivitas di luar rumah demi menjaga
kesehatan tubuh. Pemko pun berencana mengadakan rapat membahas pembatasan jam-jam
kerja maupun jam sekolah.

Sementara itu, Plt Kepala
BPBD Kalteng Mofit Saptono mengatakan, data terbaru yang masuk ke pihaknya, terdapat
 54 kasus. Yang paling banyak terjadi di
Pulang Pisau, yakni 36 kasus.

“Yang paling banyak
adalah Pulang Pisau, disusul Kotim 12 kasus, Palangka Raya 4 kasus, dan Kapuas 2
kasus,” bebernya.

Mofit menerangkan,
selama bulan Juli ini, tercatat ada 219 hotspot. Rinciannya, 71 hotspot di
Pulang Pisau, 69 hotspot di Kotim, 25 hotspot di Barsel, 19 hotspot di Kapuas, dan
sisanya tersebar di kabupaten lainnya.

Sementara, untuk
karhutla yang terjadi pada bulan Juli ini sebanyak 116 kali. Rinciannya, Palangka
Raya 61 kali, Kotim 15 kali, Pulang Pisau 13 kali, dan sisanya tersebar pada
kabupaten lain.

Baca Juga :  FANTASTIS ! Total Anggaran Pilkada 2020 Capai Rp551 Miliar

Mengenai luasan lahan
yang terbakar tercatat sekitar 370 hektare. Sebanyak 155 hektare di Pulang Pisau,
92,37 hektare di Palangka Raya, 78,98 hektare di Kotim, dan 6,71 hektare di
wilayah Barito Utara.

“Kejadian kebakaran di
Pulpis sedikit jumlahnya, tapi area yang terbakar paling luas dibandingkan di
kabupaten lain. Soal kejadian kebakaran di Palangka Raya, hingga kemarin
dilaporkan ada enam kali kejadian pada enam tempat berbeda. Ini yang cukup memprihatinkan.
Saya meminta masyarakat untuk menjaga lahannya agar tidak terbakar. Jangan
membakar,” pungkasnya.

Semakin terlihatnya
kabut asap di langit ibu kota provinsi ini, membuat para aktivis lingkungan
hidup turut prihatin. Kesal dan geregetan. Upaya pencegahan karhutla dinilai masih
berjalan di tempat.

“Karhutla memang sudah
menjadi fenomena klasik. Itu tandanya bahwa upaya pencegahan yang dilakukan
oleh pemerintah masih belum maksimal dan efektif,” ungkap aktivitis lingkungan
hidup Kalteng, Aryo, Rabu (17/7).

Dirinya mempertanyakan
klaim pemerintah yang menyatakan bahwa upaya pencegahan sudah maksimal. “Mengapa
masih ada karhutla dan kabut asap?” tanyanya.

Menurut Aryo, untuk menjadikan
Kalteng sebagai provinsi bebas asap, maka yang harus diupayakan tak hanya sekadar
melibatkan semua stakeholder dalam melakukan sosialisasi, tetapi bagaimana
menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam upaya membebaskan Kalteng dari
karhutla.

“Jika sekadar
sosialisasi, ya bagus sih. Namun, apakah yang dilakukan itu efektif dan
menyentuh pokok persoalan, sehingga ada feedback yang diperoleh dari
masyarakat. Kalau melibatkan masyarakat secara langsung dan masyarakat sendiri
yang menjadi pelaku utama dalam mencegah masalah ini, yakinlah bahwa bebas api
dan bebas asap bisa terwujud di Kalteng ini,” jelasnya.

Baca Juga :  Banjir Kembali Putuskan Ruas Kasongan-Kereng Pangi

Lebih lanjut
dikatakannya, masyarakat kecil harus disadarkan bahwa masalah karhutla
merupakan masalah bersama yang tidak bisa diatasi oleh satu atau dua pihak.

Tak hanya itu, Aryo
juga mengatakan bahwa persoalan karhutla erat kaitannya dengan sumber daya
manusia dan kehidupan ekonomi. Masyarakat membakar hutan atau lahan karena
tidak sadar dan tidak tahu jika hal itu dilarang. Selain itu, masyarakat
membakar lahan untuk bisa bertani, meskipun sudah mengetahui bahwa lahan yang
digarap bergambut.

“Masyarakat yang
memiliki kebiasaan membakar lahan gambut mesti digencarkan dengan program
pemberdayaan bidang lain yang sesuai dengan potensi di daerah tersebut. Program
pemberdayaan juga harus didampingi secara serius dan terus-menerus dievaluasi,
agar masyarakat merasa memiliki program tersebut demi kesejahteraan mereka,”
jelasnya.

“Jangan sampai buat
program dan setelah itu pulang tanpa ada pendampingan lagi. Ini berbahaya.
Masyarakat akan kembali ke kebiasaannya berladang dan otomatis kembali membakar
lahan.

Pada akhir
perbincangan, Aryo mengatakan bahwa dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai
pelaku utama upaya pencegahan karhutla, pada prinsipnya harus ada regulasi yang
sah dan jelas berupa produk perda. Selain itu, semestinya ada anggaran yang
jelas dari pemerintah untuk upaya tersebut, sehingga masayarakat bisa bergerak
untuk memikirkan upaya tanpa api di lingkungan terdekatnya.

“Sekarang sejumlah organisasi peduli api dan
lain sebagainya masih mengandalkan dana swadaya. Otomatis upaya pencegahan, ya
begitu-begitu saja. Hasilnya bisa dilihat sendiri kan,” pungkasnya. (old/ndo/ce/ram)

PALANGKA
RAYA
-Dampak
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai dirasakan masyarakat. Kabut sudah
menyelimuti ibu kota Kalteng, Palangka Raya, Rabu (17/7). Sebagian masyarakat
memilih memakai masker saat beraktivitas di luar rumah.

Wali Kota Palangka Raya
Fairid Naparin didampingi Sekda Hera Nugrahayu angkat bicara mengenai kabut asap
tipis yang mulai terlihat di Kota Cantik. “Kami sudah berkomunikasi dengan
kabupaten tetangga, khususnya Pulang Pisau, karena kita ini diapit kabupaten
lain dan asap ini merupakan kiriman,” katanya.

Di samping asap kiriman,
lanjut Fairid, asap juga muncul karena dampak karhutla di Palangka Raya.

“Kami terus berupaya memantau
dan memadamkan kebakaran,” ujarnya.

Menurutnya, kebakaran juga
disebabkan karena kemarau panjang yang melanda saat ini. Pemerintak kota
(pemko) akan terus mengambil langkah-langkah efektif dalam mengantisipasi
dampak yang ditimbulkan kabut asap.

Masyarakat pun diimbau
agar selalu menggunakan masker ketika beraktivitas di luar rumah demi menjaga
kesehatan tubuh. Pemko pun berencana mengadakan rapat membahas pembatasan jam-jam
kerja maupun jam sekolah.

Sementara itu, Plt Kepala
BPBD Kalteng Mofit Saptono mengatakan, data terbaru yang masuk ke pihaknya, terdapat
 54 kasus. Yang paling banyak terjadi di
Pulang Pisau, yakni 36 kasus.

“Yang paling banyak
adalah Pulang Pisau, disusul Kotim 12 kasus, Palangka Raya 4 kasus, dan Kapuas 2
kasus,” bebernya.

Mofit menerangkan,
selama bulan Juli ini, tercatat ada 219 hotspot. Rinciannya, 71 hotspot di
Pulang Pisau, 69 hotspot di Kotim, 25 hotspot di Barsel, 19 hotspot di Kapuas, dan
sisanya tersebar di kabupaten lainnya.

Sementara, untuk
karhutla yang terjadi pada bulan Juli ini sebanyak 116 kali. Rinciannya, Palangka
Raya 61 kali, Kotim 15 kali, Pulang Pisau 13 kali, dan sisanya tersebar pada
kabupaten lain.

Baca Juga :  FANTASTIS ! Total Anggaran Pilkada 2020 Capai Rp551 Miliar

Mengenai luasan lahan
yang terbakar tercatat sekitar 370 hektare. Sebanyak 155 hektare di Pulang Pisau,
92,37 hektare di Palangka Raya, 78,98 hektare di Kotim, dan 6,71 hektare di
wilayah Barito Utara.

“Kejadian kebakaran di
Pulpis sedikit jumlahnya, tapi area yang terbakar paling luas dibandingkan di
kabupaten lain. Soal kejadian kebakaran di Palangka Raya, hingga kemarin
dilaporkan ada enam kali kejadian pada enam tempat berbeda. Ini yang cukup memprihatinkan.
Saya meminta masyarakat untuk menjaga lahannya agar tidak terbakar. Jangan
membakar,” pungkasnya.

Semakin terlihatnya
kabut asap di langit ibu kota provinsi ini, membuat para aktivis lingkungan
hidup turut prihatin. Kesal dan geregetan. Upaya pencegahan karhutla dinilai masih
berjalan di tempat.

“Karhutla memang sudah
menjadi fenomena klasik. Itu tandanya bahwa upaya pencegahan yang dilakukan
oleh pemerintah masih belum maksimal dan efektif,” ungkap aktivitis lingkungan
hidup Kalteng, Aryo, Rabu (17/7).

Dirinya mempertanyakan
klaim pemerintah yang menyatakan bahwa upaya pencegahan sudah maksimal. “Mengapa
masih ada karhutla dan kabut asap?” tanyanya.

Menurut Aryo, untuk menjadikan
Kalteng sebagai provinsi bebas asap, maka yang harus diupayakan tak hanya sekadar
melibatkan semua stakeholder dalam melakukan sosialisasi, tetapi bagaimana
menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam upaya membebaskan Kalteng dari
karhutla.

“Jika sekadar
sosialisasi, ya bagus sih. Namun, apakah yang dilakukan itu efektif dan
menyentuh pokok persoalan, sehingga ada feedback yang diperoleh dari
masyarakat. Kalau melibatkan masyarakat secara langsung dan masyarakat sendiri
yang menjadi pelaku utama dalam mencegah masalah ini, yakinlah bahwa bebas api
dan bebas asap bisa terwujud di Kalteng ini,” jelasnya.

Baca Juga :  Banjir Kembali Putuskan Ruas Kasongan-Kereng Pangi

Lebih lanjut
dikatakannya, masyarakat kecil harus disadarkan bahwa masalah karhutla
merupakan masalah bersama yang tidak bisa diatasi oleh satu atau dua pihak.

Tak hanya itu, Aryo
juga mengatakan bahwa persoalan karhutla erat kaitannya dengan sumber daya
manusia dan kehidupan ekonomi. Masyarakat membakar hutan atau lahan karena
tidak sadar dan tidak tahu jika hal itu dilarang. Selain itu, masyarakat
membakar lahan untuk bisa bertani, meskipun sudah mengetahui bahwa lahan yang
digarap bergambut.

“Masyarakat yang
memiliki kebiasaan membakar lahan gambut mesti digencarkan dengan program
pemberdayaan bidang lain yang sesuai dengan potensi di daerah tersebut. Program
pemberdayaan juga harus didampingi secara serius dan terus-menerus dievaluasi,
agar masyarakat merasa memiliki program tersebut demi kesejahteraan mereka,”
jelasnya.

“Jangan sampai buat
program dan setelah itu pulang tanpa ada pendampingan lagi. Ini berbahaya.
Masyarakat akan kembali ke kebiasaannya berladang dan otomatis kembali membakar
lahan.

Pada akhir
perbincangan, Aryo mengatakan bahwa dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai
pelaku utama upaya pencegahan karhutla, pada prinsipnya harus ada regulasi yang
sah dan jelas berupa produk perda. Selain itu, semestinya ada anggaran yang
jelas dari pemerintah untuk upaya tersebut, sehingga masayarakat bisa bergerak
untuk memikirkan upaya tanpa api di lingkungan terdekatnya.

“Sekarang sejumlah organisasi peduli api dan
lain sebagainya masih mengandalkan dana swadaya. Otomatis upaya pencegahan, ya
begitu-begitu saja. Hasilnya bisa dilihat sendiri kan,” pungkasnya. (old/ndo/ce/ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru