PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO– Ketidakhadiran PT Sumber Mahardika Graha
(SMG) dalam mediasi dengan masyarakat Desa Laman Baru dan Desa Ajang mendapat
sorotan
Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Sejatinya, pihak perusahaan yang bergerak di
sektor perkebunan kelapa sawit itu bisa hadir, karena perlu duduk bersama untuk
mencari solusi terbaik menyelesaikan konflik tersebut.
Ketua DAD Kalteng H
Agustiar Sabran melalui sekretaris Yulindra Dedi mengatakan, terkait
penyelesaian
konflik PT SMG dengan masyarakat, DAD provinsi sudah meminta DAD Sukamara untuk
turun tangan menangani, bersinergi
dengan
organisasi masyarakat dan
pemerintah daerah setempat.
Pada intinya, tutur
pria
yang juga menjabat Plt Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Kalteng tersebut,
pihaknya meminta kepada DAD Sukamara untuk menjalin komunikasi yang
baik dalam upaya mengatasi permasalahan yang terjadi, sehingga
ada solusi terbaik untuk kedua belah pihak.
Riilnya, hampir semua
permasalahan di Kalteng yang melibatkan perusahaan dan masyarakat, rata-rata
perusahaan mengatakan bahwa sebelum menjalankan aktivitas
atau beroperasi, mereka telah memenuhi semua
kewajiban
(clear and clean), termasuk kewajiban
terhadap masyarakat.
“Tinggal kita lihat
saja apa tuntutan masyarakat kepada pihak perusahaan. Perlu juga melihat apakah
ada pelanggaran dari sisi adat. Apabila ada, maka DAD
yang akan menyelesaikannya persoalan itu,” kata Yulindra Dedi kepada Kalteng
Pos (Grup kaltengpos.co) ketika ditemui di Aula Jaya
Tingang, Senin (16/11).
Apabila kelak
diketahui bahwa perusahaan melakukan pelanggaran hukum, maka akan
diselesaikan secara hukum. Akan tetapi, kata
Yulindra, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan ke depan.
Disarankan
untuk menyelesaikan melalui tahap mediasi terlebih
dahulu. Melihat konflik yang terjadi, tutur Yulindra, sejak 2013
lalu bersama ormas-ormas yang ada, pemerhati lingkungan, dan
pemerintah
provinsi melakukan rapat terkait konflik yang terjadi di Kalteng. Dari pertemuan
tersebut muncul draf perda tentang penyelesaian
sengketa kategorial, karena peta konflik di Kalteng cukup
tinggi.
“Ada satu kewajiban
perusahaan yang sebenarnya memang harus dipatuhi, di antaranya
adalah Permentan Nomor 26 Tahun 2007 di mana
harus ada 20 persen plasma yang dibangun dalam kawasan
luas yang diusahakan, tapi belum dua perusahaan melaksanakannya,â€
tuturnya.
Tahun 2018 muncul
Permentan 98 yang mencabut Permentan 26. Berdasarkan
permentan terbaru itu, perusahaan tidak harus membangun plasma pada
kawasan yang diusahakan,
tetapi
bisa
di luar area itu.
Namun, berdasarkan
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja
yang baru, sangat tegas disebutkan
bahwa area plasma adalah 20 persen dari kawasan
yang diusahakan.
“Karena mereka menjalankan
20 persen untuk kepentingan masyarakat, maka sama saja dengan melibatkan
masyarakat.
Itu juga sebagai
bentuk pengamanan sosial dari pengusaha kepada masyarakat, sehingga
masyarakat juga merasakan dampak langsung adanya investasi,â€
tambahnya.
DAD Kalteng berharap
agar
penyelesaian sengketa tersebut lebih pada mencari solusi terbaik
untuk
kedua belah pihak. Dengan demikian ke
depannya
perusahaan tetap menjalankan aktifitas, sementara
masyarakat
juga dapat merasakan dampak positif kehadiran
perusahaan.