SUKAMARA, KALTENGPOS.CO– Konflik
yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT
Sumber Mahardika Graha (SMG) menjadi perhatian sejumlah pihak. Mulai dari
pemerintah hingga organisasi kemasyarakatan turut menyoroti permasalahan yang
dilatarbelakangi kebun kemitraan (plasma) milik anak perusahaan PT Union
Sampoerna Triputra Persada (USTP) Group tersebut.
Organisasi Dewan Adat
Dayak (DAD) bahkan meminta agar perwakilan DAD di daerah, dalam hal
ini DAD Sukamara, untuk segera turun tangan
memediasi warga dan perusahaan, meredam situasi di daerah
sehingga masalah
tidak makin meluas.
Ketua Dewan Adat Dayak
(DAD) Sukamara H Ahmadi mengatakan, pihaknya sudah mengetahui
permasalahan yang terjadi dan dalam waktu dekat
akan
melaksanakan mediasi bersama bupati.
“Hari Senin (16/11)
akan dimusyawarahkan bersama bupati,†beber H Ahmadi
yang juga merupakan Wakil Bupati Sukamara, saat dikonfirmasi awak
media melalui pesan singkat WhatsApp, Kamis (12/11).
Mediasi tersebut melibatkan
Pemkab Sukamara, DAD, termasuk juga meminta keterangan pihak kecamatan, pemerintah desa, tokoh
masyarakat, dan manajemen PT SMG.
“Nanti teknisnya diatur
tim perkebunanan,†tulis pria yang akrab disapa Haji Madi
itu
menjawab pesan singkat yang dikirim awak media.
Sementara itu, Ketua
Aksi Bela Dayak Laman Baru Wendi Loentan menyampaikan dukungan terkait dibukanya
mediasi di Pemda Sukamara oleh DPW Indonesia Hebat Bersatu Provinsi
Kalteng, yang dalam hal ini bersama dengan Pemda Sukamara, DAD Sukamara, untuk
berdiskusi terkait solusi penyelesaian hak-hak masyarakat yang sejak belasan
tahun sengaja diabaikan oleh PT SMG.
“Mewakili masyarakat
saya berharap agar rapat mediasi tersebut menghasilkan solusi terbaik
bagi
masyarakat,†kata Wendi.
Seperti diketahui,
sebelumnya sejumlah warga dari Desa Laman Baru dan Desa Ajang yang tergabung
dalam Aksi Bela Dayak Laman Baru terus mendesak penyelesaian realisasi plasma
sebanyak 20 persen dari perusahaan milik PT Sumber Mahardika Graha (SMG). Aksi Bela
Dayak Laman Baru juga berencana mengajukan tuntutan secara adat kepada pihak PT
SMG.
Pengajuan tuntutan
secara adat oleh Aksi Dayak Bela Laman Baru kepada PT SMG bukan tidak berdasar. Masyarakat
merasa sangat dirugikan.
Bahkan
kehadiran PT SMG di wilayah mereka dituding tidak memberikan perubahan dan dampak
ekonomi yang nyata.
Masyakarat merasa
dirampas haknya selama 19 tahun sejak berdirinya kebun SMG
di wilayah Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara. Beroperasinya perusahaan tanpa
merealisasikan kebun kemitraan plasma yang seharunya menjadi
kewajiban perusahaan perkebunan. Tak hanya itu, Aksi Bela Dayak Laman Baru juga
menuntut ganti rugi lahan milik warga sekitar yang belum terselesaikan hingga
saat ini.
Sementara itu,
menyikapi tuntutan masyarakat dua desa itu mengenai ganti rugi
lahan, Manajer CSR PT SMG Alex Gunawan menjelaskan,
kompensasi ganti rugi lahan telah diberikan pada 2007 lalu.
Ada
bukti berita acara penyerahan kompensasi atas lahan masyarakat Desa Laman Baru.
Ketika itu masih zaman manajemen Kulim Malaysia.
“Lahan bakas/eks ladang
dibayarkan langsung kepada pemilik. Waktu itu harga
rata-rata
Rp250 ribu sampai Rp300 ribu per hektare,†kata Alex
Gunawan kepada Kalteng Pos, kemarin (13/11).
Sedangkan untuk lahan
rimba, lanjut Alex, dibayarkan pihaknya ke pemerintah desa
dengan harga Rp100 ribu per hektare,
ditambah
satu
unit mesin genset ukuran besar merek Parkin.
“Saat itu CDO/Humasnya
Pak Budie putra asli Laman Baru, dan tim lapangan Pak Ferdi Rantung (saat ini
menjabat Kades Laman Baru),†terangnya.
Saat dibuat
kesepakatan
bersama hingga penyerahan kompensasi atas seluruh lahan masyarakat Desa Laman
Baru yang masuk area PT SMG kepada pihak perusahaan sesuai berita
acara penyerahan, terang Alex, kesepakatan bersama itu difasilitasi oleh
pemerintah Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara,
tepatnya
pada 21 Februari 2007.
“Yang menjabat kades saat
itu adalah adik kandung Pak Budie, namanya Pak Isam Sudi.
Kepala BPD–nya Pak Jailadi (masih ketua BPD sampai
sekarang). Saat itu merekalah yang melakukan
identifikasi lahan rimba dan lahan bebas. Lahan 181 hektare itu masuk
di lahan 1.000 hektare lahan rimba yang diganti rugi zaman Kulim itu,â€
jelas Alex.
Saat aksi
demonstrasi massa beberapa waktu lalu, lanjut Alex, Isam Sudi dan Jailadi bergabung
dalam kubu pendemo. Oleh
sebab itu, kata dia, jika menyoal sejarah, justru
orang-orang yang terlibat kesepakatan sebelumnya masih ada saat ini.
“Oleh karena itu sangat bagus kalau dibentuk tim
investigasi bersama. Jangan membandingkan nilai uang tersebut dengan nilai uang
sekarang.
Karena sudah sekian tahun, sudah pasti terjadi pergeseran nilai. Justru aktor
utama masih ada semua, masih hidup, termasuk mantan kades Isam Sudi dan Kepala
BPD Pak Jailadi yang namanya tertera dalam dokumen (berita acara penyerahan kompensasi
Desa Laman Baru),†tutup Alex.