PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – DPD Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Tengah menyatakan keprihatinan dan penyesalan mendalam atas wacana pengusulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Ketua DPD GMNI Kalimantan Tengah, Maulana, S.T., menilai langkah tersebut, merupakan bentuk distorsi sejarah dan penghinaan terhadap para korban penindasan pada masa rezim orde baru yang berlangsung lebih dari tiga dekade.
“Kita tidak boleh melupakan bahwa masa kekuasaan Soeharto bukanlah era kepahlawanan, melainkan periode kelam dalam perjalanan bangsa. Demokrasi dibungkam, rakyat dibatasi hak politiknya, kebebasan berekspresi dihancurkan, dan mahasiswa serta aktivis menjadi korban kekerasan negara,” ujar Maulana, Senin (10/11/2025).
Menurut Maulana, wacana pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan bagian dari upaya sistematis untuk “memutihkan” sejarah dan menormalkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa itu.
Ia mengingatkan bahwa pada era orde baru, banyak aktivis politik, buruh, petani, dan mahasiswa ditangkap, diasingkan, bahkan dibunuh tanpa proses hukum yang jelas.
“Penghargaan tertinggi kepada seseorang yang dianggap pahlawan tidak bisa diberikan kepada sosok yang sejarahnya penuh dengan represi dan ketidakadilan. Ini bukan persoalan dendam sejarah, melainkan tanggung jawab moral agar bangsa ini tidak kehilangan ingatan kolektif,” lanjutnya.
GMNI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional merupakan simbol penghormatan tertinggi yang seharusnya diberikan kepada sosok yang berjuang demi kepentingan rakyat, kemerdekaan, serta nilai-nilai kemanusiaan.
Maulana mengakui bahwa Soeharto memang membawa pembangunan ekonomi pada awal masa pemerintahannya. Namun menurutnya, hal itu dibayar mahal dengan hilangnya kebebasan politik, maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), hingga pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya sendiri.
“Kita harus belajar dari sejarah bahwa pembangunan tanpa demokrasi melahirkan kesenjangan dan ketidakadilan. Kita tidak bisa menyebut pahlawan bagi seseorang yang membungkam rakyat demi stabilitas semu,” tambahnya.
Sebagai organisasi mahasiswa berhaluan Marhaenisme, GMNI berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap upaya penyelewengan sejarah atau pemutihan terhadap rezim otoriter dianggap sebagai ancaman terhadap cita-cita bangsa.
“Rekonsiliasi bukan berarti melupakan. Keadilan tidak akan tegak jika kebenaran disembunyikan. Dan sejarah tidak bisa diputar hanya untuk membenarkan kepentingan politik masa kini,” tandasnya. (jef)
