Di dalam kumpulan puisi Bilangan 60 ini sepertinya Wina Bojonegoro sedang melakukan ritual silent walking. Ia berjalan dalam senyap. Ia menghadirkan renungan kontemplatif untuk melahirkan anak kesadaran yang bernama puisi.
Bukankah kesementaraan hidup yang membuat hidup menjadi berharga? Ditulis oleh empat ahli filsafat, Filsafat Maut: Empat Renungan untuk Hidup Baik begitu mendalam mengulas kematian dari masing-masing perspektif.
Membaca buku ini tidak hanya membawa kita pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tapi juga membuat kita mencicipi dunia batin para perempuan aktivis yang multifaset.
LAURENSON dan Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972) mengamati tiga perspektif dasar yang memengaruhi penulis dan karya. Masing-masing adalah sastra sebagai dokumen sosial, sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, serta sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial-budaya.
Sebagai ilusi, identitas dapat menjadi berkah sekaligus kutukan. Buku ini menyajikan banyak sekali contoh petaka identitas yang menghiasi jatuh bangunnya peradaban-peradaban besar dunia, tetapi untungnya juga memuat cara meloloskan diri dari kutukan identitas tadi.
Buku ini tak hanya membahas wacana tentang perbedaan psikologis antara wanita dan pria, tapi juga dinamika hubungan interpersonal, mental health issues, dan fenomena sosiobiopsikologis. Sangat sayang kalau cuma dibaca kalangan wanita.
Detail-detail sentimental terkait Munir terserak di sekujur buku berbobot nyaris setengah kilogram ini. Dilengkapi dengan runtutan perkembangan kasus, Matt Easton menciptakan kisah yang tidak mungkin diabaikan.
Buku ini masih meletakkan ketegangan sebagai pusat dan suspens sebagian besar tulisan. Padahal, petani masih tetap menanam padi di sawah, pengasong dan wong mbarang (pengamen) terus beraksi di jalan-jalan kota selama masa revolusi.
Tapak utama dari semangat kolaborasi kepenyairan dalam buku ini adalah pengalaman berdarah-darah ketika Indonesia dan Cile dilanda keganasan diktator militer.
APABILA catatan-catatan perjalanan di Jawa yang ditulis oleh bangsa Eropa kerap dianggap sarat stereotipe yang bias ”Barat”, buku ini dapat diposisikan pada sisi berbeda. Lanskap daerah-daerah di Jawa yang sedang dalam fase-fase awal peralihan dari masyarakat agraris ke semi-industri dituturkan berdasar perspektif orang Jawa itu sendiri. Persisnya, perspektif seorang ningrat Jawa.