26.9 C
Jakarta
Tuesday, August 5, 2025

Roblox, Game Populer Anak yang Penuh Kontroversi Dilarang Mendikdasmen

GAME Roblox telah menjelma menjadi fenomena global, terutama di kalangan anak-anak. Sejak dirilis pada 1 September 2006 oleh David Baszucki dan Erik Cassel, Roblox tak hanya menawarkan permainan, tapi juga menjadi platform kreatif bagi pengguna untuk menciptakan game mereka sendiri.

Awalnya dikembangkan pada 2003 dan sempat menggunakan nama-nama seperti GoBlocks dan DynaBlocks, Roblox tumbuh menjadi ekosistem digital yang menggabungkan permainan daring, pemrograman sederhana, dan interaksi sosial.

Melalui Roblox Studio, pengguna, termasuk anak-anak—bisa membuat game bertema petualangan, simulasi memasak, membangun kota, hingga bertani, yang kemudian bisa dimainkan oleh jutaan orang lain di seluruh dunia.

Roblox juga dilengkapi dengan fitur sosial seperti obrolan teks, suara, hingga pertemanan. Game ini dapat diakses di berbagai perangkat, dari smartphone, komputer, hingga konsol seperti XBox dan PlayStation.

Bahkan, Roblox kini memiliki lebih dari 111 juta pengguna aktif global, menjadikannya salah satu game terpopuler di Play Store dan App Store.

Namun, di balik popularitasnya, Roblox tak luput dari kritik tajam. Platform ini kerap disorot karena risiko keamanan bagi pengguna anak-anak. Pada 2022, sejumlah orang tua di AS menggugat Roblox atas dugaan eksploitasi anak.

Sementara pada 2024, Turkiye memblokir Roblox karena konten seksual yang dinilai berpotensi mengeksploitasi anak di bawah umur.

Baca Juga :  Peluncuran Ditunda Tahun Depan, Simak Daftar Pemain Game GTA 6

Tak hanya itu, laporan Hindenburg Research pada Oktober 2024 menyebut Roblox sebagai “tempat subur bagi pedofilia,” dengan konten kekerasan dan pornografi yang bisa diakses oleh anak. Kritik ini memicu diskusi global tentang seberapa aman lingkungan digital bagi anak-anak.

Upaya Keamanan dan Edukasi di Roblox

Menanggapi berbagai kritik, Roblox Corporation mengklaim telah memperketat kontrol terhadap konten dan interaksi pengguna. Di antaranya penerapan sistem filter otomatis untuk menyaring kata-kata kasar dan konten berbahaya.

Lalu ada juga fitur Parental Control yang memungkinkan orang tua mengawasi aktivitas anak—dari siapa yang berteman hingga durasi bermain dan Penandaan konten berdasarkan tingkat kekerasan: Minimal, Mild, Moderate, hingga Restricted.

Penambahan fitur Learning Hub, yang menghadirkan game edukatif seperti matematika, biologi, dan astronomi untuk berbagai jenjang usia.

Larangan Mendikdasmen: Anak Belum Bisa Bedakan Realita dan Fantasi

Meski dilengkapi sistem keamanan dan konten edukatif, Roblox tetap mendapat sorotan dari pemerintah. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, baru-baru ini mengimbau para pelajar agar tidak memainkan Roblox.

Imbauan itu disampaikan dalam kunjungan kerja di SDN Cideng 02, Jakarta Pusat, Senin (4/8), saat ia meninjau program cek kesehatan gratis. Ia menyoroti game yang mengandung kekerasan dan bahasa kasar, salah satunya Roblox.

Baca Juga :  3 Sarapan Sehat untuk Anak Kost, Dijamin Nagih!

“Yang blox-blox itu, jangan main yang itu. Karena itu tidak baik,” tegasnya di hadapan para guru dan siswa.

Menurut Mu’ti, anak-anak usia sekolah dasar belum memiliki kapasitas untuk membedakan mana realita dan mana dunia digital.

Inilah yang membuat mereka rentan meniru adegan kekerasan dalam game. Misalnya aksi membanting karakter dalam permainan yang dianggap wajar di dunia virtual, tapi berbahaya jika dilakukan di dunia nyata.

Ia mendorong orang tua dan pendidik untuk mengarahkan anak-anak ke konten yang membangun, seperti Dora the Explorer, yang dinilai mampu melatih kemampuan pemecahan masalah dan keterampilan sosial.

Tantangan Pengawasan di Era Digital

Kasus Roblox memperlihatkan tantangan besar dalam pengawasan dunia digital untuk anak-anak. Popularitas game yang tinggi sering kali tak sebanding dengan kesiapan sistem dan edukasi publik dalam mengelola dampaknya.

Di tengah perkembangan teknologi yang tak bisa dibendung, kolaborasi antara orang tua, guru, dan platform digital menjadi kunci utama. Anak-anak boleh bermain dan belajar melalui dunia virtual, tapi tetap harus dalam pengawasan ketat dan dengan pemahaman yang benar soal batas antara realita dan hiburan. (jpg)

GAME Roblox telah menjelma menjadi fenomena global, terutama di kalangan anak-anak. Sejak dirilis pada 1 September 2006 oleh David Baszucki dan Erik Cassel, Roblox tak hanya menawarkan permainan, tapi juga menjadi platform kreatif bagi pengguna untuk menciptakan game mereka sendiri.

Awalnya dikembangkan pada 2003 dan sempat menggunakan nama-nama seperti GoBlocks dan DynaBlocks, Roblox tumbuh menjadi ekosistem digital yang menggabungkan permainan daring, pemrograman sederhana, dan interaksi sosial.

Melalui Roblox Studio, pengguna, termasuk anak-anak—bisa membuat game bertema petualangan, simulasi memasak, membangun kota, hingga bertani, yang kemudian bisa dimainkan oleh jutaan orang lain di seluruh dunia.

Roblox juga dilengkapi dengan fitur sosial seperti obrolan teks, suara, hingga pertemanan. Game ini dapat diakses di berbagai perangkat, dari smartphone, komputer, hingga konsol seperti XBox dan PlayStation.

Bahkan, Roblox kini memiliki lebih dari 111 juta pengguna aktif global, menjadikannya salah satu game terpopuler di Play Store dan App Store.

Namun, di balik popularitasnya, Roblox tak luput dari kritik tajam. Platform ini kerap disorot karena risiko keamanan bagi pengguna anak-anak. Pada 2022, sejumlah orang tua di AS menggugat Roblox atas dugaan eksploitasi anak.

Sementara pada 2024, Turkiye memblokir Roblox karena konten seksual yang dinilai berpotensi mengeksploitasi anak di bawah umur.

Baca Juga :  Peluncuran Ditunda Tahun Depan, Simak Daftar Pemain Game GTA 6

Tak hanya itu, laporan Hindenburg Research pada Oktober 2024 menyebut Roblox sebagai “tempat subur bagi pedofilia,” dengan konten kekerasan dan pornografi yang bisa diakses oleh anak. Kritik ini memicu diskusi global tentang seberapa aman lingkungan digital bagi anak-anak.

Upaya Keamanan dan Edukasi di Roblox

Menanggapi berbagai kritik, Roblox Corporation mengklaim telah memperketat kontrol terhadap konten dan interaksi pengguna. Di antaranya penerapan sistem filter otomatis untuk menyaring kata-kata kasar dan konten berbahaya.

Lalu ada juga fitur Parental Control yang memungkinkan orang tua mengawasi aktivitas anak—dari siapa yang berteman hingga durasi bermain dan Penandaan konten berdasarkan tingkat kekerasan: Minimal, Mild, Moderate, hingga Restricted.

Penambahan fitur Learning Hub, yang menghadirkan game edukatif seperti matematika, biologi, dan astronomi untuk berbagai jenjang usia.

Larangan Mendikdasmen: Anak Belum Bisa Bedakan Realita dan Fantasi

Meski dilengkapi sistem keamanan dan konten edukatif, Roblox tetap mendapat sorotan dari pemerintah. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, baru-baru ini mengimbau para pelajar agar tidak memainkan Roblox.

Imbauan itu disampaikan dalam kunjungan kerja di SDN Cideng 02, Jakarta Pusat, Senin (4/8), saat ia meninjau program cek kesehatan gratis. Ia menyoroti game yang mengandung kekerasan dan bahasa kasar, salah satunya Roblox.

Baca Juga :  3 Sarapan Sehat untuk Anak Kost, Dijamin Nagih!

“Yang blox-blox itu, jangan main yang itu. Karena itu tidak baik,” tegasnya di hadapan para guru dan siswa.

Menurut Mu’ti, anak-anak usia sekolah dasar belum memiliki kapasitas untuk membedakan mana realita dan mana dunia digital.

Inilah yang membuat mereka rentan meniru adegan kekerasan dalam game. Misalnya aksi membanting karakter dalam permainan yang dianggap wajar di dunia virtual, tapi berbahaya jika dilakukan di dunia nyata.

Ia mendorong orang tua dan pendidik untuk mengarahkan anak-anak ke konten yang membangun, seperti Dora the Explorer, yang dinilai mampu melatih kemampuan pemecahan masalah dan keterampilan sosial.

Tantangan Pengawasan di Era Digital

Kasus Roblox memperlihatkan tantangan besar dalam pengawasan dunia digital untuk anak-anak. Popularitas game yang tinggi sering kali tak sebanding dengan kesiapan sistem dan edukasi publik dalam mengelola dampaknya.

Di tengah perkembangan teknologi yang tak bisa dibendung, kolaborasi antara orang tua, guru, dan platform digital menjadi kunci utama. Anak-anak boleh bermain dan belajar melalui dunia virtual, tapi tetap harus dalam pengawasan ketat dan dengan pemahaman yang benar soal batas antara realita dan hiburan. (jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/