Tak
bisa dipungkiri selama pandemi Covid-19 muncul sejak Desember 2019 di Wuhan,
Tiongkok, berbagai informasi muncul dan diserap publik. Sejak awal, beragam
informasi dari mulai bahaya penyakit tersebut, obat Covid-19, obat herbal
anti-Korona, dan berbagai informasi lainnya seringkali membuat masyarakat misinformasi.
Menurut
hasil survei, sebanyak 9 dari 10 responden Klinik Misinformasi terpapar berita
bohong dan menyesatkan. Temuan ini merupakan hasil uji keterpaparan lebih dari
5 ribu responden terhadap misinformasi yang beredar selama pandemi. Adapun
responden dari kuis edukatif ini secara umum menggambarkan para pengguna media
sosial di Indonesia dari berbagai kategori usia, tingkat pendidikan dan dan
geografis.
Temuan
tersebut dibahas dalam sebuah diskusi bertajuk Refleksi Infodemi di Masa
Pandemi dengan moderator Yosi รขโฌหProject Popรขโฌโข. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
juga mensejajarkan bahaya infodemi dengan pandemi karena informasi yang salah
dan tidak akurat akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan
keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19.
รขโฌลInformasi
yang menyesatkan telah menjadi bagian dari dinamika bermedia-sosial, dan temuan
bahwa 90 persen responden Klinik Misinformasi telah terpapar infodemi
mengkonfirmasi tingkat keterpaparan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi
terhadap misinformasi. Selama pandemi, kami menemukan lebih dari 500 hoax
terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat,รขโฌย kata Pemeriksa Fakta dari MAFINDO
(Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Bentang Febrylian, dalam webinar, Rabu
(26/8).
Temuan
lain dari responden Klinik Misinformasi, dalam segi usia, tingkat keterpaparan
paling tinggi terjadi pada kelompok usia di atas 54 tahun, dengan jumlah
responden yang terpapar misinformasi mencapai 100 persen Kategori usia yang
terpapar sangat tinggi lainnya adalah pengguna media sosial di rentang usia
0-17 tahun dimana tingkat keterpaparan mencapai 94 persen.
Menanggapi
hal itu, Dokter Spesialis Paru dr. Jaka Pradipta Sp.P mengatakan Infodemi
terjadi karena akar masalah pandemi ini adalah Covid-19 merupakan penyakit
baru. Para ahli bahkan para profesor sama-sama sedang belaja bagaimana karakter
virus Korona jenis baru ini.
รขโฌลItulah
makanya terjadinya infodemi, penyakit ini dan hoax sama-sama berbahaya.
Informasi itu sangat berbahaya seperti penyakitnya. Kita sudah bisa banyak
belajar,รขโฌย kata dr. Jaka.
Menurutnya
pengalaman-pengalaman di luar negeri pun juga menyebar berbagai hoax. Sampai
pada awal pandemi terjadi panic buying di berbagai negara. รขโฌลIni masalah dunia.
Awalnya muncul seperti apa sih penyakitnya. Lalu hoax-hoax muncul dari mulai
pengobatan sampai obat dan trik and tips,รขโฌย ujarnya.
Menurut
dr. Jaka, muncunya misinformasi seputar obat-obatan yang diklaim bisa
menyembuhkan Covid-19 bisa membuat masyarakat berlomba memborong obat tersebut.
Akibatnya harga obat menjadi mahal. รขโฌลDi internet harganya bisa jadi ratusan
kali lipat. Padahal obat yang diberikan selama ini sifatnya masih suportif.
Semuanya masih on trial. Belum ada obat pasti,รขโฌย katanya.
รขโฌลMaja
yang kini bisa dilakukan adalah masyarakat wajib membantu tim medis yang sedang
berjuang dengan taat protokoler. Kita semua tuh harus jadi hero dengan memakai
masker. Kalau kita sakit dengan pakai masker, kita enggak akan menularkan virus
ke orang,รขโฌย katanya.
Dokter
Jaka menyebut pandemi belum selesai. รขโฌลMemakai masker saat pandemi itu bentuk
apresiasi kita pada orang lain lho. Kita harus ingat bahwa penyakit ini belum
selesai. Perjuangan ini belum selesai,รขโฌย tandasnya.