31.6 C
Jakarta
Tuesday, April 15, 2025

Beda Pendapat soal Kerja Sama Vaksin, Erick-Luhut Bikin Geleng Kepala

Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menekankan bahwa pemerintah punya
berbagai pertimbangan dalam menentukan vaksin yang akan didistribusikan ke
masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah bekerja sama dengan
Tiongkok dalam produksi vaksin Covid-19.

“Kenapa
misalnya nanti pemerintah pilih Sinovac, atau Novavax, atau AstraZeneca, itu
karena alasan-alasan ini. Kenapa Pfizer dan Moderna belum bisa? Karena memang
cold chain-nya yang satu -75 (derajat celsius), yang satu -20 (derajat
celsius),” ujar Erick dalam webinar, Selasa (24/11).

Erick
mengatakan salah satu faktor vaksin dipilih adalah vaksin tersebut mampu
didistribusikan dan disimpan di dalam suhu 2 sampai 8 derajat celsius. “Vaksin
yang akan dibeli pemerintah juga merupakan vaksin yang cold chain-nya atau distribusinya
yang friendly dengan distribusi kita, 2-8 derajat celsius,” ucapnya.

Erick
menuturkan, jika Indonesia memilih merek vaksin Covid-19 yang penyimpanan di
bawah suhu 2 derajat celsius, maka akan kesulitan dalam pendistribusiannya.
Apalagi, persiapan untuk mendistribusikan vaksin waktunya tak banyak.

Dengan
demikian, Erick menambahkan, pemerintah akan memilih vaksin yang cocok di
Indonesia. Sebab, pendistribusian vaksin harus dilakukan sesegera mungkin.

“Jangan
nanti terpikir, bahwa pemerintah beli merek ini (karena) ini berbisinis. Tidak.
Jadi, ini yang tentu pemerintah lihat juga, siapa yang bisa men-deliver dengan
kuantitas yang kita tentukan,” tuturnya.

Namun,
pernyataan berbeda disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, salah satu hasil
kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) yaitu kelanjutan kerja sama produksi
vaksin Covid-19.

Rombongan
Luhut telah melakukan pembahasan bersama dengan Wapres AS Mike Pence. “Wapres
Pence dan saya berbicara hampir 15 menit. Kami bicara menyangkut masalah vaksin
dan Amerika,” ujarnya dalam webinar CEO Networking 2020, Selasa (24/11).

Luhut
menyebut, dirinya telah melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Pence
mengenai kerja sama vaksin Covid-19. Menurutnya, telah ada kesepakatan antara
Pfizer dan PT Biofarma untuk melakukan kerja sama vaksin korona.

Bahkan,
kedua belah pihak telah saling berkoordinasi secara virtual dengan Secretary of
Health dan Wakil Menteri Budi Sadikin, serta BPOM. “Tadi malam kami sudah
follow-up lewat video call. Jadi, untuk Pfizer membuat kerja sama dengan
Biofarma,” ungkapnya.

Lebih
jauh, Luhut mengatakan, pembicaraan mengenai kerja sama produksi vaksin
tersebut terus dilakukan. Selain dengan Pfizer, Luhut juga mengatakan mereka
mengajak Johnson & Johnson dalam kerja sama ini.

“Kemarin
kami bicara sama Wapres Pence dengan vaksin. Semalam Pak Honesti juga ikut.
Kami bicara sama Secretary of Health. Kami minta kerja sama produksi Pfizer
atau Johnson & Johnson ke Indonesia,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Rabu
(25/11).

Baca Juga :  Bahaya Glaukoma Picu Kebutaan, Penyebabnya Bisa Karena Diabetes

Luhut
menjelaskan, Direktur Utama Biofarma Honesti Basyir sudah diminta untuk segera
merampungkan kesepakatan kerja sama dengan AS. Dia mengatakan kemungkinan
kesepakatan bisa diraih 10 hari ke depan.

“Jadi,
kemungkinan kita akan ada dua vaksin, satu dari Tiongkok dan satu dari Amerika
Serikat,” ucapnya.

Sementara,
hingga saat ini, tim JawaPos.com belum mendapatkan respons dari pihak Biofarma
mengenai hal tersebut.

Sebagai
informasi, dalam keterangan KBRI Washington, Luhut bertemu dengan Wakil
Presiden AS Mike Pence pada Selasa (17/11). Saat bertemu Pence, Luhut ditawari
kerja sama untuk memproduksi vaksin Covid-19.

Pada
kesempatan itu, Pence menawarkan kerja sama produksi vaksin yang bisa digarap
oleh perusahaan Indonesia dan AS. Hal itu disampaikan langsung kepada Luhut
saat berada di kantor Pence.

Sejumlah
pengamat mengusulkan beberapa saran untuk pemerintah. Pada intinya, pemerintah
diminta mempertimbangkan kembali keuntungan dan kendalanya dalam membeli vaksin
Pfizer yang diklaim manjur hingga 95 persen.

Pakar
Kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Hermawan
Saputra menilai pemerintah harus mempertimbangkan dan hati-hati dalam membeli
vaksin Pfizer. Salah satunya karena uji klinis vaksin tersebut tidak dilakukan
di Indonesia.

“Pertama
tentang pfizer ini kita sangat harus hati-hati ya, karena pertama clinical trial
mereka tak dilakukan di Indonesia. Efikasi mereka walaupun 95 persen tetapi itu
lebih ke menurunkan gejalanya, belum kita tahu reaksi alergi atau dampak
lanjutan atau dampak ikutan bila terjadi ketidaksesuaian dari dampak injeksi
vaksin,” tegasnya kepada JawaPos.com, Rabu (25/11).

Selain
itu, kata dr. Hermawan, ada support system yang memang agak berbeda antara
Amerika Serikat dan Indonesia. Sebab hal itu terkait dengan rantai pendingin
atau cold chain untuk penyimpanan vaksin.

“Suhu
derajat penyimpanan vaksin itu berbeda, dan itu sangat berpengaruh sekali terhadap
cost atau biaya,” ujarnya.

Menurutnya,
akan sulit mewujudkan vaksinasi dengan vaksin Pfizer jika ingin mengejar awal
tahun 2021. Sebab di AS saja baru akan dilakukan vaksinasi pada kuartal I 2021.

“Waktunya
tak mungkin diadakan di awal Januari kalaupun memang memaksa kerja sama dengan
Pfizer. Di AS sendiri baru pada akhir kuartal I, atau paling cepat di akhir
April atau malah di awal kuartal II,” jelasnya.

Baca Juga :  9 Manfaat Alpukat, Bisa Cegah Osteoporosis Hingga Penyakit Kronis

Dia
menilai lebih baik lanjutkan kerja sama dengan Sinovac dan Sinopharm dengan
CanSino. Atau mendorong penuh pada tim peneliti vaksin Merah Putih agar segera
selesai uji klinisnya.

“Jadi,
memang itu poinnya, tentu Pfizer agak sulit diharapkan ya. Kalau mau fokus
lanjutkan kerja sama Sinovac dengan Biofarma atau bahkan vaksin Merah Putih
yang didorong untuk dipercepat dan di-support habis-habisan.

“Karena
di samping harus penuhi standar WHO atau global regulatory, juga ada review and
approval yang sifatnya internal Indonesia, butuh proses,” katanya.

Hal
senada diungkapkan Epidemiolog dan Pakar Kesehatan dari Fakuktas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono. Menurutnya
setiap vaksin ada keunggulannya, namun ada kelemahannya. Kelebihan vaksin
Pfizer selain manjur 95 persen, bisa disuntikkan pada anak kecil, tapi
penyimpanannya susah yakni harus di kulkas dengan suhu di bawah minus 2.

 

“Jadi,
menurut saya, harus sesuaikan dengan apa yang kita bisa. Jangan beli mahal
ditambah lagi kita harus menambah mahal lagi dengan beli cold chain di
puskesmas, kita punya sistem. Walaupun Pfizer efektivitasnya lebih bagus,
misalnya efek sampingnya lebih bagus ya kita harus take a risk dengan sistem yang
ada di Indonesia,” jelasnya.

Menurut
Tri Yunis, karena biaya untuk membeli vaksin Pfizer cukup besar untuk pengadaan
cold chain, lebih baik dipertimbangkan ulang. “Kalau kita negara kaya enggak
apa-apa beli semua aja. Kalau kaya ya, enggak jadi masalah,” tukasnya.

Menteri
BUMN Erick Thohir. (Dok. Humas BUMN)

Minimnya
Cold Chain

Belum
seluruh kabupaten di Indonesia punya cold chain yang mumpuni. “Kalau dari 514
kabupaten, saya yakin cuma 200an kabupaten yang punya. Lalu nanti
operasionalnya juga susah sampai puskesmas gimana dan sistem kita sudah
berjalan,” katanya.

“Menurut
saya sih harus dipertimbangkan (beli vaksin Pfizer) itu juga, kecuali kita kaya
ya. Kita kaya beli apa aja boleh,” ungkapnya.

Menurut
Tri Yunus, mestinya Luhut menjajaki skema business to business terlebih dahulu.
Tidak langsung government to government.

“Namun
kalau memang mau tetap beli Pfizer, mungkin untuk anak-anak kalau masih
membutuhkan vaksin silakan. Karena kan yang Sinovac, Sinopharm, dan CanSino
untuk anak di bawah 18 enggak disuntik. Nah kalau mau selamatkan bangsa ini,
kalau mau disuntikkan pakai Johnson and Johnson paling tidak, atau Pfizer. Atau
kalau mau, menunggu vaksin Merah Putih,” tuturnya.

Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menekankan bahwa pemerintah punya
berbagai pertimbangan dalam menentukan vaksin yang akan didistribusikan ke
masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah bekerja sama dengan
Tiongkok dalam produksi vaksin Covid-19.

“Kenapa
misalnya nanti pemerintah pilih Sinovac, atau Novavax, atau AstraZeneca, itu
karena alasan-alasan ini. Kenapa Pfizer dan Moderna belum bisa? Karena memang
cold chain-nya yang satu -75 (derajat celsius), yang satu -20 (derajat
celsius),” ujar Erick dalam webinar, Selasa (24/11).

Erick
mengatakan salah satu faktor vaksin dipilih adalah vaksin tersebut mampu
didistribusikan dan disimpan di dalam suhu 2 sampai 8 derajat celsius. “Vaksin
yang akan dibeli pemerintah juga merupakan vaksin yang cold chain-nya atau distribusinya
yang friendly dengan distribusi kita, 2-8 derajat celsius,” ucapnya.

Erick
menuturkan, jika Indonesia memilih merek vaksin Covid-19 yang penyimpanan di
bawah suhu 2 derajat celsius, maka akan kesulitan dalam pendistribusiannya.
Apalagi, persiapan untuk mendistribusikan vaksin waktunya tak banyak.

Dengan
demikian, Erick menambahkan, pemerintah akan memilih vaksin yang cocok di
Indonesia. Sebab, pendistribusian vaksin harus dilakukan sesegera mungkin.

“Jangan
nanti terpikir, bahwa pemerintah beli merek ini (karena) ini berbisinis. Tidak.
Jadi, ini yang tentu pemerintah lihat juga, siapa yang bisa men-deliver dengan
kuantitas yang kita tentukan,” tuturnya.

Namun,
pernyataan berbeda disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, salah satu hasil
kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) yaitu kelanjutan kerja sama produksi
vaksin Covid-19.

Rombongan
Luhut telah melakukan pembahasan bersama dengan Wapres AS Mike Pence. “Wapres
Pence dan saya berbicara hampir 15 menit. Kami bicara menyangkut masalah vaksin
dan Amerika,” ujarnya dalam webinar CEO Networking 2020, Selasa (24/11).

Luhut
menyebut, dirinya telah melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Pence
mengenai kerja sama vaksin Covid-19. Menurutnya, telah ada kesepakatan antara
Pfizer dan PT Biofarma untuk melakukan kerja sama vaksin korona.

Bahkan,
kedua belah pihak telah saling berkoordinasi secara virtual dengan Secretary of
Health dan Wakil Menteri Budi Sadikin, serta BPOM. “Tadi malam kami sudah
follow-up lewat video call. Jadi, untuk Pfizer membuat kerja sama dengan
Biofarma,” ungkapnya.

Lebih
jauh, Luhut mengatakan, pembicaraan mengenai kerja sama produksi vaksin
tersebut terus dilakukan. Selain dengan Pfizer, Luhut juga mengatakan mereka
mengajak Johnson & Johnson dalam kerja sama ini.

“Kemarin
kami bicara sama Wapres Pence dengan vaksin. Semalam Pak Honesti juga ikut.
Kami bicara sama Secretary of Health. Kami minta kerja sama produksi Pfizer
atau Johnson & Johnson ke Indonesia,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Rabu
(25/11).

Baca Juga :  Bahaya Glaukoma Picu Kebutaan, Penyebabnya Bisa Karena Diabetes

Luhut
menjelaskan, Direktur Utama Biofarma Honesti Basyir sudah diminta untuk segera
merampungkan kesepakatan kerja sama dengan AS. Dia mengatakan kemungkinan
kesepakatan bisa diraih 10 hari ke depan.

“Jadi,
kemungkinan kita akan ada dua vaksin, satu dari Tiongkok dan satu dari Amerika
Serikat,” ucapnya.

Sementara,
hingga saat ini, tim JawaPos.com belum mendapatkan respons dari pihak Biofarma
mengenai hal tersebut.

Sebagai
informasi, dalam keterangan KBRI Washington, Luhut bertemu dengan Wakil
Presiden AS Mike Pence pada Selasa (17/11). Saat bertemu Pence, Luhut ditawari
kerja sama untuk memproduksi vaksin Covid-19.

Pada
kesempatan itu, Pence menawarkan kerja sama produksi vaksin yang bisa digarap
oleh perusahaan Indonesia dan AS. Hal itu disampaikan langsung kepada Luhut
saat berada di kantor Pence.

Sejumlah
pengamat mengusulkan beberapa saran untuk pemerintah. Pada intinya, pemerintah
diminta mempertimbangkan kembali keuntungan dan kendalanya dalam membeli vaksin
Pfizer yang diklaim manjur hingga 95 persen.

Pakar
Kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Hermawan
Saputra menilai pemerintah harus mempertimbangkan dan hati-hati dalam membeli
vaksin Pfizer. Salah satunya karena uji klinis vaksin tersebut tidak dilakukan
di Indonesia.

“Pertama
tentang pfizer ini kita sangat harus hati-hati ya, karena pertama clinical trial
mereka tak dilakukan di Indonesia. Efikasi mereka walaupun 95 persen tetapi itu
lebih ke menurunkan gejalanya, belum kita tahu reaksi alergi atau dampak
lanjutan atau dampak ikutan bila terjadi ketidaksesuaian dari dampak injeksi
vaksin,” tegasnya kepada JawaPos.com, Rabu (25/11).

Selain
itu, kata dr. Hermawan, ada support system yang memang agak berbeda antara
Amerika Serikat dan Indonesia. Sebab hal itu terkait dengan rantai pendingin
atau cold chain untuk penyimpanan vaksin.

“Suhu
derajat penyimpanan vaksin itu berbeda, dan itu sangat berpengaruh sekali terhadap
cost atau biaya,” ujarnya.

Menurutnya,
akan sulit mewujudkan vaksinasi dengan vaksin Pfizer jika ingin mengejar awal
tahun 2021. Sebab di AS saja baru akan dilakukan vaksinasi pada kuartal I 2021.

“Waktunya
tak mungkin diadakan di awal Januari kalaupun memang memaksa kerja sama dengan
Pfizer. Di AS sendiri baru pada akhir kuartal I, atau paling cepat di akhir
April atau malah di awal kuartal II,” jelasnya.

Baca Juga :  9 Manfaat Alpukat, Bisa Cegah Osteoporosis Hingga Penyakit Kronis

Dia
menilai lebih baik lanjutkan kerja sama dengan Sinovac dan Sinopharm dengan
CanSino. Atau mendorong penuh pada tim peneliti vaksin Merah Putih agar segera
selesai uji klinisnya.

“Jadi,
memang itu poinnya, tentu Pfizer agak sulit diharapkan ya. Kalau mau fokus
lanjutkan kerja sama Sinovac dengan Biofarma atau bahkan vaksin Merah Putih
yang didorong untuk dipercepat dan di-support habis-habisan.

“Karena
di samping harus penuhi standar WHO atau global regulatory, juga ada review and
approval yang sifatnya internal Indonesia, butuh proses,” katanya.

Hal
senada diungkapkan Epidemiolog dan Pakar Kesehatan dari Fakuktas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono. Menurutnya
setiap vaksin ada keunggulannya, namun ada kelemahannya. Kelebihan vaksin
Pfizer selain manjur 95 persen, bisa disuntikkan pada anak kecil, tapi
penyimpanannya susah yakni harus di kulkas dengan suhu di bawah minus 2.

 

“Jadi,
menurut saya, harus sesuaikan dengan apa yang kita bisa. Jangan beli mahal
ditambah lagi kita harus menambah mahal lagi dengan beli cold chain di
puskesmas, kita punya sistem. Walaupun Pfizer efektivitasnya lebih bagus,
misalnya efek sampingnya lebih bagus ya kita harus take a risk dengan sistem yang
ada di Indonesia,” jelasnya.

Menurut
Tri Yunis, karena biaya untuk membeli vaksin Pfizer cukup besar untuk pengadaan
cold chain, lebih baik dipertimbangkan ulang. “Kalau kita negara kaya enggak
apa-apa beli semua aja. Kalau kaya ya, enggak jadi masalah,” tukasnya.

Menteri
BUMN Erick Thohir. (Dok. Humas BUMN)

Minimnya
Cold Chain

Belum
seluruh kabupaten di Indonesia punya cold chain yang mumpuni. “Kalau dari 514
kabupaten, saya yakin cuma 200an kabupaten yang punya. Lalu nanti
operasionalnya juga susah sampai puskesmas gimana dan sistem kita sudah
berjalan,” katanya.

“Menurut
saya sih harus dipertimbangkan (beli vaksin Pfizer) itu juga, kecuali kita kaya
ya. Kita kaya beli apa aja boleh,” ungkapnya.

Menurut
Tri Yunus, mestinya Luhut menjajaki skema business to business terlebih dahulu.
Tidak langsung government to government.

“Namun
kalau memang mau tetap beli Pfizer, mungkin untuk anak-anak kalau masih
membutuhkan vaksin silakan. Karena kan yang Sinovac, Sinopharm, dan CanSino
untuk anak di bawah 18 enggak disuntik. Nah kalau mau selamatkan bangsa ini,
kalau mau disuntikkan pakai Johnson and Johnson paling tidak, atau Pfizer. Atau
kalau mau, menunggu vaksin Merah Putih,” tuturnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru