SILENT WALKING dapat didefinisikan sebagai praktik meditasi berjalan. Seseorang melakukan aktivitas berjalan sambil memusatkan perhatian penuh pada langkah, pernapasan, dan lingkungan sekitarnya. Tanpa gangguan eksternal seperti musik, suara, atau gawai.
Dosen Pendidikan Sosiologi UNY Grendi Hendrastomo mengatakan, silent walking menjadi tren baru karena dibantu dengan peranan media sosial yang besar. Tren itu menurutnya muncul karena adanya kesadaran masyarakat untuk menyehatkan diri sendiri. Silent walking dipilih sebagai pilihan ekonomis ketimbang harus mengeluarkan biaya untuk ke psikolog atau psikiater.
“Ada banyak tekanan di dunia, entah pekerjaan dan kehidupan, yang memaksa orang cari cara untuk menghargai dirinya. Salah satunya mencoba berjalan dengan silent walking,” ujarnya kepada Radar Jogja, Jumat (27/9/2024).
Grendi menyebut, ada kebutuhan terkait tekanan sosial-ekonomi yang mana kemudian membuat orang ingin refleksi diri atau “menyendiri”. Sehingga di beberapa hal, ada kecenderungan orang mencoba untuk menikmati dirinya sendiri. Salah satunya dilakukan dengan silent walking.
“Artinya dia tidak ingin diganggu, baik oleh teknologi misalnya. Dia menikmati saja dengan berjalan,” ucapnya.
Dia mengatakan, silent walking menjadi tujuan orang untuk refleksi diri. Sembari mengamati kondisi lingkungannya. Hingga akhirnya menemukan aspek positif yang bisa dibangun dari diri orang itu.
Walaupun secara kritis, dia mengatakan bahwa silent walking seperti pelarian. “Di satu sisi nantinya orang bisa jadi tumbuh keinginan untuk menyendiri, dia menarik diri dari lingkungan karena jenuh dengan kondisi lingkungannya yang ada,” katanya.
Grendi menyebut, silent walking juga hanya muncul pada masyarakat di lingkungan perkotaan atau yang dekat dengan modernitas. Bahkan orang di perkotaan juga memiliki tradisi yang serupa dengan silent walking, yakni mubeng beteng. Tradisi dari Kraton Jogja itu, kata Grendi, adalah silent walking dalam konteks kearifan lokal. Sama-sama dilakukan untuk merefleksikan diri.
“Secara konteks sebenarnya sama, merefleksikan diri sendiri. Tapi itu (mubeng beteng, Red) tidak menjadi suatu tren, masuknya ke tradisi. Padahal itu juga sama dengan silent walking,” jelasnya.
Dia menuturkan, silent walking dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada pengaruh adiksi gawai yang kini telah semakin sulit untuk dipisahkan. Silent walking juga menuntut seseorang melakukan aktivitas dengan fokus, tidak sambil melakukan kegiatan yang lain atau multi tasking. “Melalui silent walking, manusia memiliki waktu dan kesempatan untuk berolahraga sekaligus berefleksi diri, mencerna pengalaman hidup, menenangkan diri, dan stress release,” paparnya.
Grendi mengungkapkan, silent walking memang belum lama menjadi tren di Indonesia. Ditambah, silent walking tidak se-booming tren lain seperti lari. Hal itu disebabkan karena karakteristik masyarakat Indonesia yang senang berkumpul secara umum. “Bukan gayanya masyarakat kita,” ungkapnya.
Karena hal itu, dia memprediksi tren silent walking tidak akan berlangsung lama. Dalam perspektif sosiologis, suatu tren pasti akan digantikan oleh tren yang baru. Namun umumnya masyarakat akan menjalankan aktivitasnya secara kontinyu jika mereka merasakan manfaatnya.
Ketika suatu kegiatan dilakukan oleh banyak orang, maka orang cenderung melakukan itu. Namun ketika semua orang melakukannya, maka akan ada salah satu orang yang mencari pembeda. Hingga muncul tren yang lain.
Ia menyebut, orang selalu berupaya untuk menjadi berbeda dari yang lainnya. Pada awalnya ingin mengikuti orang lain, namun akhirnya bosan. “Konteksnya orang itu hanya melakukan bukan karena kebutuhan, tapi karena ingin imajinya atau simbol imej ke orang lain,” tandasnya. (tyo/eno)