PROKALTENG.CO – Mati rasa secara emosional bukan sekadar kehilangan kemampuan untuk merasakan, melainkan reaksi bawah sadar terhadap luka psikologis yang terbentuk sejak masa kanak-kanak. Kondisi ini bukan hal aneh, dan tak selalu berarti ada yang salah dengan diri seseorang.
Banyak orang yang merasa emosi mereka datar, momen bahagia terasa hambar, dan kesedihan pun tidak membekas. Jika ini terdengar familiar, bisa jadi ada akar pengalaman masa kecil yang belum pernah benar-benar tersentuh. Memahami hal ini bisa menjadi langkah awal untuk kembali terhubung dengan emosi yang terkubur dalam.
Berikut delapan pengalaman masa kecil yang diam-diam dapat menjadi pemicu mati rasa emosional, sebagaimana dilansir dari VegOut:
-
Pengabaian Emosional
Bentuk luka ini tidak selalu terlihat seperti kekerasan fisik, tapi dampaknya bisa sama beratnya. Pengabaian emosional terjadi saat kebutuhan perasaan anak terus-menerus diabaikan. Tidak dipeluk saat sedih, tidak didengarkan saat marah, atau dibiarkan bingung tanpa arahan. Anak pun tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya tidak penting, tidak layak untuk diperhatikan. Jika kamu sering merasa mati rasa, bisa jadi itu respons dari luka lama yang tak pernah disembuhkan. -
Trauma yang Tidak Pernah Tuntas
Beberapa anak tampak kuat usai mengalami peristiwa traumatis. Tidak menangis, tidak rewel, terlihat biasa saja. Namun di balik itu, mereka mematikan sisi paling rapuh dalam diri—emosinya sendiri. Mekanisme pertahanan ini terbawa hingga dewasa dan menciptakan jarak dengan perasaan. Trauma yang tidak dituntaskan akan terus membekas dan menggerus kemampuan merasakan secara utuh. -
Tumbuh di Lingkungan Penuh Tekanan
Rumah yang tidak stabil, kesulitan ekonomi, kekerasan, atau lingkungan penuh kecanduan bisa menciptakan tekanan kronis. Anak-anak yang hidup dalam situasi seperti itu sering kali mematikan emosinya untuk bertahan. Ini bukan kelemahan, melainkan mekanisme bertahan hidup. Namun ketika terbawa hingga dewasa, pertahanan itu berubah menjadi tembok yang memisahkan seseorang dari emosinya sendiri. -
Orang Tua yang Tidak Konsisten
Hari ini hangat dan memeluk, besok dingin dan penuh kemarahan. Pola yang tak menentu ini menciptakan kebingungan bagi anak. Mereka tidak tahu apakah akan menerima cinta atau penolakan, sehingga lebih memilih menutup diri sepenuhnya. Saat dewasa, respons itu muncul kembali sebagai mati rasa emosional. -
Emosi yang Tidak Pernah Divalidasi
Kalimat seperti “Ah, segitu aja nangis?”, “Itu bukan masalah besar,” atau “Jangan manja,” mungkin terdengar sepele. Tapi saat diulang terus-menerus, anak belajar bahwa perasaannya tidak penting. Maka satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menekan semua emosi. Lama-lama, perasaan yang ditekan itu pun membeku. -
Pengalaman Perundungan
Perundungan tidak hanya menyakitkan saat terjadi, tapi juga meninggalkan bekas jangka panjang. Anak yang dirundung biasanya menarik diri, menyembunyikan jati diri, dan mematikan emosi agar tidak tampak lemah. Jika pola ini tidak dilepaskan, saat dewasa mereka bisa kehilangan kepekaan terhadap perasaan sendiri. -
Dipaksa Tumbuh Terlalu Cepat
Sebagian anak harus menjalani peran dewasa sejak dini. Mengurus adik, menghadapi konflik rumah tangga, atau memikul tanggung jawab yang seharusnya bukan beban mereka. Dalam situasi seperti itu, emosi terasa seperti beban tambahan yang tidak boleh ada. Mereka pun belajar mematikannya. Ketika dewasa, sulit rasanya kembali terhubung dengan bagian diri yang dulu dikorbankan. -
Kurangnya Pendidikan Emosional
Tidak semua anak diajarkan cara mengenali, memahami, atau mengekspresikan perasaannya. Mereka hanya tahu apa yang boleh atau tidak boleh dirasakan, tanpa tahu kenapa. Akibatnya, emosi menjadi sesuatu yang asing. Lama-kelamaan, perasaan yang tidak dikenali itu pun ditinggalkan, hingga mati rasa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi, Apa Langkah Selanjutnya?
Kalau satu atau beberapa dari pengalaman ini terasa akrab, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Mengenali akar luka emosional bukan tentang menyalahkan masa lalu, tapi membuka pintu menuju pemulihan.
Emosimu penting. Kamu penting. Dan tidak apa-apa untuk mulai merasa lagi—pelan-pelan, satu emosi dalam satu waktu. (jawapos.com)