Fenomena kerja lembur kian melekat dalam rutinitas pekerja masa kini, terutama di kota besar. Tekanan pekerjaan, target yang tinggi, hingga budaya kerja kompetitif membuat banyak karyawan rela mengorbankan waktu istirahat mereka. Meski dianggap wajar, kerja lembur yang terlalu sering ternyata menyimpan dampak serius terhadap kesehatan mental.
Konten edukasi dari akun TikTok @elv_gun menegaskan bahwa bekerja melebihi jam normal menyebabkan otak tidak mendapatkan waktu pemulihan yang cukup. Akibatnya, tubuh terus berada dalam kondisi “fight or flight” yang meningkatkan hormon stres kortisol. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bisa memicu kecemasan, sulit tidur, bahkan depresi.
Hal senada disampaikan akun @rahimcareer, yang menjelaskan bahwa lembur seolah menjadi “normal baru” di banyak perusahaan. Padahal, lembur tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas. Sebaliknya, pekerja yang kurang istirahat justru lebih rentan melakukan kesalahan, kehilangan fokus, dan mudah tersulut emosi. Situasi ini secara perlahan mengikis kesehatan mental karyawan.
Sementara itu, akun @halodocid mengingatkan bahwa bekerja lebih dari 55 jam per minggu berhubungan erat dengan meningkatnya risiko burnout. Burnout bukan sekadar lelah biasa, melainkan kondisi kelelahan emosional, mental, dan fisik akibat stres berkepanjangan di tempat kerja. Gejalanya mulai dari hilangnya motivasi, merasa tidak berharga, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Dalam penjelasannya, @ananzaprili menambahkan bahwa kerja lembur juga berdampak pada kualitas hubungan personal. Ketika energi habis di kantor, seseorang sering kali kehilangan kesabaran dengan pasangan, keluarga, atau teman. Pola ini membuat pekerja terjebak dalam lingkaran setres, merasa sendirian, dan akhirnya semakin sulit mencari dukungan sosial.
Psikolog dan pakar karier menyebut ada beberapa dampak psikologis yang paling sering muncul akibat kerja lembur:
Stres kronis. Jam kerja panjang tanpa jeda membuat otak tidak punya kesempatan untuk relaksasi, sehingga hormon stres terus meningkat.
Gangguan tidur. Terlalu lama bekerja membuat ritme sirkadian terganggu. Akibatnya, pekerja sulit tidur nyenyak dan bangun dalam kondisi segar.
Burnout. Kelelahan emosional yang berlarut-larut menurunkan motivasi, membuat seseorang kehilangan semangat bekerja, bahkan kehilangan makna hidup.
Penurunan kualitas hubungan. Energi emosional yang terkuras di kantor bisa menimbulkan konflik di rumah atau pertemanan, menambah beban mental.
Self-esteem rendah. Merasa tidak pernah cukup meski sudah bekerja keras bisa memicu rasa tidak percaya diri dan mengikis penghargaan terhadap diri sendiri.
Lantas, bagaimana cara mengurangi dampak negatif lembur terhadap kesehatan mental? Pakar menyarankan beberapa langkah praktis. Pertama, tetapkan batasan kerja dengan tegas.
Belajar mengatakan “cukup” pada jam tertentu penting untuk menjaga keseimbangan hidup. Kedua, prioritaskan manajemen waktu. Dengan menyusun to-do list yang jelas, pekerja bisa menyelesaikan tugas lebih efektif tanpa harus mengorbankan waktu istirahat.
Selain itu, penting untuk meluangkan waktu beristirahat meski di sela-sela kesibukan. Aktivitas sederhana seperti berjalan sebentar, latihan pernapasan, atau sekadar menjauh dari layar gadget dapat membantu otak merasa lebih tenang.
Mengatur pola makan bergizi dan olahraga rutin juga terbukti meningkatkan daya tahan tubuh terhadap stres.
Dukungan sosial juga tidak kalah penting. Membicarakan beban kerja dengan pasangan, teman, atau bahkan atasan bisa mencegah rasa terisolasi. Jika kondisi sudah terlalu berat, konseling dengan psikolog menjadi pilihan bijak.
Terapi profesional dapat membantu mengurai stres, memperbaiki pola pikir, serta membangun kembali kepercayaan diri yang terkikis akibat tekanan kerja.
Fenomena kerja lembur pada akhirnya menjadi pengingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan pencapaian karier. Bekerja keras memang diperlukan, tetapi bukan berarti mengorbankan kebahagiaan dan kestabilan emosi.
Dengan kesadaran, manajemen waktu, dan dukungan yang tepat, setiap pekerja berpeluang menjalani hidup yang lebih seimbang, produktif, dan sehat secara mental.(jpc)