PROKALTENG.CO – Pernahkah Anda merasa jengkel saat sedang santai di kafe atau antre di klinik, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari anak kecil di sekitar? Suara teriakan atau dentuman mainan yang terus-menerus bisa membuat suasana hati langsung terganggu. Meski demikian, rasa kesal terhadap suara anak orang lain ternyata adalah hal yang cukup umum terjadi.
Menurut Dr. Matthew Morand, psikolog berlisensi yang dikutip dari HuffPost, perasaan terganggu oleh suara tersebut sering kali muncul bahkan dalam sesi konseling. Ia menyarankan agar kita mencoba mengurangi “suara negatif” dalam pikiran agar tidak cepat merasa kesal. “Minimalkan suara negatif dalam kepala Anda,” ujarnya. Meski terdengar sederhana, praktiknya memang tidak selalu mudah.
Ubah Perspektif untuk Meredakan Emosi
Morand mendorong kita menggunakan prinsip “the other shoe” atau membalik sudut pandang. Ia bercerita, “Kalau saya hitung, sudah berapa kali kepala saya ditendang anak kecil di pesawat, mungkin saya bisa menuntut,” candanya. Namun ia juga mengingatkan, “Apakah anak saya sendiri belum pernah berperilaku menyebalkan juga?”
Hal serupa dikemukakan Dr. Kristen Piering, psikolog klinis, yang mengingatkan bahwa anak-anak perlu belajar bersosialisasi di tempat umum. “Mereka juga manusia, mungkin saja sedang menjalani hari yang sulit,” ujarnya. Dengan demikian, perilaku yang mengganggu mungkin hanya merupakan luapan stres dari pengalaman sehari-hari mereka, seperti kelelahan atau masalah bersama teman.
Apakah Anak atau Orang Tua yang Sebenarnya Jadi Masalah?
Kadang, yang memicu rasa kesal bukan cuma tingkah anak, melainkan sikap orang tua yang tampak acuh tak acuh saat anaknya berperilaku tak pantas di ruang publik. Namun Morand menegaskan pentingnya menilai apakah orang tua tersebut sudah berusaha mengarahkan anaknya. “Kalau mereka berusaha, itu sudah pantas dihargai,” ujarnya.
Piering menambahkan, cara pengasuhan tidak bisa dinilai hanya dari satu kejadian. “Mungkin ada alasan di balik metode yang mereka pilih, hasil dari proses panjang memahami kebutuhan anak,” katanya.
Tiga Cara Menghadapi Anak yang Mengganggu Versi Psikolog Sekolah
Jika Anda benar-benar sudah tidak sabar, Shira Schwartz, psikolog sekolah dan administrator pendidikan, memberikan tiga langkah praktis: abaikan, alihkan perhatian, dan kendalikan diri untuk tidak bertindak seperti orang tua.
-
Abaikan
Seringkali, anak berperilaku mengganggu untuk mencari perhatian. Schwartz mengatakan, jika tidak direspons, mereka biasanya akan berhenti dan mencari “penonton” lain. Misalnya, anak yang terus bernyanyi sumbang di taman akan berhenti saat tak ada yang menanggapi. -
Alihkan perhatian
Jika ingin membantu, ajak anak beralih ke kegiatan lain, seperti mencari gambar tersembunyi di lukisan saat berkunjung ke museum. “Anak-anak pada dasarnya ingin terhubung, bahkan dengan orang dewasa yang bukan orang tua mereka,” jelas Schwartz. -
Tahan diri untuk tidak jadi orang tua dadakan
Dorongan menegur anak memang kuat, tapi Schwartz menekankan bahwa kita bukan orang tua mereka. Meski begitu, tetap bisa memberi batas dengan tegas, misalnya, “Saya tidak suka itu, tolong berhenti,” katanya.
Bersimpati, Bukan Menghakimi
Jika cara-cara tadi belum berhasil, coba tarik napas dan ingat, Anda bukan orang tua mereka. Seperti dikatakan Piering, “Anak-anak tidak akan seperti itu selamanya. Bahkan yang paling menyebalkan sekalipun tetap butuh kasih sayang dan perhatian.”
Kita pun dulunya pernah menjadi anak-anak yang, jujur saja, mungkin juga membuat orang dewasa kesal. Jadi, tidak ada salahnya memberi senyum simpati atau sekadar mengalihkan perhatian. Karena pada akhirnya, anak-anak ini sedang belajar menghadapi dunia dewasa — yang sering kali tidak jauh lebih tertib dari taman bermain. (jawapos.com)