33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kompetisi Faktor Penting, Pengelolaan Kompetisi Harus Dipisah

Prestasi
timnas senior tengah disorot. Bukannya semakin baik setiap tahun, yang terjadi
malah sebaliknya. Kian jeblok. Padahal, di level usia muda, torehan Garuda Muda
cukup menjanjikan.

Berbagai catatan membanggakan ditorehkan timnas kelompok
umur (KU) Indonesia. Di antaranya, pada 2018, trofi juara diberikan timnas U-16
pada ajang AFF Cup U-16. Bahkan, tim asuhan Fakhri Husaini tersebut hampir saja
melangkah ke Piala Dunia U-17 di Peru. Kemudian, pada awal tahun ini, giliran
timnas U-22 yang memberikan gelar AFF Cup.

Lalu, kapan timnas senior akan membanggakan? Dalam satu
dekade ini, Indonesia mentok finis sebagai runner-up. Kali terakhir Indonesia
menyabet trofi pada 2008. Itu pun cuma trofi di ajang bertajuk Piala
Kemerdekaan. Padahal, prestasi timnas senior menjadi tolok ukur posisi
Indonesia di ranking FIFA.

Lantas, apa yang membuat prestasi timnas senior merosot?
Dalam diskusi PSSI Harus Baik Vol 2, Berubah atau Bubrah! Rabu lalu (23/10),
tiga calon ketua umum PSSI, yakni Vijaya Fitriyasa, Arif Putra Wicaksono, dan
Sarman El Hakim, mencoba membedah masalah tersebut.

Baca Juga :  Giliran Tammy, Jadon dan Ben yang Diusir dari Timnas Inggris

Kompetisi menjadi salah satu faktor penting. Jadwal
kompetisi pasti menjadi sorotan. Namun, itu hanya muaranya. Masalah utama
terletak pada pengelolaan. Saat ini, Liga 3 Nasional hingga Liga 1 dipegang PT
LIB. Imbasnya, seperti ada kesenjangan dan terkesan mengistimewakan Liga 1.

Namun, pengelolaan Liga 1 pun jauh dari kata sempurna.
Vijaya Fitriyasa mengungkapkan gagasannya untuk pembenahan pengelolaan
kompetisi di Indonesia. ”Menurut saya, pengelolaan kompetisi harus dipisah ya.
Antara Liga 1, 2, dan 3 Nasional. Sehingga tidak ada yang dianaktirikan. Bisa
fokus semua,” kata pria yang juga owner Persis Solo tersebut.

Gagasan lain dikemukakan calon ketua PSSI lainnya, Arif
Putra Wicaksono. Menurut dia, selain pengelola kompetisi, klub pun harus
berbenah. ”Di Indonesia ini masih banyak tim yang belum sesuai dengan standar
FIFA. Memang untuk negara di golongan ketiga ada kelonggaran. Namun, bukan
berarti harus selalu seperti itu,” jelas Arif.

”Jika secara finansial dan empat elemen lain yang sesuai
dengan standar FIFA bisa dipenuhi, pasti untuk menjalankan kompetisi pun akan
lebih baik,” imbuh CEO Nine Sport tersebut.

Baca Juga :  PT LIB Bicarakan Kontrak Baru dengan Sponsor

Selain itu, kualitas pelatih di Indonesia cukup
berpengaruh. Saat ini, di Indonesia, pelatih yang berlisensi A Pro baru 20-an.
Itu pun baru ada tahun ini. Jauh berbeda dengan di Spanyol yang mencapai 3.000
pelatih.

”Seharusnya PSSI bisa bekerja sama dengan pemerintah
untuk mendapatkan beasiswa sertifikasi bagi pelatih. Karena biaya kursus
kepelatihan kan nggak murah. Sebenarnya pemerintah punya program LPDP, itu bisa
digunakan,” beber Vijaya. ”Nantinya, mantan pemain timnas akan diseleksi. Yang
layak akan mendapat beasiswa itu. Setelah lulus, bisa disebar ke Liga 1, 2,
bahkan 3. Kalau nggak bisa di ketiganya, ditaruh di akademi. Jadi, kualitasnya
merata,” imbuhnya.

Di sisi lain, soal kualitas pelatih, Arif punya pandangan
lain. Arif lebih percaya sister club menjadi salah satu cara jitu untuk
meningkatkan kualitas pelatih di Indonesia. ”Ini berlaku untuk semua klub.
Jadi, setiap klub mengirimkan tactical director untuk mendampingi tim. Ini
berlaku levelnya harus dari tim muda sampai tim senior,” tegas Arif.(nia/ali)

Prestasi
timnas senior tengah disorot. Bukannya semakin baik setiap tahun, yang terjadi
malah sebaliknya. Kian jeblok. Padahal, di level usia muda, torehan Garuda Muda
cukup menjanjikan.

Berbagai catatan membanggakan ditorehkan timnas kelompok
umur (KU) Indonesia. Di antaranya, pada 2018, trofi juara diberikan timnas U-16
pada ajang AFF Cup U-16. Bahkan, tim asuhan Fakhri Husaini tersebut hampir saja
melangkah ke Piala Dunia U-17 di Peru. Kemudian, pada awal tahun ini, giliran
timnas U-22 yang memberikan gelar AFF Cup.

Lalu, kapan timnas senior akan membanggakan? Dalam satu
dekade ini, Indonesia mentok finis sebagai runner-up. Kali terakhir Indonesia
menyabet trofi pada 2008. Itu pun cuma trofi di ajang bertajuk Piala
Kemerdekaan. Padahal, prestasi timnas senior menjadi tolok ukur posisi
Indonesia di ranking FIFA.

Lantas, apa yang membuat prestasi timnas senior merosot?
Dalam diskusi PSSI Harus Baik Vol 2, Berubah atau Bubrah! Rabu lalu (23/10),
tiga calon ketua umum PSSI, yakni Vijaya Fitriyasa, Arif Putra Wicaksono, dan
Sarman El Hakim, mencoba membedah masalah tersebut.

Baca Juga :  Giliran Tammy, Jadon dan Ben yang Diusir dari Timnas Inggris

Kompetisi menjadi salah satu faktor penting. Jadwal
kompetisi pasti menjadi sorotan. Namun, itu hanya muaranya. Masalah utama
terletak pada pengelolaan. Saat ini, Liga 3 Nasional hingga Liga 1 dipegang PT
LIB. Imbasnya, seperti ada kesenjangan dan terkesan mengistimewakan Liga 1.

Namun, pengelolaan Liga 1 pun jauh dari kata sempurna.
Vijaya Fitriyasa mengungkapkan gagasannya untuk pembenahan pengelolaan
kompetisi di Indonesia. ”Menurut saya, pengelolaan kompetisi harus dipisah ya.
Antara Liga 1, 2, dan 3 Nasional. Sehingga tidak ada yang dianaktirikan. Bisa
fokus semua,” kata pria yang juga owner Persis Solo tersebut.

Gagasan lain dikemukakan calon ketua PSSI lainnya, Arif
Putra Wicaksono. Menurut dia, selain pengelola kompetisi, klub pun harus
berbenah. ”Di Indonesia ini masih banyak tim yang belum sesuai dengan standar
FIFA. Memang untuk negara di golongan ketiga ada kelonggaran. Namun, bukan
berarti harus selalu seperti itu,” jelas Arif.

”Jika secara finansial dan empat elemen lain yang sesuai
dengan standar FIFA bisa dipenuhi, pasti untuk menjalankan kompetisi pun akan
lebih baik,” imbuh CEO Nine Sport tersebut.

Baca Juga :  PT LIB Bicarakan Kontrak Baru dengan Sponsor

Selain itu, kualitas pelatih di Indonesia cukup
berpengaruh. Saat ini, di Indonesia, pelatih yang berlisensi A Pro baru 20-an.
Itu pun baru ada tahun ini. Jauh berbeda dengan di Spanyol yang mencapai 3.000
pelatih.

”Seharusnya PSSI bisa bekerja sama dengan pemerintah
untuk mendapatkan beasiswa sertifikasi bagi pelatih. Karena biaya kursus
kepelatihan kan nggak murah. Sebenarnya pemerintah punya program LPDP, itu bisa
digunakan,” beber Vijaya. ”Nantinya, mantan pemain timnas akan diseleksi. Yang
layak akan mendapat beasiswa itu. Setelah lulus, bisa disebar ke Liga 1, 2,
bahkan 3. Kalau nggak bisa di ketiganya, ditaruh di akademi. Jadi, kualitasnya
merata,” imbuhnya.

Di sisi lain, soal kualitas pelatih, Arif punya pandangan
lain. Arif lebih percaya sister club menjadi salah satu cara jitu untuk
meningkatkan kualitas pelatih di Indonesia. ”Ini berlaku untuk semua klub.
Jadi, setiap klub mengirimkan tactical director untuk mendampingi tim. Ini
berlaku levelnya harus dari tim muda sampai tim senior,” tegas Arif.(nia/ali)

Terpopuler

Artikel Terbaru