26.6 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Lombok Pertama

AKHIRNYA,
setelah sekitar setahun, saya naik pesawat lagi. Ya, ya, ya, ini bukan sesuatu
yang istimewa buat banyak orang. Tapi buat saya, ini benar-benar sesuatu. Hanya
beberapa tahun lalu, saya bisa terbang 75 kali dalam 90 hari. Pekan ini, saya
benar-benar baru kali pertama terbang setelah setahun! Sebelum ini, selama
pandemi, ke mana-mana selalu jalan darat.

Pekan ini, saya di Pulau Lombok. Saya benar-benar harus
ke sini. Ada beberapa urusan pekerjaan. Awalnya, sempat ingin memboyong seluruh
keluarga ke sini. Toh anak-anak sekolah daring. Dari mana saja bisa. Pada
akhirnya, setelah menimang-nimang, terbang hanya bersama istri.

Bahwa penerbangan pertama saya selama pandemi adalah ke
Lombok, membuat saya merasakan ada “sesuatu” antara saya dan pulau
ini. Dari dulu, saya terus terang lebih menyukai Lombok dari Bali. Bukan
apa-apa, kebetulan saya lebih menyukai tempat yang lebih tenang, tidak hectic.
Apalagi saya juga bukan tipe turis normal.

Dan kalau saya telusuri ke belakang, ada begitu banyak
hal “pertama” yang membuat saya seolah punya ikatan dengan Lombok.

Misalnya, saat mulai mengembangkan liga basket pelajar
DBL ke berbagai penjuru Indonesia. Kompetisi pelajar terbesar itu memang
dimulai di Surabaya, di Jawa Timur, pada 2004. Pengembangan penyebarannya baru
dimulai pada 2008. Tahun itu diselenggarakan di 11 kota di sepuluh provinsi,
sebelum kemudian terus tumbuh menuju 30 kota di Indonesia, dari Aceh sampai
Papua.

Pada 2008 itu, kota pertama penyebaran DBL di luar Jawa
Timur adalah Mataram, Lombok. Ada sejumlah alasan kenapa Lombok yang pertama.

Karena DBL itu sistemnya sangat unik untuk Indonesia
(banyak regulasi dan penerapannya tergolong kontroversial di awal), maka kami
tidak mau langsung membawa DBL ke kota besar lain. Potensi masalahnya bisa
besar. Bukan hanya masalah resistansi peserta, tapi juga kematangan tim kami
sebagai penyelenggara.

Baca Juga :  Sampaikan Kesiapan dan Minta Dukungan Menuju PON Papua

Timnya waktu itu sangat muda-muda. Tahan banting namun
mungkin masih belum cukup matang untuk menghadapi masalah-masalah. Khususnya
hal-hal lokal yang bersinggungan dengan birokrasi dan politik, dan itu sangat
bervariasi di berbagai kota di Indonesia.

Ya, walau event liga pelajar, semua di Indonesia ini
cenderung bersinggungan dengan dunia-dunia itu!

Karena itu, kami butuh tempat yang relatif kecil, relatif
tenang, namun memberi peluang untuk “ada kesan liburan.”
Penyelenggaraan DBL di Lombok pada 2008 adalah “training camp” untuk
seluruh kru penyelenggara DBL. Semua kumpul di Lombok. Begitu yang di Lombok
selesai, baru timnya berpencar dalam beberapa tim ke berbagai kota lain.

Penyelenggaraan perdana itu memang menunjukkan beberapa
potensi masalah yang bisa muncul, berkaitan dengan tradisi olahraga dan
birokrasi serta politik. Contoh paling sederhana: DBL tidak menyediakan sofa
untuk pejabat tinggi, dan itu tentu dipermasalahkan (kami cuek, he he he).

kolaborasi istimewa dengan partner penyelenggara, Lombok
Post, yang terjaga sampai sekarang. Tradisi basket SMA di Nusa Tenggara Barat
juga terus berkembang, tidak sekadar dikuasai sekolah-sekolah di Mataram.

Secara pribadi, penyelenggaraan DBL pertama di Lombok ini
juga menandai kelahiran anak pertama saya, Ayrton.

Saat DBL berlangsung Januari 2008 itu, istri saya memang
hamil sangat tua. Saat saya berangkat, anak saya belum juga lahir. Pada
akhirnya, pada 24 Januari 2008, saya kembali ke Surabaya. Ayrton Senninha
Ananda lahir. Pada 25 Januari pagi, saya sudah terbang lagi ke Mataram. Karena
sore tanggal 25 itu adalah pertandingan

Pada 2013, ada lagi yang “pertama” buat saya di
Lombok.

Baru sekitar setahun menekuni hobi sepeda, event
“gila” pertama saya ya di pulau ini. Sebuah event Audax 300 Km. Ya,
gowes 300 km dalam sehari. Start pukul 04.00 pagi, finis pukul 10.00 malam.
Praktis mengelilingi pulau, melewati sejumlah tanjakan. Menghadapi hujan dan
longsor, dan lain-lain.

Baca Juga :  Kabar Buruk dari Ibrahimovic

Besoknya saya muntah-muntah tidak karuan. Tapi kapoknya
kapok lombok. Karena setelah itu saya berkali-kali kembali ke Lombok, ikut
berbagai event serupa. Sampai hari ini, Lombok adalah salah satu tempat favorit
saya untuk gowes.

Dan pekan ini, saya memang bawa sepeda lagi. He he he…

Selasa pagi, saya sempat gowes santai dan makan pagi
bareng Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Kapolda NTB, Irjen Pol Mohammad.
Iqbal. Kebetulan beliau berdua punya hubungan panjang yang sangat baik dengan
keluarga kami.

Saya menyampaikan, bahwa saya sangat kagum dengan Lombok.
Bahwa pulau ini sangat ideal untuk sports tourism. Sangat pantas bila MotoGP di
sini, dan banyak event olahraga di sini. Tinggal bagaimana menjaga dan
memposisikan diri ke depan. Bagaimana bisa siap ketika pandemi berakhir dan
jutaan/miliaran orang sudah “lapar traveling dan bertualang” kembali
beredar ke mana-mana.

Sebagai seorang cyclist, saya tentu titip semoga
infrastruktur gowes tidak diabaikan. Di negara-negara maju, sekarang yang
diutamakan adalah infrastruktur untuk “active transportation” seperti
bersepeda.

Sementara di kota-kota besar Indonesia, pesepeda seolah
semakin dianaktirikan. Tolong jangan lihat “pesepeda-pesepeda produk
pandemi” yang menggunakan sepeda sebagai ajang gaya-gayaan atau pamer-pameran.
Tolong selalu ingat kalau ada banyak cyclist yang benar-benar bersepeda. Baik
untuk olahraga serius atau untuk bike to work. Yang gaya-gayaan itu gak akan
lama.

Untuk wisata sepeda (yang serius) ini, Lombok bisa jadi
andalan utama Indonesia. Italia boleh punya Dolomiti, Prancis boleh punya
Pyrenees dan Alps, serta Spanyol boleh punya Pulau Mallorca (Majorca), kita di
Indonesia punya Lombok!(Azrul Ananda)

AKHIRNYA,
setelah sekitar setahun, saya naik pesawat lagi. Ya, ya, ya, ini bukan sesuatu
yang istimewa buat banyak orang. Tapi buat saya, ini benar-benar sesuatu. Hanya
beberapa tahun lalu, saya bisa terbang 75 kali dalam 90 hari. Pekan ini, saya
benar-benar baru kali pertama terbang setelah setahun! Sebelum ini, selama
pandemi, ke mana-mana selalu jalan darat.

Pekan ini, saya di Pulau Lombok. Saya benar-benar harus
ke sini. Ada beberapa urusan pekerjaan. Awalnya, sempat ingin memboyong seluruh
keluarga ke sini. Toh anak-anak sekolah daring. Dari mana saja bisa. Pada
akhirnya, setelah menimang-nimang, terbang hanya bersama istri.

Bahwa penerbangan pertama saya selama pandemi adalah ke
Lombok, membuat saya merasakan ada “sesuatu” antara saya dan pulau
ini. Dari dulu, saya terus terang lebih menyukai Lombok dari Bali. Bukan
apa-apa, kebetulan saya lebih menyukai tempat yang lebih tenang, tidak hectic.
Apalagi saya juga bukan tipe turis normal.

Dan kalau saya telusuri ke belakang, ada begitu banyak
hal “pertama” yang membuat saya seolah punya ikatan dengan Lombok.

Misalnya, saat mulai mengembangkan liga basket pelajar
DBL ke berbagai penjuru Indonesia. Kompetisi pelajar terbesar itu memang
dimulai di Surabaya, di Jawa Timur, pada 2004. Pengembangan penyebarannya baru
dimulai pada 2008. Tahun itu diselenggarakan di 11 kota di sepuluh provinsi,
sebelum kemudian terus tumbuh menuju 30 kota di Indonesia, dari Aceh sampai
Papua.

Pada 2008 itu, kota pertama penyebaran DBL di luar Jawa
Timur adalah Mataram, Lombok. Ada sejumlah alasan kenapa Lombok yang pertama.

Karena DBL itu sistemnya sangat unik untuk Indonesia
(banyak regulasi dan penerapannya tergolong kontroversial di awal), maka kami
tidak mau langsung membawa DBL ke kota besar lain. Potensi masalahnya bisa
besar. Bukan hanya masalah resistansi peserta, tapi juga kematangan tim kami
sebagai penyelenggara.

Baca Juga :  Sampaikan Kesiapan dan Minta Dukungan Menuju PON Papua

Timnya waktu itu sangat muda-muda. Tahan banting namun
mungkin masih belum cukup matang untuk menghadapi masalah-masalah. Khususnya
hal-hal lokal yang bersinggungan dengan birokrasi dan politik, dan itu sangat
bervariasi di berbagai kota di Indonesia.

Ya, walau event liga pelajar, semua di Indonesia ini
cenderung bersinggungan dengan dunia-dunia itu!

Karena itu, kami butuh tempat yang relatif kecil, relatif
tenang, namun memberi peluang untuk “ada kesan liburan.”
Penyelenggaraan DBL di Lombok pada 2008 adalah “training camp” untuk
seluruh kru penyelenggara DBL. Semua kumpul di Lombok. Begitu yang di Lombok
selesai, baru timnya berpencar dalam beberapa tim ke berbagai kota lain.

Penyelenggaraan perdana itu memang menunjukkan beberapa
potensi masalah yang bisa muncul, berkaitan dengan tradisi olahraga dan
birokrasi serta politik. Contoh paling sederhana: DBL tidak menyediakan sofa
untuk pejabat tinggi, dan itu tentu dipermasalahkan (kami cuek, he he he).

kolaborasi istimewa dengan partner penyelenggara, Lombok
Post, yang terjaga sampai sekarang. Tradisi basket SMA di Nusa Tenggara Barat
juga terus berkembang, tidak sekadar dikuasai sekolah-sekolah di Mataram.

Secara pribadi, penyelenggaraan DBL pertama di Lombok ini
juga menandai kelahiran anak pertama saya, Ayrton.

Saat DBL berlangsung Januari 2008 itu, istri saya memang
hamil sangat tua. Saat saya berangkat, anak saya belum juga lahir. Pada
akhirnya, pada 24 Januari 2008, saya kembali ke Surabaya. Ayrton Senninha
Ananda lahir. Pada 25 Januari pagi, saya sudah terbang lagi ke Mataram. Karena
sore tanggal 25 itu adalah pertandingan

Pada 2013, ada lagi yang “pertama” buat saya di
Lombok.

Baru sekitar setahun menekuni hobi sepeda, event
“gila” pertama saya ya di pulau ini. Sebuah event Audax 300 Km. Ya,
gowes 300 km dalam sehari. Start pukul 04.00 pagi, finis pukul 10.00 malam.
Praktis mengelilingi pulau, melewati sejumlah tanjakan. Menghadapi hujan dan
longsor, dan lain-lain.

Baca Juga :  Kabar Buruk dari Ibrahimovic

Besoknya saya muntah-muntah tidak karuan. Tapi kapoknya
kapok lombok. Karena setelah itu saya berkali-kali kembali ke Lombok, ikut
berbagai event serupa. Sampai hari ini, Lombok adalah salah satu tempat favorit
saya untuk gowes.

Dan pekan ini, saya memang bawa sepeda lagi. He he he…

Selasa pagi, saya sempat gowes santai dan makan pagi
bareng Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Kapolda NTB, Irjen Pol Mohammad.
Iqbal. Kebetulan beliau berdua punya hubungan panjang yang sangat baik dengan
keluarga kami.

Saya menyampaikan, bahwa saya sangat kagum dengan Lombok.
Bahwa pulau ini sangat ideal untuk sports tourism. Sangat pantas bila MotoGP di
sini, dan banyak event olahraga di sini. Tinggal bagaimana menjaga dan
memposisikan diri ke depan. Bagaimana bisa siap ketika pandemi berakhir dan
jutaan/miliaran orang sudah “lapar traveling dan bertualang” kembali
beredar ke mana-mana.

Sebagai seorang cyclist, saya tentu titip semoga
infrastruktur gowes tidak diabaikan. Di negara-negara maju, sekarang yang
diutamakan adalah infrastruktur untuk “active transportation” seperti
bersepeda.

Sementara di kota-kota besar Indonesia, pesepeda seolah
semakin dianaktirikan. Tolong jangan lihat “pesepeda-pesepeda produk
pandemi” yang menggunakan sepeda sebagai ajang gaya-gayaan atau pamer-pameran.
Tolong selalu ingat kalau ada banyak cyclist yang benar-benar bersepeda. Baik
untuk olahraga serius atau untuk bike to work. Yang gaya-gayaan itu gak akan
lama.

Untuk wisata sepeda (yang serius) ini, Lombok bisa jadi
andalan utama Indonesia. Italia boleh punya Dolomiti, Prancis boleh punya
Pyrenees dan Alps, serta Spanyol boleh punya Pulau Mallorca (Majorca), kita di
Indonesia punya Lombok!(Azrul Ananda)

Terpopuler

Artikel Terbaru