26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ketika Bawaslu Memiliki Tangan hingga Tempat Pemungutan Suara

Tingkat kepatuhan
peserta pada Pemilu 2019, rupanya, belum membaik. Yang terjadi, pelanggaran
sepanjang pelaksanaan Pemilu 2019 meningkat pesat jika dibandingkan dengan pada
Pemilu 2014. Meski demikian, Bawaslu mengklaim ada peningkatan pengawasan yang
signifikan atas pelanggaran yang terjadi.

Anggota
Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan, jumlah pelanggaran yang tercatat di
Bawaslu pada pemilu kali ini mencapai 15.052. Berdasar data yang didapat Jawa
Pos, jumlah pelanggaran tersebut naik lebih dari 50 persen dari total
pelanggaran Pileg-Pilpres 2014. Kala itu, total pelanggaran yang tercatat di
Bawaslu ”hanya” 9.597

Tahun ini
temuan pelanggaran paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Timur. Tercatat
3.002 temuan pelanggaran atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pelanggaran
pemilu se-Indonesia. Pelanggaran juga terjadi di sejumlah provinsi lain. Di
antaranya, Sulsel, Sulteng, Jabar, dan Jateng.

Menurut
Ratna, sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaan aturan terkait jenis
pelanggaran pemilu antara 2014 dan 2019. Pelanggaran administrasi pemilu masih
menjadi jenis pelanggaran yang paling sering dilakukan. Mayoritas adalah
pelanggaran pada masa kampanye. ”Soal pemasangan alat peraga kampanye (APK),”
terangnya saat dimintai konfirmasi Jawa Pos kemarin (23/6).

Baca Juga :  Ustaz Alghifari: Terima Kasih NasDem

Sementara
itu, jumlah pelanggaran pidana relatif kecil bila dibandingkan dengan
keseluruhan pelanggaran yang terjadi. ”Untuk pidana pemilu, dari 15.052 itu,
533 adalah pelanggaran pidana pemilu,” lanjut perempuan kelahiran Palu,
Sulteng, itu. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya pelanggaran
administrasi yang terjadi.

Dia tidak
memungkiri keserentakan pemilu turut andil dalam banyaknya pelanggaran. Baik
oleh timses paslon presiden dan wakil presiden maupun parpol. Pelangggaran
tidak hanya terjadi saat kampanye dan tahapan lain sebelum pemungutan suara.
Saat pemungutan suara maupun setelah itu, saat rekapitulasi, masih ada sejumlah
pelanggaran yang terjadi.

Hingga saat
ini, pihaknya belum meneliti lebih jauh apa yang menyebabkan tingkat
pelanggaran begitu tinggi. Meski demikian, menurut Ratna, setidaknya ada dua
hal yang membuat catatan pelanggaran begitu tinggi. Pertama adalah pengawasan
yang semakin ketat sehingga lebih banyak pelanggaran yang terpantau dan
dilaporkan. Yang kedua adalah masih adanya peserta pemilu yang bebal.

Baca Juga :  Rizky R. Badjuri Direstui Mantan Wakil Bupati

Pada pemilu kali ini,
Bawaslu memiliki tangan sampai TPS melalui pengawas TPS. Sesuatu yang tidak ada
pada Pemilu 2014 karena pengawasannya hanya sampai tingkat kelurahan/desa. Saat
ini pelanggaran di TPS-TPS lebih bisa dipantau dan dicatat Bawaslu dan menjadi
temuan.

Dari sisi peserta, menurut Ratna, tingkat kepatuhannya masih
belum seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran, sudah banyak kasus politik
uang yang diproses, bahkan hingga berujung diskualifikasi peserta. ”Tapi, masih
ada saja pelanggaran baru, terulang dengan peristiwa yang sama,” keluh Ratna.
Kondisi tersebut menjadi sebuah gambaran bahwa kesadaran hukum peserta pemilu
harus terus ditingkatkan.

Di sisi lain, Ratna mengakui, masih ada celah hukum yang
memungkinkan bagi peserta untuk mencoba-coba menerobos. Namun, kadang peserta
tidak mengira bahwa celah hukum tersebut bisa ditindaklanjuti Bawaslu.
Akhirnya, kelakuan mereka, mau tidak mau, dicatat dan diproses oleh Bawaslu.(jpc)

Tingkat kepatuhan
peserta pada Pemilu 2019, rupanya, belum membaik. Yang terjadi, pelanggaran
sepanjang pelaksanaan Pemilu 2019 meningkat pesat jika dibandingkan dengan pada
Pemilu 2014. Meski demikian, Bawaslu mengklaim ada peningkatan pengawasan yang
signifikan atas pelanggaran yang terjadi.

Anggota
Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan, jumlah pelanggaran yang tercatat di
Bawaslu pada pemilu kali ini mencapai 15.052. Berdasar data yang didapat Jawa
Pos, jumlah pelanggaran tersebut naik lebih dari 50 persen dari total
pelanggaran Pileg-Pilpres 2014. Kala itu, total pelanggaran yang tercatat di
Bawaslu ”hanya” 9.597

Tahun ini
temuan pelanggaran paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Timur. Tercatat
3.002 temuan pelanggaran atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pelanggaran
pemilu se-Indonesia. Pelanggaran juga terjadi di sejumlah provinsi lain. Di
antaranya, Sulsel, Sulteng, Jabar, dan Jateng.

Menurut
Ratna, sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaan aturan terkait jenis
pelanggaran pemilu antara 2014 dan 2019. Pelanggaran administrasi pemilu masih
menjadi jenis pelanggaran yang paling sering dilakukan. Mayoritas adalah
pelanggaran pada masa kampanye. ”Soal pemasangan alat peraga kampanye (APK),”
terangnya saat dimintai konfirmasi Jawa Pos kemarin (23/6).

Baca Juga :  Ustaz Alghifari: Terima Kasih NasDem

Sementara
itu, jumlah pelanggaran pidana relatif kecil bila dibandingkan dengan
keseluruhan pelanggaran yang terjadi. ”Untuk pidana pemilu, dari 15.052 itu,
533 adalah pelanggaran pidana pemilu,” lanjut perempuan kelahiran Palu,
Sulteng, itu. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya pelanggaran
administrasi yang terjadi.

Dia tidak
memungkiri keserentakan pemilu turut andil dalam banyaknya pelanggaran. Baik
oleh timses paslon presiden dan wakil presiden maupun parpol. Pelangggaran
tidak hanya terjadi saat kampanye dan tahapan lain sebelum pemungutan suara.
Saat pemungutan suara maupun setelah itu, saat rekapitulasi, masih ada sejumlah
pelanggaran yang terjadi.

Hingga saat
ini, pihaknya belum meneliti lebih jauh apa yang menyebabkan tingkat
pelanggaran begitu tinggi. Meski demikian, menurut Ratna, setidaknya ada dua
hal yang membuat catatan pelanggaran begitu tinggi. Pertama adalah pengawasan
yang semakin ketat sehingga lebih banyak pelanggaran yang terpantau dan
dilaporkan. Yang kedua adalah masih adanya peserta pemilu yang bebal.

Baca Juga :  Rizky R. Badjuri Direstui Mantan Wakil Bupati

Pada pemilu kali ini,
Bawaslu memiliki tangan sampai TPS melalui pengawas TPS. Sesuatu yang tidak ada
pada Pemilu 2014 karena pengawasannya hanya sampai tingkat kelurahan/desa. Saat
ini pelanggaran di TPS-TPS lebih bisa dipantau dan dicatat Bawaslu dan menjadi
temuan.

Dari sisi peserta, menurut Ratna, tingkat kepatuhannya masih
belum seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran, sudah banyak kasus politik
uang yang diproses, bahkan hingga berujung diskualifikasi peserta. ”Tapi, masih
ada saja pelanggaran baru, terulang dengan peristiwa yang sama,” keluh Ratna.
Kondisi tersebut menjadi sebuah gambaran bahwa kesadaran hukum peserta pemilu
harus terus ditingkatkan.

Di sisi lain, Ratna mengakui, masih ada celah hukum yang
memungkinkan bagi peserta untuk mencoba-coba menerobos. Namun, kadang peserta
tidak mengira bahwa celah hukum tersebut bisa ditindaklanjuti Bawaslu.
Akhirnya, kelakuan mereka, mau tidak mau, dicatat dan diproses oleh Bawaslu.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru