JAKARTA – Presiden Joko Widodo disebut-sebut tidak mau
menandatangani UU KPK hasil revisi. Tidak diketahui pasti apa alasan Jokowi
tidak meneken UU yang disahkan DPR pada 17 September lalu itu. Meski begitu,
sesuai aturan UU KPK tersebut tetap berlaku sah dan mengikat.
“Soal UU KPK hasil revisi, kabar
yang saya dengar Presiden tidak menandatangani UU tersebut. Namun, saya belum
mengkonfirmasikan kepada Plt Menkum HAM,†kata mantan anggota Panja Revisi UU
KPK, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/10).
Namun, lanjut Arsul, hal itu
tidak masalah. Sebab, diteken atau tidak UU KPK baru itu tetap berlaku efektif.
“Otomatis berlaku dan sah secara hukum,†imbuhnya.
Hal itu sesuai dengan Pasal 20
ayat 5 UUD 1945, yaitu: Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Pasal 20 ayat 5
tersebut dikuatkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan
Perundangan.
Terkait hal itu, Kepala Staf
Kepresidenan (KSP) Moeldoko meminta semua pihak bersabar menunggu. Menurutnya,
Perppu adalah kewenangan presiden. “Itu kan kewenangan presiden ya. Jadi kalau
tanya sama saya, tentu saya belum tahu. Yang tahu presiden,†ujar mantan
Panglima TNI ini.
Seperti diketahui, UU KPK hasil
revisi mulai berlaku sejak Kamis (17/10) kemarin. Jokowi sendiri belum
menunjukkan tanda-tanda bakal Perppu. Merespons hal tersebut, Badan Eksekutif
Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi demonstrasi di Patung Kuda,
Jakarta Pusat. Mahasiswa mendesak Jokowi segera mengeluarkan Perppu KPK.
“Mendesak presiden segera mengeluarkan Perppu KPK dan mengembalikan pada
Undang-Undang KPK sebelumnya,†tegas koordinator lapangan aksi sekaligus Ketua
BEM UNJ, Muhammad Abdul Basit (Abbas).
KPK sendiri sebagai pelaksana UU
menyerahkan keputusan kepada Jokowi. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan
semua tergantung kepada Presiden. “Misalnya terbitkan Perppu atau ada cara
lain. Itu semua terserah Presiden yang harus kami hormati,†jelas Febri.
Terpisah, peneliti ICW (Indonesia
Corruption Watch) Kurnia Ramadhana, meminta partai politik tidak mengintervensi
Jokowi dalam menerbitkan Perppu. Sebab, Perppu adalah kewenangan prerogatif
Presiden dan konstitusional. “Toh, nanti juga akan ada uji objektivitas di DPR
terkait Perppu tersebut,†kata Kurnia di Jakarta, Kamis (17/10).
Menurutnya, Presiden berkali-kali
menegaskan dukungannya kepada KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Namun,
sampai saat ini tidak juga menerbitkan Perppu. Padahal, lanjutnya, seluruh
syarat penerbitan Perppu telah terpenuhi. Mulai dari kebutuhan mendesak karena
pemberantasan korupsi akan terganggu, kekosongan hukum, sampai pada perubahan
UU baru yang membutuhkan waktu lama (putusan MK tahun 2009, Red).
“Penerbitan Perppu tersebut
menjadi pembuktian janji Presiden akan memperkuat KPK dan menjamin keberpihakan
pada pemberantasan korupsi. Sekarang saatnya membuktikan kepada masyarakat
menyelamatkan KPK dengan menerbitkan Perppu sesegera mungkin,†papar Kurnia. (rh/fin)