PALANGKA RAYA-Pemilihan kepala daerah (pilkada)
Kalteng tetap dilaksanakan tahun ini. Sudah banyak nama yang berseliweran dan
berpotensi mencalonkan diri. Sayangnya, hingga kemarin, partai yang memiliki
kursi di DPRD Kalteng masih enggan membeberkan secara pasti arah rekomendasi
partai politik (parpol).
Kondisi ini dinilai karena banyak pertimbangan.
Meski demikian, langkah ini dinilai ibarat dua sisi pisau. Bisa berdampak positif
dan negatif ke parpol.
Pengamat sekaligus praktisi pemerintahan dan
politik di Kalteng, Jhon Retei Alfri Sandi mengatakan, parpol saat ini sedang
menerapkan strategi wait and see. Mengingat sesuai Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020, pendaftaran pasangan calon (paslon)
dilaksanakan 4-6 September.
Menurut dia, parpol yang punya suara signifikan
di DPRD Kalteng, masih punya waktu dua bulan lebih untuk menerapkan strategi
itu. Sayangnya, lanjut dia, ini ada keuntungan dan kerugiannya bagi parpol.
“Satu sisi baik karena strategi tidak terbaca
kontestan lain, dan dapat membuat ancang-ancang komposisi paslon. Sisi lain,
keterlambatan akan mempersempit waktu sosialisasi jika paslon yang dimunculkan
kurang populer,†katanya ketika diwawancarai Kalteng Pos (Grup Kaltengpos.co) via
WhatsApp, Senin (15/6).
Ketika ditanya terkait kemungkinan parpol takut
menghadapi petahana, Jhon menjawab, hal itu bisa saja terjadi. Namun, tambah
dia, bisa juga jadi bagian dari strategi partai. “Tetapi yang pasti
partai-partai peraih suara signifikan memperhitungkan keberadaan majunya
petahana,†lanjutnya.
Pria berkacamata ini menerangkan, lazimnya pada
banyak kasus, bila kekuatan petahana dinilai kurang kukuh, para calon kandidat
lain berlomba dari awal mendeklarasikan bacalonnya, meskipun masa pendaftaran
belum dibuka. Menurut dia, yang terjadi di Kalteng merupakan fenomena yang
cukup menarik. Masih belum terfokusnya arah rekomendasi, kata pria yang juga
akademisi di Universitas Palangka Raya ini, bisa jadi karena parpol tingkat
pusat masih belum berkehendak.
“Pengusungan bacalon parpol, bukan berada di
tangan pengurus daerah, tetapi di tangan pengurus pusat. Lambatnya rekomendasi setiap
partai dapat terjadi karena pusat belum berkehendak,†ungkapnya.
Kondisi bisa diperparah apabila kandidat kurang
proaktif berkomunikasi politik ke parpol tingkat pusat yang punya kewenangan
rekomendasi. Menurut dia, bisa jadi kandidat lain juga mempertimbangkan
kekuatan dan peluang petahana serta politic cost yang besar bila dibandingkan
dengan masa jabatan yang bakal singkat apabila pilkada serentak digelar pada
2024.