26.1 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Ingin Tinjau Ulang Pilkada Langsung, Mendagri: Apa Bener Ingin Mengabd

JAKARTA – Meski tingkat partisipasinya tinggi,
namun dampak dari sistem pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dinilai
negatif lantaran biaya politik yang sangat tinggi. Untuk itu Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mewacanakan untuk meninjaunya.

“Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik Pilkada ini masih relevan
setelah 20 tahun. Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat
mudharatnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala Daerah kalau nggak punya Rp
30 Miliar mau jadi bupati mana berani dia. Udah mahar politik,” kata Tito, Rabu
(6/11).

Sebagai Mendagri, Tito meminta agar sistem Pilkada langsung ini dikaji
ulang.

“Survei. Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif
dan positif pemilihan Pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi
bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi,” ujar Tito.

Sebagai mantan Kapolri, dia mengaku prihatin dengan banyaknya Kepala Daerah
yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Lembaga antirasuah. Purnawirawan
jenderal bintang empat ini tidak percaya jika kemudian jargon setiap Kepala
Daerah pada saat kampanye ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa.

Baca Juga :  Ingin Maju di Pilgub dan Pilbup, Mau Pakai Perahu PDIP? Silakan Mendaf

“Bayangin dia mau jadi kepala daerah mau jadi Bupati itu Rp 30 sampai Rp 50
miliar. Gaji Rp 100 juta taruhlah 200 juta kali 12 itu Rp 2,4 miliar kali lima
tahun itu hanya Rp 12 miliar, yang keluar Rp 30 miliar rugi nggak? Apa bener
saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa trus rugi? Saya ndak percaya,” ujar
Tito.

Pernyataan Tito Karnavian yang menilai perlu adanya evaluasi terhadap pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung itu mendapat tanggapan Pimpinan MPR.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebutkan usulan tersebut perlu dilanjutkan
untuk dikaji oleh berbagai pihak yang paham soal Pilkada.

“Saya kira pandangan itu yang harus dikaji untuk sama-sama mencari solusi
terbaik agar prinsip negara demokrasi tetap berjalan tetapi demokrasi itu,
bukan cuma sekedar proses tapi juga output,” ujar Basarah di Gedung Nusantara
III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (8/11).

Baca Juga :  Makin Mesra, Prabowo Akan Undang Megawati di Rakernas Gerindra

Dia mempersilakan kepada partai politik dan masyarakat untuk memberikan
pandangan soal usulan Tito tersebut. Begitu juga kalangan akademisi yang sangat
dinanti masukannya.

“Apakah melalui sistem perwakilan di DPRD atau secara langsung seperti ini
atau bersifat selektif,” ungkapnya.

Usulan Tito, sambung politisi PDIP itu memang sepatutnya disambut baik.
Sebagai menteri baru, Tito bisa langsung beradaptasi dan mengeluarkan sikap
politik.

Walaupun, usulan pilkada tidak langsung sebelumnya juga pernah muncul dan
juga pernah disetujui oleh pemerintah serta DPR pada masa pemerintahan periode
kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi akhirnya dibatalkan lewat Perppu.

“Dinamika politik itu suatu yang dinamis, dimana bisa saja tesis pada
demokrasi hari ini bisa menjadi antitesis. Oleh karena itu bagaimana bisa
mencari sintesis yang baik ini saya kira perlu respon dan tanggapan serta
diskursus oleh seluruh pihak bukan hanya dari Kemendagri maupun DPR, tapi juga
seluruh masyarakat luas,” pungkas Basarah.

(sta/rmol/pojoksatu/kpc)

JAKARTA – Meski tingkat partisipasinya tinggi,
namun dampak dari sistem pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dinilai
negatif lantaran biaya politik yang sangat tinggi. Untuk itu Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mewacanakan untuk meninjaunya.

“Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik Pilkada ini masih relevan
setelah 20 tahun. Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat
mudharatnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala Daerah kalau nggak punya Rp
30 Miliar mau jadi bupati mana berani dia. Udah mahar politik,” kata Tito, Rabu
(6/11).

Sebagai Mendagri, Tito meminta agar sistem Pilkada langsung ini dikaji
ulang.

“Survei. Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif
dan positif pemilihan Pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi
bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi,” ujar Tito.

Sebagai mantan Kapolri, dia mengaku prihatin dengan banyaknya Kepala Daerah
yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Lembaga antirasuah. Purnawirawan
jenderal bintang empat ini tidak percaya jika kemudian jargon setiap Kepala
Daerah pada saat kampanye ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa.

Baca Juga :  Ingin Maju di Pilgub dan Pilbup, Mau Pakai Perahu PDIP? Silakan Mendaf

“Bayangin dia mau jadi kepala daerah mau jadi Bupati itu Rp 30 sampai Rp 50
miliar. Gaji Rp 100 juta taruhlah 200 juta kali 12 itu Rp 2,4 miliar kali lima
tahun itu hanya Rp 12 miliar, yang keluar Rp 30 miliar rugi nggak? Apa bener
saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa trus rugi? Saya ndak percaya,” ujar
Tito.

Pernyataan Tito Karnavian yang menilai perlu adanya evaluasi terhadap pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung itu mendapat tanggapan Pimpinan MPR.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebutkan usulan tersebut perlu dilanjutkan
untuk dikaji oleh berbagai pihak yang paham soal Pilkada.

“Saya kira pandangan itu yang harus dikaji untuk sama-sama mencari solusi
terbaik agar prinsip negara demokrasi tetap berjalan tetapi demokrasi itu,
bukan cuma sekedar proses tapi juga output,” ujar Basarah di Gedung Nusantara
III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (8/11).

Baca Juga :  Makin Mesra, Prabowo Akan Undang Megawati di Rakernas Gerindra

Dia mempersilakan kepada partai politik dan masyarakat untuk memberikan
pandangan soal usulan Tito tersebut. Begitu juga kalangan akademisi yang sangat
dinanti masukannya.

“Apakah melalui sistem perwakilan di DPRD atau secara langsung seperti ini
atau bersifat selektif,” ungkapnya.

Usulan Tito, sambung politisi PDIP itu memang sepatutnya disambut baik.
Sebagai menteri baru, Tito bisa langsung beradaptasi dan mengeluarkan sikap
politik.

Walaupun, usulan pilkada tidak langsung sebelumnya juga pernah muncul dan
juga pernah disetujui oleh pemerintah serta DPR pada masa pemerintahan periode
kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi akhirnya dibatalkan lewat Perppu.

“Dinamika politik itu suatu yang dinamis, dimana bisa saja tesis pada
demokrasi hari ini bisa menjadi antitesis. Oleh karena itu bagaimana bisa
mencari sintesis yang baik ini saya kira perlu respon dan tanggapan serta
diskursus oleh seluruh pihak bukan hanya dari Kemendagri maupun DPR, tapi juga
seluruh masyarakat luas,” pungkas Basarah.

(sta/rmol/pojoksatu/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru