26.6 C
Jakarta
Wednesday, April 24, 2024

Jokowi Harus Atasi Hambatan Politis dalam Penerbitan Perppu KPK

Desakan masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan
Perppu KPK semakin gencar. Namun, sejak parpol-parpol kompak menolak, hingga
kemarin belum jelas apakah perppu jadi diterbitkan atau tidak.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa kondisi saat
ini sudah memenuhi status mendesak untuk dikeluarkannya perppu.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga aktif di Koalisi
Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai, rangkaian aksi publik beberapa waktu
belakangan sudah cukup menjadi modal bagi presiden untuk mengeluarkan perppu.
”Perppu itu hak prerogatif presiden sehingga seharusnya presiden tidak perlu
dipusingkan berbagai faktor politis,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (2/10).

ICW, lanjut Kurnia, konsisten menolak seluruh pasal dalam revisi
UU KPK. Dia membenarkan bahwa memang ada dua opsi yang bisa dipilih. Selain
mendesak perppu, judicial review (JR) bisa ditempuh.

Namun, proses judicial review sangat lama. Selama menunggu, UU
bermasalah itu bakal berlaku. Tanpa ditandatangani presiden pun, UU tersebut
akan berlaku dan diundangkan pada 17 Oktober mendatang. Kerja pemberantasan
korupsi pun otomatis terganggu.

Kurnia menambahkan, jika konsisten dengan janji memperkuat
pemberantasan korupsi, presiden harus bisa mengatasi hambatan politis tersebut.
”Presiden bisa panggil Ketum parpol atau ketua fraksi di DPR, lalu menjelaskan
bagaimana posisi presiden dalam hukum,” tegasnya.

Sementara itu, KPK memilih untuk tidak berfokus pada perdebatan
soal perppu atau judicial review. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan,
masalah perppu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Saat ini KPK lebih
berfokus pada upaya mengantisipasi berbagai dampak akibat pemberlakuan UU KPK
yang baru.

Tim kajian internal KPK memetakan, setidaknya ada 26 poin
pelemahan yang bakal terjadi setelah UU berlaku. ”Kami memerinci kira-kira apa
yang bisa kami lakukan untuk meminimalisasi risiko pelemahan KPK. Meskipun ada
wacana perppu dan JR, kami tetap harus melakukan antisipasi itu,” ungkap Febri
di Gedung Merah Putih KPK kemarin.

Suara berbeda muncul dari parpol. Ketua Umum Partai Nasdem Surya
Paloh menegaskan bahwa perppu belum saatnya dikeluarkan presiden. Sebab,
masalah itu masuk ranah persengketaan di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Ya salah
juga kalau mengeluarkan perppu,” katanya saat ditemui setelah rapat paripurna
MPR di kompleks parlemen, Senayan, kemarin.

Baca Juga :  Pimpinan DPRD Kalteng Perkuat Sinergitas Demi Pembangunan Kalteng

Dia menuturkan, presiden bersama seluruh partai pengusung
mempunyai satu bahasa yang sama. Yaitu, tidak mengeluarkan perppu. Sebab,
persoalan itu sudah masuk ranah hukum. Memang, sebelumnya para mahasiswa
menuntut dikeluarkannya perppu saat unjuk rasa. Menurut Paloh, mungkin mereka
tidak mengetahui bahwa masalah tersebut sudah masuk proses di MK (Mahkamah
Konstitusi).

Karena ketidaktahuan itu, mereka pun memaksa presiden
mengeluarkan perppu. Paloh menilai, kasus itu sudah dipolitisasi. Jika perppu
dikeluarkan, bisa-bisa presiden di-impeach. ”Salah-salah lho. Ini harus
ditanyakan ke ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada
pemikiran-pemikiran baru,” tuturnya.

Politikus yang juga pengusaha itu menyatakan, yang penting
sekarang adalah menggunakan energi untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan
yang begitu kompleks. Stabilitas negara harus terus dijaga karena implikasinya
sangat luas.

Namun, tutur dia, jika masalah stabilitas dan implikasinya
diabaikan, ekonomi akan rusak. Investasi pun tidak bisa diharapkan. ”Bukan kami
meremehkan atau tidak mendengar suara-suara dan aspirasi masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, pihak istana masih bungkam mengenai kejelasan
nasib Perppu KPK. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan, soal jadi atau
tidaknya Perppu KPK dikeluarkan, hanya presiden yang mengetahui. ”Yang jelas,
urusan ini hanya bapak presiden yang tahu dan tidak perlu dimultitafsirkan,”
ujarnya.

Saat didesak soal seberapa jauh pembahasannya, politikus PDIP
itu kembali bungkam dan menyatakan menyerahkannya kepada presiden.

Sikap yang sama disampaikan Presiden Joko Widodo. Saat dimintai
konfirmasi di sela-sela peringatan Hari Batik Nasional di Solo, dia enggan
menanggapi pertanyaan soal perppu. ”Ini (acara) soal batik, kok (tanya)
perppu,” katanya.

Ketidakjelasan perppu tersebut sejatinya bertentangan dengan
pernyataan Jokowi saat bertemu tokoh-tokoh nasional di Istana Merdeka, Jakarta,
Kamis lalu (26/9). Saat itu Jokowi menjanjikan akan secepatnya melakukan
kajian.

Baca Juga :  Bawaslu Putuskan KPU Langgar Prosedur Input Data Situng

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengomentari desakan publik
supaya presiden menerbitkan Perppu KPK. Dia tidak ingin mengomentari urusan perppu
itu. Hanya, JK menyinggung soal posisi dewan pengawas dan komisioner KPK yang
perlu diperjelas.

Selama ini, dewan pengawas KPK menjadi sorotan publik. Sebab,
untuk melakukan penyadapan, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas.
”(Keberadaan, Red) pengawas ini juga perlu perbaikan-perbaikan prosedur
internal. Tidak seperti itu juga,” ungkapnya.

JK menegaskan, kedudukan dewan pengawas dan komisioner KPK harus
diperjelas. Saat ini, dia menilai, dalam UU KPK yang baru, kedudukan keduanya
seakan sama. Atau, bahkan dewan pengawas lebih tinggi.

Pria asal Makassar itu menyatakan, pemerintah tetap ingin
menjalankan upaya antikorupsi melalui KPK. Di sisi lain, pemerintah menjaga
aparat negara dan pemerintah. Tujuannya, aparatur negara dan pemerintah tetap
berhati-hati sekaligus berani dalam mengambil kebijakan atau tindakan.

”Sekarang ini dengan situasi seperti ini, mungkin tak melihat
bahwa kantor-kantor pemerintah takut luar biasa,” ungkapnya. Menurut dia, jika
tidak ada yang berani mengambil keputusan, keberlangsungan negara ini tidak
akan lancar.

Untuk itu, dia menegaskan, dua tujuan tersebut harus berjalan
bersama. Yakni, pemberantasan korupsi serta jalannya pemerintahan yang
hati-hati dan cepat. Menurut JK, pejabat pemerintah juga harus berani
bertindak. Dia mengungkapkan, saat ini hampir tidak ada keberhasilan akibat
ketakutan-ketakutan itu.

Dia juga meminta masyarakat bisa menahan diri. Apalagi saat ini
gugatan UU KPK sudah berjalan di MK. Dia berharap publik menunggu putusan MK.
Revisi UU KPK, kata dia, sejatinya tidak tergesa-gesa. ”Jangan lupa, itu kan
dibicarakan DPR sejak 2015. Tapi, kan ditunda,” katanya.

Tiga poin kekhawatiran masyarakat mengenai revisi UU KPK itu
adalah keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, dan surat perintah
penghentian perkara (SP3).(jpg)

 

Desakan masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan
Perppu KPK semakin gencar. Namun, sejak parpol-parpol kompak menolak, hingga
kemarin belum jelas apakah perppu jadi diterbitkan atau tidak.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa kondisi saat
ini sudah memenuhi status mendesak untuk dikeluarkannya perppu.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga aktif di Koalisi
Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai, rangkaian aksi publik beberapa waktu
belakangan sudah cukup menjadi modal bagi presiden untuk mengeluarkan perppu.
”Perppu itu hak prerogatif presiden sehingga seharusnya presiden tidak perlu
dipusingkan berbagai faktor politis,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (2/10).

ICW, lanjut Kurnia, konsisten menolak seluruh pasal dalam revisi
UU KPK. Dia membenarkan bahwa memang ada dua opsi yang bisa dipilih. Selain
mendesak perppu, judicial review (JR) bisa ditempuh.

Namun, proses judicial review sangat lama. Selama menunggu, UU
bermasalah itu bakal berlaku. Tanpa ditandatangani presiden pun, UU tersebut
akan berlaku dan diundangkan pada 17 Oktober mendatang. Kerja pemberantasan
korupsi pun otomatis terganggu.

Kurnia menambahkan, jika konsisten dengan janji memperkuat
pemberantasan korupsi, presiden harus bisa mengatasi hambatan politis tersebut.
”Presiden bisa panggil Ketum parpol atau ketua fraksi di DPR, lalu menjelaskan
bagaimana posisi presiden dalam hukum,” tegasnya.

Sementara itu, KPK memilih untuk tidak berfokus pada perdebatan
soal perppu atau judicial review. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan,
masalah perppu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Saat ini KPK lebih
berfokus pada upaya mengantisipasi berbagai dampak akibat pemberlakuan UU KPK
yang baru.

Tim kajian internal KPK memetakan, setidaknya ada 26 poin
pelemahan yang bakal terjadi setelah UU berlaku. ”Kami memerinci kira-kira apa
yang bisa kami lakukan untuk meminimalisasi risiko pelemahan KPK. Meskipun ada
wacana perppu dan JR, kami tetap harus melakukan antisipasi itu,” ungkap Febri
di Gedung Merah Putih KPK kemarin.

Suara berbeda muncul dari parpol. Ketua Umum Partai Nasdem Surya
Paloh menegaskan bahwa perppu belum saatnya dikeluarkan presiden. Sebab,
masalah itu masuk ranah persengketaan di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Ya salah
juga kalau mengeluarkan perppu,” katanya saat ditemui setelah rapat paripurna
MPR di kompleks parlemen, Senayan, kemarin.

Baca Juga :  Pimpinan DPRD Kalteng Perkuat Sinergitas Demi Pembangunan Kalteng

Dia menuturkan, presiden bersama seluruh partai pengusung
mempunyai satu bahasa yang sama. Yaitu, tidak mengeluarkan perppu. Sebab,
persoalan itu sudah masuk ranah hukum. Memang, sebelumnya para mahasiswa
menuntut dikeluarkannya perppu saat unjuk rasa. Menurut Paloh, mungkin mereka
tidak mengetahui bahwa masalah tersebut sudah masuk proses di MK (Mahkamah
Konstitusi).

Karena ketidaktahuan itu, mereka pun memaksa presiden
mengeluarkan perppu. Paloh menilai, kasus itu sudah dipolitisasi. Jika perppu
dikeluarkan, bisa-bisa presiden di-impeach. ”Salah-salah lho. Ini harus
ditanyakan ke ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada
pemikiran-pemikiran baru,” tuturnya.

Politikus yang juga pengusaha itu menyatakan, yang penting
sekarang adalah menggunakan energi untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan
yang begitu kompleks. Stabilitas negara harus terus dijaga karena implikasinya
sangat luas.

Namun, tutur dia, jika masalah stabilitas dan implikasinya
diabaikan, ekonomi akan rusak. Investasi pun tidak bisa diharapkan. ”Bukan kami
meremehkan atau tidak mendengar suara-suara dan aspirasi masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, pihak istana masih bungkam mengenai kejelasan
nasib Perppu KPK. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan, soal jadi atau
tidaknya Perppu KPK dikeluarkan, hanya presiden yang mengetahui. ”Yang jelas,
urusan ini hanya bapak presiden yang tahu dan tidak perlu dimultitafsirkan,”
ujarnya.

Saat didesak soal seberapa jauh pembahasannya, politikus PDIP
itu kembali bungkam dan menyatakan menyerahkannya kepada presiden.

Sikap yang sama disampaikan Presiden Joko Widodo. Saat dimintai
konfirmasi di sela-sela peringatan Hari Batik Nasional di Solo, dia enggan
menanggapi pertanyaan soal perppu. ”Ini (acara) soal batik, kok (tanya)
perppu,” katanya.

Ketidakjelasan perppu tersebut sejatinya bertentangan dengan
pernyataan Jokowi saat bertemu tokoh-tokoh nasional di Istana Merdeka, Jakarta,
Kamis lalu (26/9). Saat itu Jokowi menjanjikan akan secepatnya melakukan
kajian.

Baca Juga :  Bawaslu Putuskan KPU Langgar Prosedur Input Data Situng

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengomentari desakan publik
supaya presiden menerbitkan Perppu KPK. Dia tidak ingin mengomentari urusan perppu
itu. Hanya, JK menyinggung soal posisi dewan pengawas dan komisioner KPK yang
perlu diperjelas.

Selama ini, dewan pengawas KPK menjadi sorotan publik. Sebab,
untuk melakukan penyadapan, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas.
”(Keberadaan, Red) pengawas ini juga perlu perbaikan-perbaikan prosedur
internal. Tidak seperti itu juga,” ungkapnya.

JK menegaskan, kedudukan dewan pengawas dan komisioner KPK harus
diperjelas. Saat ini, dia menilai, dalam UU KPK yang baru, kedudukan keduanya
seakan sama. Atau, bahkan dewan pengawas lebih tinggi.

Pria asal Makassar itu menyatakan, pemerintah tetap ingin
menjalankan upaya antikorupsi melalui KPK. Di sisi lain, pemerintah menjaga
aparat negara dan pemerintah. Tujuannya, aparatur negara dan pemerintah tetap
berhati-hati sekaligus berani dalam mengambil kebijakan atau tindakan.

”Sekarang ini dengan situasi seperti ini, mungkin tak melihat
bahwa kantor-kantor pemerintah takut luar biasa,” ungkapnya. Menurut dia, jika
tidak ada yang berani mengambil keputusan, keberlangsungan negara ini tidak
akan lancar.

Untuk itu, dia menegaskan, dua tujuan tersebut harus berjalan
bersama. Yakni, pemberantasan korupsi serta jalannya pemerintahan yang
hati-hati dan cepat. Menurut JK, pejabat pemerintah juga harus berani
bertindak. Dia mengungkapkan, saat ini hampir tidak ada keberhasilan akibat
ketakutan-ketakutan itu.

Dia juga meminta masyarakat bisa menahan diri. Apalagi saat ini
gugatan UU KPK sudah berjalan di MK. Dia berharap publik menunggu putusan MK.
Revisi UU KPK, kata dia, sejatinya tidak tergesa-gesa. ”Jangan lupa, itu kan
dibicarakan DPR sejak 2015. Tapi, kan ditunda,” katanya.

Tiga poin kekhawatiran masyarakat mengenai revisi UU KPK itu
adalah keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, dan surat perintah
penghentian perkara (SP3).(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru