Perebutan kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Republik Indonesia mengerucut kepada Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pucuk pimpinan MPR RI yang diperoleh Partai
Gerindra diharapkan dapat memunculkan keseimbangan antara faksi pemerintah
dengan oposisi.
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center
Research dan Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai sebaiknya posisi Ketua
MPR diserahkan kepada partai oposisi. Sehingga dapat melahirkan
keseimbangan dalam demokrasi bangsa.
Sebab, merujuk pada tampuk pimpinan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Republik Indonesia yang kini dijabat oleh La Nyalla Mattalitti serta
posisi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang dipegang
oleh Puan Maharani, Komplek Parlemen Senayan dikuasai oleh partai koalisi
pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Sementara, Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) sekaligus
mantan Ketua DPR RI periode 2018-2019, Bambang Soesatyo didapuk sebagai calon
Ketua MPR RI dari partai koalisi. Apabila terwujud, seluruh lembaga legislatif
tersebut akan dikuasai oleh partai pendukung pemerintah yang seharusnya
mengkritisi.
“Kalau ketua DPD La Nyalla, Ketua DPR itu Puan, faksi pemerintah
tambah kalau ketua MPR itu Bamsoet. Secara citra, simbol keseimbangan tidak
terlihat direbut semua oleh faksi pemerintah,†kata Pangi, Rabu (2/10).
Pangi menambahkan sistem demokrasi yang baik perlu ada perbedaan
pandangan dari oposisi. Dirinya menilai antara DPD dengan DPR saat ini suaranya
diprediksi serupa, yakni minim kritik kebijakan terhadap pemerintah. Padahal,
lanjutnya, fungsi legislatif utama sebagai pengawas pemerintah. Oleh karena
itu, dirinya mengingatkan bahwasanya demokrasi yang baik membutuhkan kubu
penyeimbang yang menyuarakan aspirasi oposisi.
“Sebaiknya Ketua MPR diberikan ke Gerindra, Gerindra lebih pantas,
kalau dikuasai faksi pemerintah akan menjadi buruk, karena perlemen itu harus
berbicara dan berkata-kata. Berbeda suara dengan pemerintah itu akan menjadi
vitamin,†jelas Pangi.
Lebih lanjut dipaparkannya, apabila Partai Gerindra selaku
oposisi mendapat jatah Ketua MPR RI, suara oposisi harus disampaikan. Sehingga,
kesan ‘tukang stempel’ pemerintah pada lembaga legislatif tidak menjadi nyata.
“Gerindra sebetulnya secara de jure menyatakan oposisi, meski dari permainan
belakangan ini belum ada peran oposisi, buktinya semua Undang-Undang disahkan.
Jadi, jangan tukang stempel pemerintah,†ujar Pangi.(jpg)