25.8 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

OJK Akui Restrukturisasi Kredit Belum Optimal

JAKARTA – Kebijakan restrukturisasi kredit belum berjalan optimal.
Pasalnya dalam penerapannya masih banyak menemukan sejumlah kendala.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sendiri mengakui memang kebijakannya tersebut belum maksimal. Karena, perbankan
masih kesulitan untuk melakukan verifikasi nasabah yang mengajukan keringanan.

Diketahui, restrukturisasi yang
ditawarkan OJK itu untuk mengurangi tekanan ekonomi masyarakat yang terdampak
pandemi Covid-19. OJK berharap masyarakat terbantu dengan adanya restrukturisai
kredit.

Kepala Eksekutif Pengawas
Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, bahwa realisasi dari program
restrukturisasi kredit baru diterima oleh 4,33 juta debitur. Kebanyakan dari
jumlah itu atau sebanyak 3,76 juta debitur adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM).

“Kendala restrukturisasi ini
berhubungan dengan WFH (kerja dari rumah), dengan ini bank kesulitan melakukan
verifikasi,” ujarnya melalui video daring, kemarin (19/5).

Baca Juga :  Materai Rp10.000 Sah Digunakan untuk Dokumen Elektronik

Kendala lainnya, lanjut dia,
banyaknya debitur yang mengajukan relaksasi kredit pokok dan bunga. Karena
banyak pemohon dibandingkan karyawan bank mengakibatkan lambatnya proses yang
ada.

Nah, untuk mengatasi kendala
tersebut, OJK memberi kelonggaran kepada perbankan untuk melakukan verifikasi
nasabah dengan jumlah tertentu secara sekaligus.

“Artinya, kalau satu-satu
verifikasinya, sementara ada ribuan UKM menunggu (menerima relaksasi), sehingga
kami beri kelonggaran bank dapat melakukan dalam satu keranjang,” katanya.

Kendati demikian, ia mengingatkan
perbankan tak boleh asal memberi relaksasi. Sebab OJK akan memantau dan
melakukan audit.

Kemudian, protokol industri
perbankan terutama yang masih mengacu pada SOP lama cenderung memakan waktu.
Misalkan, birokrasi yang mengharuskan dilakukannya restrukturisasi oleh pejabat
atau pegawai yang tak terlibat proses pengajuan.

Baca Juga :  BRI Catatkan Pertumbuhan Bisnis Wealth Management 19,96% per Kuartal I-2023

Kesempatan yang sama, Direktur
Utama (Dirut) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Mirza Adityaswara
menyebut belum sampai 10 persen total pinjaman yang direstrukturisasi. Dari
total Rp5.400 triliun hingga Rp5.500 triliun kredit yang dibukukan bank, baru
sekitar Rp391,18 triliun yang direstrukturisasi.

Terpisah, ekonom dari Institute
for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan,
kendala yang dihadapi OJK terkait restrukturisasi kredit lantaran sistem yang
digunakan OJK masih menggunakan konvensional. “Selama ini OJK tidak memiliki
program digital banking sehingga restrukturisasi kredit menjadi sulit. Untuk
itu, OJK harus mendorong transformasi perbankan konvensional menjadi perbankan
digital,” pungkasnya.

JAKARTA – Kebijakan restrukturisasi kredit belum berjalan optimal.
Pasalnya dalam penerapannya masih banyak menemukan sejumlah kendala.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sendiri mengakui memang kebijakannya tersebut belum maksimal. Karena, perbankan
masih kesulitan untuk melakukan verifikasi nasabah yang mengajukan keringanan.

Diketahui, restrukturisasi yang
ditawarkan OJK itu untuk mengurangi tekanan ekonomi masyarakat yang terdampak
pandemi Covid-19. OJK berharap masyarakat terbantu dengan adanya restrukturisai
kredit.

Kepala Eksekutif Pengawas
Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, bahwa realisasi dari program
restrukturisasi kredit baru diterima oleh 4,33 juta debitur. Kebanyakan dari
jumlah itu atau sebanyak 3,76 juta debitur adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM).

“Kendala restrukturisasi ini
berhubungan dengan WFH (kerja dari rumah), dengan ini bank kesulitan melakukan
verifikasi,” ujarnya melalui video daring, kemarin (19/5).

Baca Juga :  Materai Rp10.000 Sah Digunakan untuk Dokumen Elektronik

Kendala lainnya, lanjut dia,
banyaknya debitur yang mengajukan relaksasi kredit pokok dan bunga. Karena
banyak pemohon dibandingkan karyawan bank mengakibatkan lambatnya proses yang
ada.

Nah, untuk mengatasi kendala
tersebut, OJK memberi kelonggaran kepada perbankan untuk melakukan verifikasi
nasabah dengan jumlah tertentu secara sekaligus.

“Artinya, kalau satu-satu
verifikasinya, sementara ada ribuan UKM menunggu (menerima relaksasi), sehingga
kami beri kelonggaran bank dapat melakukan dalam satu keranjang,” katanya.

Kendati demikian, ia mengingatkan
perbankan tak boleh asal memberi relaksasi. Sebab OJK akan memantau dan
melakukan audit.

Kemudian, protokol industri
perbankan terutama yang masih mengacu pada SOP lama cenderung memakan waktu.
Misalkan, birokrasi yang mengharuskan dilakukannya restrukturisasi oleh pejabat
atau pegawai yang tak terlibat proses pengajuan.

Baca Juga :  BRI Catatkan Pertumbuhan Bisnis Wealth Management 19,96% per Kuartal I-2023

Kesempatan yang sama, Direktur
Utama (Dirut) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Mirza Adityaswara
menyebut belum sampai 10 persen total pinjaman yang direstrukturisasi. Dari
total Rp5.400 triliun hingga Rp5.500 triliun kredit yang dibukukan bank, baru
sekitar Rp391,18 triliun yang direstrukturisasi.

Terpisah, ekonom dari Institute
for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan,
kendala yang dihadapi OJK terkait restrukturisasi kredit lantaran sistem yang
digunakan OJK masih menggunakan konvensional. “Selama ini OJK tidak memiliki
program digital banking sehingga restrukturisasi kredit menjadi sulit. Untuk
itu, OJK harus mendorong transformasi perbankan konvensional menjadi perbankan
digital,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru