26.3 C
Jakarta
Wednesday, December 25, 2024

Presiden Mau Ampuni Koruptor? Begini Penjelasan Menkum

PROKALTENG.CO – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.

Ia menjelaskan meskipun Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman ketika dimintai keterangan di kantor Kementerian Hukum (Kemenkum) Jakarta, Senin (23/12/2024).

Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujar Supratman.

Baca Juga :  UMPR Hadir di Kalampangan, Wujudkan Kuliah Gratis untuk Anak Petani dan Nelayan

Menteri Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, namun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada Presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tegas Supratman.

Selain Presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.

“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.

Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.

Baca Juga :  Menkumham Promosikan Kebebasan Beragama Indonesia di Anggota Parlemen Inggris

“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” tutupnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kalimantan Tengah, Maju Amuntai Siburian, juga memberikan pandangannya mengenai isu pengampunan terhadap koruptor.

Ia menegaskan bahwa kebijakan pengampunan, meskipun dalam ranah kewenangan Presiden, harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama dalam hal pemulihan kerugian negara.

“Pemulihan aset dan pengembalian kerugian negara harus menjadi prioritas utama. Apalagi bagi daerah seperti Kalimantan Tengah, yang terus berupaya memaksimalkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah,” ujar Maju Amintas Siburian.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun pengampunan dimungkinkan dalam sistem hukum Indonesia, hal tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan pertimbangan yang matang, guna memastikan kepercayaan publik tetap terjaga.

“Pemberian pengampunan kepada koruptor seharusnya tidak mengurangi semangat pemberantasan korupsi di tanah air. Oleh karena itu, penting adanya pengawasan dari semua pihak, termasuk dari Mahkamah Agung dan DPR, agar langkah ini dapat dilakukan dengan bijak dan mempertimbangkan segala dampak jangka panjangnya,” tutup Maju. (tim)

PROKALTENG.CO – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.

Ia menjelaskan meskipun Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman ketika dimintai keterangan di kantor Kementerian Hukum (Kemenkum) Jakarta, Senin (23/12/2024).

Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujar Supratman.

Baca Juga :  UMPR Hadir di Kalampangan, Wujudkan Kuliah Gratis untuk Anak Petani dan Nelayan

Menteri Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, namun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada Presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tegas Supratman.

Selain Presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.

“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.

Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.

Baca Juga :  Menkumham Promosikan Kebebasan Beragama Indonesia di Anggota Parlemen Inggris

“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” tutupnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kalimantan Tengah, Maju Amuntai Siburian, juga memberikan pandangannya mengenai isu pengampunan terhadap koruptor.

Ia menegaskan bahwa kebijakan pengampunan, meskipun dalam ranah kewenangan Presiden, harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama dalam hal pemulihan kerugian negara.

“Pemulihan aset dan pengembalian kerugian negara harus menjadi prioritas utama. Apalagi bagi daerah seperti Kalimantan Tengah, yang terus berupaya memaksimalkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah,” ujar Maju Amintas Siburian.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun pengampunan dimungkinkan dalam sistem hukum Indonesia, hal tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan pertimbangan yang matang, guna memastikan kepercayaan publik tetap terjaga.

“Pemberian pengampunan kepada koruptor seharusnya tidak mengurangi semangat pemberantasan korupsi di tanah air. Oleh karena itu, penting adanya pengawasan dari semua pihak, termasuk dari Mahkamah Agung dan DPR, agar langkah ini dapat dilakukan dengan bijak dan mempertimbangkan segala dampak jangka panjangnya,” tutup Maju. (tim)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/