PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Satuan Tugas (Satgas) Garuda Penertiban Kawasan Hutan (PKH) semakin intensif menindak perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit yang beroperasi tanpa izin di Kalimantan Tengah (Kalteng). Langkah ini menjadi perhatian publik, terutama pegiat lingkungan, yang menyoroti pentingnya transparansi dalam proses penertiban.
Dilansir dari Kalteng Pos, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, menegaskan bahwa keterbukaan informasi sangat diperlukan agar masyarakat dapat mengawal proses perbaikan tata kelola kehutanan dan perizinan yang masih dinilai lemah.
“Proses yang dijalankan satgas harus transparan dan partisipatif karena ini menjadi acuan penting bagi masyarakat sipil untuk mengawal penertiban kawasan hutan,” ujarnya, Kamis (20/3).
Bayu juga menekankan perlunya sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti beroperasi secara ilegal. Selain sanksi administrasi dan denda, langkah hukum, baik perdata maupun pidana, perlu ditempuh demi menegakkan aturan dan mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
“Perusahaan yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan harus bertanggung jawab, baik melalui pembayaran denda, gugatan perdata untuk pemulihan lingkungan, maupun gugatan pidana jika terbukti melanggar undang-undang,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa lahan yang telah diambil alih oleh pemerintah harus dikembalikan sesuai fungsinya agar tidak menimbulkan masalah baru. “Misalnya, kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi atau hutan lindung,” imbuhnya.
Selain itu, Bayu menyoroti konflik agraria yang kerap muncul akibat pencaplokan lahan oleh perusahaan. Menurutnya, penertiban ini harus menjadi momentum untuk menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat adat dan korporasi.
“Jika kawasan hutan sudah diambil alih tetapi tidak bisa dikembalikan ke fungsi awalnya, maka bisa dipertimbangkan untuk didistribusikan kepada masyarakat agar dapat dikelola secara berkelanjutan,” jelasnya.
Satgas PKH diminta membuka diri terhadap pengawasan publik untuk memastikan proses penertiban berjalan adil dan transparan serta menghindari potensi kecurangan.
“Dengan makin terbukanya satgas dalam menyelesaikan konflik, makin banyak kelompok masyarakat yang dapat mengawasi dan memastikan tidak ada penyimpangan dalam penertiban ini,” tegasnya.
Di sisi lain, DPRD Kotawaringin Timur (Kotim) masih menunggu kejelasan terkait lahan yang telah disita oleh satgas. Hingga kini, belum ada keputusan apakah lahan tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat, tetap dikelola perusahaan, atau ada mekanisme pengelolaan lain.
“Sampai sekarang kami masih menunggu tindak lanjut dari satgas. Lahan sitaan itu mau dikemanakan dan apa yang harus dilakukan, kami belum mendapat arahan,” ujar Anggota Komisi II DPRD Kotim, Hendra Sia.
Komisi II DPRD Kotim telah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan kejelasan terkait status lahan tersebut, namun belum ada kepastian. Bahkan, kementerian pun mengarahkan agar koordinasi dilakukan langsung dengan satgas.
“Kemarin kami ke Kementerian Kehutanan di Jakarta, mereka meminta agar berkoordinasi langsung ke satgas. Namun, hingga kini belum ada arahan lebih lanjut,” katanya.
DPRD Kotim juga mengingatkan agar Satgas PKH menjaga stabilitas di lapangan, terutama di wilayah perkebunan yang terdampak penyitaan, guna mencegah potensi konflik di masyarakat.
“Jangan sampai penyitaan oleh satgas justru menimbulkan ketidakpastian dan mengganggu situasi keamanan di daerah perkebunan. Harus ada kejelasan apakah lahan ini akan diberikan ke masyarakat, tetap dikelola perusahaan, atau ada solusi lain,” ujarnya.
Komisi II DPRD Kotim turut menyoroti dampak penyitaan terhadap program plasma yang selama ini melibatkan masyarakat. Mereka berharap ada solusi yang adil agar tidak ada pihak yang dirugikan.
“Saya dengar kemarin ada rapat di Palangka Raya dengan gubernur dan bupati, tetapi kami belum tahu hasilnya. Yang pasti, masyarakat harus mendapat penjelasan jelas agar tidak muncul anggapan bahwa lahan sitaan otomatis menjadi milik rakyat dan bisa langsung digarap,” tambahnya.
DPRD Kotim memastikan akan terus mengawal perkembangan terkait lahan sitaan ini serta meminta pemerintah dan Satgas PKH segera memberikan kejelasan agar tidak muncul polemik berkepanjangan.
“Kami berharap penyegelan lahan ini tidak menjadi permasalahan baru di masyarakat. Karena itu, pihak satgas harus segera memberikan kejelasan atas lahan yang disita,” tegasnya.
Sementara itu, kedatangan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni, ke Kalteng turut menjadi sorotan. Ia disambut sejumlah pejabat daerah, termasuk Staf Ahli Gubernur Bidang Keuangan, Ekonomi, dan Pembangunan (Sahli Ekobang) Kalteng, Yuas Elko, di Bandara Tjilik Riwut, Rabu (19/3).
Saat ditemui awak media, Raja Juli Antoni enggan memberikan komentar terkait penertiban yang dilakukan Satgas PKH.
“No comment, nanti saja ya,” katanya singkat sebelum diarahkan petugas masuk ke mobil yang telah disiapkan untuk meninggalkan bandara. (ham/bah/*afa/ce/ala)