PROKALTENG.CO-Jaksa KPK meminta Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana 12 tahun penjara, Mardani H Maming dalam perkara korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu.
Jaksa KPK, Greafik Lioserte secara tegas meminta kepada Majelis Hakim Agung melalui Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin untuk menguatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam tanggapan dan kesimpulan termohon, Greafik menyatakan tak ada satu pun dalil dapat digunakan pemohon yang menyatakan kekhilafan majelis hakim dalam putusannya. “Baik di tingkat kasasi, pengadilan tinggi, hingga pengadilan negeri,” tekannya usai sidang PK di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kamis (14/3) kemarin.
Pihaknya berkesimpulan, tak satu pun alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa keputusan hakim terdapat kekhilafan.
Pemohon memiliki argumen dalam memori PK yakni adanya pertentangan antara putusan penundaan kewajiban pembayaran utang dengan keputusan hakim. Jaksa KPK berpendapat bahwa hakim tak terikat dengan perkara terdahulu. Hakim juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menanyakan terkait alat bukti di persidangan.
Alasan kedua, pihaknya meyakini keterangan ahli yang diajukan oleh pemohon di sidang sebelumnya, tak cukup membuktikan telah terdapat kekhilafan nyata dalam putusan hakim. “Atas itu, kami meminta Hakim Agung menolak permohonan PK pemohon,” ucapnya.
Pada sidang kemarin, Mardani kembali hanya mengikuti sidang secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Suka Miskin, Jawa Barat.
Seperti diketahui, di sidang sebelumnya, kuasa hukum Mardani menghadirkan dua ahli. Mereka adalah Muhammad Arif Setiawan dan Profesor Doktor Ridwan.
Arif adalah salah satu akademisi yang turut terlibat dalam proses eksaminasi atau pengujian terhadap putusan perkara Mardani ini. Eksaminasi terhadap putusan dalam perkara ini, selain dilatarbelakangi keperluan akademik, juga lantaran putusan cukup menarik untuk diuji. “Eksaminasi dilakukan terhadap perkara menarik,” ujar Arif.
Dari hasil eksaminasi itu muncul kesimpulan adanya kekhilafan yang dilakukan hakim. Kekhilafan itu berupa tak ditemukannya meeting of mind yang semestinya menjadi alasan kuat untuk dipertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara. “Setelah membaca putusan, ahli tak menemukan adanya meeting of mind dalam pemberian. Hanya satu pihak. Itulah yang menjadi kekhilafan hakim,” paparnya saat itu.
Perihal adanya hukuman tambahan berupa uang pengganti (UP) sebesar Rp110 miliar lantaran dinilai adanya kerugian negara yang muncul akibat perkara korupsi tersebut, Arif berpendapat dari hasil eksaminasi bahwa uang yang diterima Maming adalah hasil dari bisnis perusahaan dijalankan oleh pihak keluarga. “Sebagian putusan hakim mengakui itu perusahaan keluarga. Pemberian itu dari saudaranya. Bagaimana bisa disebut sebagai suap,” jelasnya.
Sementara Ridwan dalam penjelasnya mengatakan, pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) memang kewenangan seorang bupati. Yang tidak boleh melakukan pengalihan itu pemilik IUP. “Itu jelas diatur dalam undang-undang. Kalau bupati yang melakukan, memang kewenangannya,” jelas Ridwan.
Kuasa Hukum Maming, Yasir Arafat berharap PK yang diajukan pihaknya tak ditolak MK. Terlebih sudah dihadirkannya ahli yang akan menjadi bahan pertimbangan majelis hakim agung.
Tim penasihat hukum Mardani meminta pemohon harus dibebaskan dari seluruh dakwaan. Mereka meminta untuk membatalkan putusan kasasi, serta putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin yang menyatakan Mardani terbukti secara sah dan bersalah dalam perkara ini. Pihaknya juga meminta seluruh barang yang disita dalam perkara ini, untuk dikembalikan kepada pihak-pihak yang berhak atau darimana barang bukti tersebut disita. Selain itu, mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat pemohon seperti haknya semula.
Seperti diketahui, mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Kalsel itu awalnya divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Banjarmasin pada 10 Februari 2023 lalu. Majelis Hakim yang saat itu diketuai oleh Heru Kuntjoro, juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Mardani juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar. Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, harta bendanya akan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama dua tahun.
Mardani tak terima dengan putusan tersebut. Ia pernah mengajukan banding. Jaksa KPK pun tak mau kalah, karena juga ikut mengajukan banding ke PT Banjarmasin. Namun, bukan keringanan hukuman yang didapat Mardani. Oleh PT Banjarmasin, hukumannya justru diperberat melalui putusan dengan nomor 3/PID.SUS-TPK/2023/PT BJM menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin.
Tak cukup sampai itu, melalui penasihat hukumnya, Mardani mengajukan kasasi. Lagi-lagi dalam putusannya, Mahkamah Agung menolaknya.
Fakta Persidangan PK Maming
– Sidang lanjutan perkara korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu dengan terpidana 12 tahun penjara, Mardani H Maming kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kamis (14/3) kemarin.
– Mardani kembali hanya mengikuti sidang secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Suka Miskin, Jawa Barat.
– Agendanya, Jaksa KPK diberi kesempatan melakukan tanggapan dan memberikan kesimpulan. Jaksa KPK meminta Majelis Hakim Agung semakin menguatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
– Jaksa KPK menyimpulkan tak ada satu pun dalil dapat digunakan pemohon yang menyatakan kekhilafan majelis hakim dalam putusannya.
– Jaksa KPK berpendapat bahwa hakim tak terikat dengan perkara terdahulu. Hakim juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menanyakan terkait alat bukti di persidangan.
– Jaksa KKP meyakini keterangan ahli yang diajukan oleh pemohon di sidang sebelumnya, tak cukup membuktikan telah terdapat kekhilafan nyata dalam putusan hakim. (jpg)