PROKALTENG.CO-Pemerintah diminta tak terburu-buru soal wacana proyek kereta api di Pulau Kalimantan. Pasalnya, pembangunan rel kereta api yang menghubungkan lima provinsi dinilai cukup rumit dan mesti dikaji mendalam.
Pakar Teknik Sipil, Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari (MAB), Fitria Handayani mengungkapkan sederet perkirakan terkait proyek ini.
Salah satunya berbenturan dengan wilayah pertambangan, hutan dan kebun sawit, terkhusus di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
“Waktu yang diperlukan cukup lama mengingat proses konstruksinya yang rumit, trase jalur rel kereta api yang panjang dan pembebasan lahan yang cukup sulit dilakukan,” ujarnya. Selasa (11/11/2025).
Selain itu, Kalsel dikenal dengan kondisi tanah yang umumnya berkontur rawa, gambut dan lunak.
Berdasarkan pandangan geoteknik, wacana pembangunan rel kereta api di Kalimantan memerlukan penyesuaian teknis dalam pelaksanaan konstruksi mengacu kondisi lahan.
“Inilah tantangan rel kereta api jalur Tanjung – Paringin – Barabai – Rantau – Martapura – Banjarmasin dan Banjarmasin – Palangkaraya umumnya memiliki daya dukung tanah rendah,” jelasnya.
Kondisi demikian dikhawatirkan rentan terjadi penurunan, mengalami kembang susut, serta kemampuan daya serap air hujan yang rendah, sehingga rentan tergenang banjir.
Berdasarkan analisa tersebut, insinyur geoteknik ini memperkirakan biaya dapat sangat besar untuk merealisasikan rancangan kereta api di Kalsel.
Informasi yang ia dapat total panjang rel kereta api di Kalimantan berkisar hingga ribuan kilometer. 216,3 kilometer untuk Tanjung – Banjarmasin. 192 kilometer untuk Banjarmasin – Palangkaraya. 108,5 kilometer untuk Balikpapan – Samarinda.
Sedangkan Pontianak ke batas negara 105 – 200 kilometer. Puruk Cahu ke Batanjung 303,3 kilometer.
“Total 2.428 kilometer semuanya rel kereta api yang menghubungkan semua wilayah di Kalimantan. Ada aspek geografis, sosial, dan rencana anggaran biaya (RAB) agar pembangunan rel efektif dan efesien baik dari segi pelaksanaan pembangunan maupun pelayanan nantinya,” ujar Fitria.
Praktisi Teknik Sipil, Feri Bahtiar senada dengan kontur tanah lunak yang mendominasi Bumi Lambung Mangkurat. Namun ia tetap optimistis hal ini tidak menjadi permasalah serius.
“Dari segi rekayasa geotekniknya di Indonesia, khususnya Kalsel sudah mumpuni dalam mengatasi tanah lunak,” jelasnya.
Tetapi, pria yang berprofesi sebagai konsultan di Bidang Teknik Sipil ini juga menggarisbawahi kemampuan untuk mendesain sebuah bangunan maupun jalur perkerasan untuk rel kereta api.
“Ini harus ditangani oleh tenaga ahli yang sangat paham. Misalnya tenaga ahli lokal, karena kondisi geologi dan geografis di sini sangat berbeda dibanding Pulau Jawa,” paparnya.
Dari segi amandemen lingkungan (amdal) ia memperkirakan akan banyak pihak terlibat, mulai dari masyarakat, perusahaan swasta dan pemerintah.
“Karena baru, pasti akan melewati beberapa area perkebunan hingga hutan adat. Pastinya banyak pihak yang terlibat,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Kemenhub RI memiliki pemetaan kereta api di seluruh pulau yang ada di Indonesia, tercantum dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) hingga 2030.
Targetnya adalah sekitar enam sampai sepuluh juta penumpang pertahun. Sedangkan kereta barang (kargo) 25 juta sampai 40 juta ton pertahun.
Kereta api di Kalimantan dinilai menjadi opsi yang relevan untuk jangka panjang, mengingat beban transportasi di jalan nasional dan provinsi yang terus mengalami peningkatan.
“Kalsel ini jalur ke Ibu Kota Negara (IKN). Kemudian juga jalur perdagangan untuk Kalselteng. Dengan adanya jalur kereta api ini dapat mengurangi moda transportasi pribadi,” harapnya.
Kendati, ide kereta api di Kalsel tak luput dari amdal yang dinilai krusial. Pengamat lingkungan, Rina Ayu Agustina mengingatkan agar dampak lingkungan turut dianalisis.
“Kajian ini harus mencakup penilaian terhadap perubahan penggunaan lahan, potensi gangguan terhadap ekosistem, serta dampak terhadap kualitas air, udara dan tanah,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengimbau proyek ini tidak menimbulkan penurunan lingkungan yang signifikan terhadap kerusakan habitat flora dan fauna endemik.
Terlebih lagi pada ranah sosial dan lingkungan masyarakat, proyek ini didorong harus memperhatikan potensi perubahan pola kehidupan masyarakat lokal.
Meskipun secara ekonomi kehadiran jalur kereta api dapat membuka akses pasar dan mempercepat arus logistik, perubahan tata ruang dan penggunaan lahan kerap berdampak pada relokasi permukiman atau hilangnya lahan pertanian produktif.
Anggota Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (Intakindo) ini menyebutkan aspek pengendalian kebisingan dan getaran juga menjadi perhatian tak terlewat.
“Aktivitas operasional kereta api berpotensi menimbulkan gangguan kebisingan bagi masyarakat di sekitar jalur rel, terutama di kawasan permukiman padat. Untuk itu, diperlukan rancangan mitigasi seperti pemasangan dinding peredam suara, pengaturan kecepatan di area tertentu, serta penanaman vegetasi buffer zone yang berfungsi sebagai penyerap suara alami dan penyejuk udara,” tutupnya.(jpg)
