25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Kasus Pemalsuan Surat Verklaring:

Pihak Korban Anggap Pembelaan Terdakwa Madi Tidak Benar

PALANGKARAYA, PROKALTENG.CO – Men Gumpul, kuasa pendamping para korban terdakwa kasus pemalsuan surat verklaring, Madi Goening Sius menganggap pembelaan yang disampaikan penasihat hukum terdakwa pada sidang, Senin (19/6/2023) merupakan kebohongan besar. Mendampingi para korban yang ikut menyaksikan agenda sidang tersebut, Men Gumpul menyebut banyak hal yang disampaikan penasehat hukum Madi justru tidak benar.

“Banyak terjadi kebohongan dalam pembelaan itu. Seperti halnya verklaring sudah jelas berdasarkan aturan pemerintah melalui kementerian agraria sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Sudah jelas dinyatakan dicabut, dan tidak diberlakukan kembali,” ujarnya usai agenda sidang pembelaan terdakwa di Pengadilan Negeri Palangkaraya.

Dia mengatakan, ahli forensik bahasa dari Bogor telah menyatakan bahwa verklaring itu dibuat bukan pada tahun 1960. Akan tetapi dibuat pada zaman sekarang.  Selain itu, bahasa dan ejaaan yang digunakan yaitu ejaan yang sudah disempurnakan.

“Sedangkan 1960 menggunakan ejaan Soewandi. Ini sudah jelas,”ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua Ormas Kalteng Watch ini menjelaskan bahwa keterangan ahli agraria dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyatakan verklaring tak dikenal di Indonesia.

“Toh ada verklaring sebelum pemerintah pada saat pemerintah kolonial Belanda dulu gunanya hanya sekadar untuk memungut pajak. Hanya bersifat surat keterangan atau pernyataan. Jadi bukan sebagai alasan kepemilikan tanah, tetapi untuk Pemerintahan Belanda saat itu memungut pajak,” terangnya.

Baca Juga :  Masuk ke Permukiman, Monyet Liar Serang Warga di Palangka Raya

“Di dalam verklaring yang sangat ganjal dan ganjil di antaranya luasan tanah yang diklaim sampai 810 hektar. Sementara kalau kita lihat berdasarkan dokumen yang kita miliki memang benar-benar dari verklaring produk Pemerintah Kolonial Belanda tidak ada yang lebih dari 3 hektar,” sambungnya.

Dirinya mengakui jika benar verklaring produk Pemerintah Belanda itu, sudah sistemnya dicetak dan hanya berbentuk formulir dengan ditandai logo Pemerintah Belanda yakni singa saling berhadapan. Bahkan kertas verklaring tersebut dibagi menjadi dua. Yakni di sebelah kanan menggunakan Bahasa Indonesia campur Bahasa Belanda. Sedangkan sebelah kiri Bahasa Arab dan Bahasa Daerah.

“Untuk wilayah Kalimantan Tengah, verklaring yang ada di tangan kita itu, yang tanda tangan cuma wedana dan asisten wedana. Artinya bupati dan camat yang tandatangan verklaringnya. Verklaring ini produk pemerintah, jadi tidak ada menyangkut masalah kedamangan di situ. Sedangkan verklaring yang mereka miliki, ada orang pemerintah yang ikut tanda-tangan dan orang kedamangan. Jadi verklaring apa itu namanya?,” tegasnya.

Lebih lanjut lagi, ia menerangkan bahwa verklaring merupakan murni produk Pemerintah Belanda. Sedangkan kedamangan, dinamai Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). Sehinga antara kedamangan dengan pemerintah merupakan dua kabar yang berbeda.

Baca Juga :  Pemko Palangka Raya Luncurkan Beberapa Program di Hari Jadinya

“Verklaring itu disamping ukurannya terbatas dan tata letaknya rata-rata di pinggir sungai anak sungai, handil-handil kenapa? karena pada saat itu, sistem transportasinya menggunakan air, klotok, perahu. Tidak ada verklaring seperti punya mereka ini, berada di tengah hutan dengan luasan yang begitu besar dan sangat tidak masuk akal. Jujur saja, Kota Palangkaraya tidak masuk wilayah jajahan Belanda. Kalau di daerah Kuala Kurun Tewah iya. Kuala Kapuas iya atau kota tua lainnya. Kalau Kota Palangkaraya peletakan batu pertama tahun 1957, sedangkan Indonesia merdeka 1945. Belanda hengkang sudah sejak tahun 1941,” bebernya panjang lebar.

“Makanya verklaring produk Pemerintah Kolonial Belanda yang ada di Kalteng maupun di Indonesia batasnya tahun 1941. Setelah itu tidak ada. Apalagi punya mereka itu verklaring dibuat di atas kertas segel. Lambangnya garuda, bukan lambang Pemerintah Belanda,” sambungnya.

“Mereka menimpa permasahan ini kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Padahal orang tuanya, saya yakin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin dia bikin sendiri tanpa sepengetahuan orangtuanya,” tandasnya. (hfz/hnd)

PALANGKARAYA, PROKALTENG.CO – Men Gumpul, kuasa pendamping para korban terdakwa kasus pemalsuan surat verklaring, Madi Goening Sius menganggap pembelaan yang disampaikan penasihat hukum terdakwa pada sidang, Senin (19/6/2023) merupakan kebohongan besar. Mendampingi para korban yang ikut menyaksikan agenda sidang tersebut, Men Gumpul menyebut banyak hal yang disampaikan penasehat hukum Madi justru tidak benar.

“Banyak terjadi kebohongan dalam pembelaan itu. Seperti halnya verklaring sudah jelas berdasarkan aturan pemerintah melalui kementerian agraria sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Sudah jelas dinyatakan dicabut, dan tidak diberlakukan kembali,” ujarnya usai agenda sidang pembelaan terdakwa di Pengadilan Negeri Palangkaraya.

Dia mengatakan, ahli forensik bahasa dari Bogor telah menyatakan bahwa verklaring itu dibuat bukan pada tahun 1960. Akan tetapi dibuat pada zaman sekarang.  Selain itu, bahasa dan ejaaan yang digunakan yaitu ejaan yang sudah disempurnakan.

“Sedangkan 1960 menggunakan ejaan Soewandi. Ini sudah jelas,”ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua Ormas Kalteng Watch ini menjelaskan bahwa keterangan ahli agraria dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyatakan verklaring tak dikenal di Indonesia.

“Toh ada verklaring sebelum pemerintah pada saat pemerintah kolonial Belanda dulu gunanya hanya sekadar untuk memungut pajak. Hanya bersifat surat keterangan atau pernyataan. Jadi bukan sebagai alasan kepemilikan tanah, tetapi untuk Pemerintahan Belanda saat itu memungut pajak,” terangnya.

Baca Juga :  Masuk ke Permukiman, Monyet Liar Serang Warga di Palangka Raya

“Di dalam verklaring yang sangat ganjal dan ganjil di antaranya luasan tanah yang diklaim sampai 810 hektar. Sementara kalau kita lihat berdasarkan dokumen yang kita miliki memang benar-benar dari verklaring produk Pemerintah Kolonial Belanda tidak ada yang lebih dari 3 hektar,” sambungnya.

Dirinya mengakui jika benar verklaring produk Pemerintah Belanda itu, sudah sistemnya dicetak dan hanya berbentuk formulir dengan ditandai logo Pemerintah Belanda yakni singa saling berhadapan. Bahkan kertas verklaring tersebut dibagi menjadi dua. Yakni di sebelah kanan menggunakan Bahasa Indonesia campur Bahasa Belanda. Sedangkan sebelah kiri Bahasa Arab dan Bahasa Daerah.

“Untuk wilayah Kalimantan Tengah, verklaring yang ada di tangan kita itu, yang tanda tangan cuma wedana dan asisten wedana. Artinya bupati dan camat yang tandatangan verklaringnya. Verklaring ini produk pemerintah, jadi tidak ada menyangkut masalah kedamangan di situ. Sedangkan verklaring yang mereka miliki, ada orang pemerintah yang ikut tanda-tangan dan orang kedamangan. Jadi verklaring apa itu namanya?,” tegasnya.

Lebih lanjut lagi, ia menerangkan bahwa verklaring merupakan murni produk Pemerintah Belanda. Sedangkan kedamangan, dinamai Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). Sehinga antara kedamangan dengan pemerintah merupakan dua kabar yang berbeda.

Baca Juga :  Pemko Palangka Raya Luncurkan Beberapa Program di Hari Jadinya

“Verklaring itu disamping ukurannya terbatas dan tata letaknya rata-rata di pinggir sungai anak sungai, handil-handil kenapa? karena pada saat itu, sistem transportasinya menggunakan air, klotok, perahu. Tidak ada verklaring seperti punya mereka ini, berada di tengah hutan dengan luasan yang begitu besar dan sangat tidak masuk akal. Jujur saja, Kota Palangkaraya tidak masuk wilayah jajahan Belanda. Kalau di daerah Kuala Kurun Tewah iya. Kuala Kapuas iya atau kota tua lainnya. Kalau Kota Palangkaraya peletakan batu pertama tahun 1957, sedangkan Indonesia merdeka 1945. Belanda hengkang sudah sejak tahun 1941,” bebernya panjang lebar.

“Makanya verklaring produk Pemerintah Kolonial Belanda yang ada di Kalteng maupun di Indonesia batasnya tahun 1941. Setelah itu tidak ada. Apalagi punya mereka itu verklaring dibuat di atas kertas segel. Lambangnya garuda, bukan lambang Pemerintah Belanda,” sambungnya.

“Mereka menimpa permasahan ini kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Padahal orang tuanya, saya yakin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin dia bikin sendiri tanpa sepengetahuan orangtuanya,” tandasnya. (hfz/hnd)

Terpopuler

Artikel Terbaru