PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Ratusan warga Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, turun ke jalan menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Selasa (6/5/2025). Mereka menuntut keadilan atas proses hukum yang menjerat Kepala Desa Tempayung, Syahyunie, yang dinilai sarat dugaan kriminalisasi.
Dukungan terhadap Syahyunie dilatarbelakangi kekhawatiran warga akan proses hukum yang dianggap tidak adil dan mengabaikan nilai-nilai sosial budaya lokal. Mereka mendesak majelis hakim untuk mempertimbangkan konteks adat dalam perkara yang sedang berjalan.
Syahyunie sebelumnya dilaporkan ke pihak berwajib karena diduga menjadi otak dari pemortalan lahan milik PT Sungai Rangit di Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4, yang berada di wilayah Desa Tempayung.
Menanggapi aksi tersebut, Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Agung Iswanto, menyampaikan bahwa lembaganya menghormati aspirasi masyarakat sepanjang disampaikan dengan tertib dan sesuai aturan hukum.
“Kami mempersilakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya, selama dilakukan secara tertib dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Agung kepada massa aksi.
Koordinator lapangan, Agung Sesa, menegaskan bahwa aksi ini adalah bentuk solidaritas terhadap pemimpin desa mereka yang sedang menghadapi proses hukum. Ia menyebut masyarakat adat merasa diabaikan dalam perkara ini.
“Apa yang kami lakukan di sini bersolidaritas dengan masyarakat, dan ini adalah permintaan masyarakat adat Tempayung. Saya kira pengadilan harus betul-betul memahami situasi ini,” katanya.
Sesa juga menyinggung ketimpangan antara masyarakat adat dan perusahaan, dengan mengutip pernyataan Gubernur bahwa tak ada organisasi manapun yang boleh berada di atas negara.
“Kami mempertegas, mengutip ungkapan dari Gubernur, jika memang ormas tidak boleh berada di atas negara, maka perusahaan juga tidak boleh berada di atas negara,” tegasnya.
Dalam orasinya, Koalisi Masyarakat Desa Tempayung menyampaikan tujuh poin pernyataan sikap. Salah satu sorotan adalah tidak adanya tanggapan substantif dari Penuntut Umum terhadap pleidoi yang disampaikan kuasa hukum terdakwa.
“Ini bertentangan dengan prinsip fair trial, karena terdakwa tidak mendapatkan tanggapan hukum yang layak dan proporsional terhadap pembelaannya,” kata perwakilan koalisi.
Koalisi juga menyoroti lemahnya pembuktian terkait kerugian yang diklaim perusahaan. Mereka menilai nilai kerugian hanya berdasar keterangan internal PT Sungai Rangit tanpa audit pihak independen.
“Ini berpotensi melanggar standar pembuktian tanpa keraguan yang wajar sesuai Pasal 183 KUHAP,” tegas mereka.
Selain itu, substansi perkara dinilai lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata. Status hukum lahan adat yang disengketakan pun belum final, namun keberatan dari tim pembela tidak dipertimbangkan.
“Padahal hal ini memiliki implikasi besar terhadap legitimasi unsur pidana,” jelas mereka.
Koalisi menilai pendekatan hukum yang diambil tidak adil, sebab tindakan pemortalan lahan dilakukan secara kolektif sebagai bagian dari ritual adat, tetapi hanya kepala desa yang ditetapkan sebagai terdakwa.
“Tindakan itu dilakukan secara bersama oleh masyarakat, tetapi hanya satu orang yang diproses. Ini bertentangan dengan logika hukum pidana tentang penyertaan,” lanjut mereka.
Persoalan lain yang diangkat adalah terkait tidak diakuinya masyarakat adat Tempayung karena desa itu belum tercatat di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Menurut koalisi, alasan tersebut keliru.
“Padahal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak bergantung pada BRWA, dan itu bukan syarat yuridis formal,” tegas mereka.
Aksi damai ini diakhiri dengan seruan agar hukum tidak dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil. Masyarakat berharap majelis hakim dapat menegakkan keadilan substantif dan membebaskan kepala desa dari jeratan kriminalisasi. (ndo)