PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Pranata Hubungan Masyarakat Ahli Madya Universitas Palangka Raya (UPR) Despriawan Imanuel angkat suara terkait tindakan yang diberikan kepada oknum dosen UPR, terduga pelaku kekerasan seksual.
Ia menyebutkan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sejak awal melakukan pemeriksaan telah mengusulkan kepada Rektor untuk dilakukan pemberhentian sementara atau nonaktif terhadap pelaku atau terlapor dari berbagai kegiatan akademik di lingkungan UPR, baik dalam bentuk pelibatan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
“Usulan Satgas Adhoc PPKS telah ditindaklanjuti Rektor melalui penerbitan SK Rektor terkait pemberhentian sementara yang bersangkutan guna mencegah keberulangan perbuatan pelaku,” ujarnya melalui rilis yang diterima media ini, Kamis (2/2).
Selanjutnya, kata Despriawan, berdasarkan hasil pemeriksaan dan Laporan Akhir Satgas Adhoc PPKS UPR yang dilakukan bersama dengan tim Irjen dari Kemendikbudristek telah merekomendasikan terlapor karena kesalahan dan perbuatannya untuk dikenakan sanksi administartif.
Berdasarkan ketentuan sanksi yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS. Sanksi administratif disetujui terlebih dahulu oleh pemimpin perguruan tinggi sesuai rekomendasi dari Satuan Tugas yang bersifat proposional dan berkeadilan serta tidak mengenyampingkan peraturan lainnya.
Setelah sanksi disetujui, maka pihak UPR akan mengusulkan dan bersurat kepada Kemendikbudristek untuk menindaklanjuti usulan rektor terkait pengusulan penjatuhan sanksi administratif.
“Artinya bahwa dalam rangka tindak lanjut usulan rektor tersebut, implementasi proses penjatuhkan sanksi final nantinya akan dilakukan oleh tim yang dibentuk Kemendikbudristek,” imbuhnya.
Kemudian dengan adanya perkembangan yang terjadi yaitu tetap dilanjutkannya kasus ini oleh pihak kepolisian walapun korban tidak melanjutkan. Pihak UPR, lanjut Despriawan, tidak akan memberikan komentar terkait penanganan kasus diranah penegakan hukum. Alasannya, karena masing-masing institusi bekerja sesuai dengan kompetensinya.
“Kepolisian tentu bekerja sesuai dengan kewenangannya dengan melakukan proses hukum terhadap setiap kasus yang dilaporkan atau diadukan oleh korban. Demikian pula UPR, sudah melaksanakan kewajiban melalui penegakan sanksi disiplin terhadap pelaku atau terlapor dengan mengusulkan pengenaan sanksi administratif kepada Kemendikbudristek. Persoalan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini kepolisian tetap melanjutkan proses hukum, itu merupakan kewenangan pihak kepolisian yang tidak dapat dintervensi oleh pihak manapun. Artinya bahwa pihak universitas mengapresiasi dan menghormati proses hukum yang dilakukan oleh APH tersebut,” jelasnya.
Terkait ada dugaan UPR kurang respek atau mendukung penyelesaian perkara tersebut, UPR sambung Despriawan, tidak bisa membatasi masyarakat atau beberapa pihak-pihak yang berasumsi demikian. Pihaknya menganggap dugaan masyarakat dan beberapa pihak tersebut sebagai bentuk kepedulian dan dukungan terhadap UPR dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan UPR.
“Walaupun UPR selama ini belum memberikan pernyataan resmi terkait penanganan kasus kekerasan seksual, tetapi UPR tetap berproses. Terbukti bahwa UPR sejak kasus ini mulai viral telah membentuk Satgas Adhoc PPKS guna melakukan penanganan baik terhadap korban dan pelaku. Bahkan Rektor selaku pimpinan tertinggi di UPR telah mengusulkan kepada Kemendikbudristek terkait sanski administraif bagi pelaku sebagaimana rekomendasi Satgas Adhoc PPKS,” pungkasnya.