JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih
(cessie) Bank Bali, Tjan Kok Hui atau Djoko Soegianto Tjandra alias Djoko
Tjandra akhirnya ditangkap di Kuala Lumpur Malaysia. Kamis (30/7) malam dia langsung
dibawa dari Malaysia menuju Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Kepolisian membenarkan kabar
tersebut. “Iya, aya ini mau ke Bandara (Halim),†terang Kadiv Humas Mabes Polri
Irjen Pol Argo Yuwono, Kamis (30/7) malam.
Ia tiba pukul 22.40 WIB di
Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada saat bersamaan terdengar gemar takbir
menyambut datangnya Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah.
Djoko sempat membuat geger publil
tanah air. Pasalnya, meski menjadi buronan kasus korupsi, dia bisa leluasa
masuk keluar Indonesia.
Dia semestinya berada di dalam
sel sejak tahun 2009. Saat itu Djoko Tjandra dijerat perkara cessie Bank Bali
dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Namun pria berjuluk Joker
itu kabur ke luar negeri.
Menkopolhukam Mahfud MD pun
mengungkapkannya kronologi penangkapan. Menurut Mahfud, ini berawal pada 20
Juli 2020, Komjen Pol Listyo Sigit mendatanginya untuk memberitahu skenario penangkapan
kembali Djoko Tjandra.
“Saya diberitahu tanggal 20 itu
(Listyo) akan bertemu siapa, bagaimana menangkapnya (Djoko Tjandra). Sehingga
sejak siang tanggal 20 itu, saya menganggap tugas saya sudah 90 persen lah,
sudah selesai tinggal koordinasi,†kata Mahfud.
Mahfud meyakini operasi senyap
yang dilakukan Pol Listyo Sigit dapat berjalan dengan lancar. Dan pirasat
Mahfud MD pun benar adanya. Listyo berhasil menuntaskan tugasnya Kamis (30/7)
dengan membawa pulang Djoko Tjandra ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
“Saya lihat dan saksikan.
Alhamdulillah berkat kerja sama Bareskrim dan Polisi Diraja Malaysia, Djoko
Tjandra sudah berhasil kami tangkap,†timpalnya.
Jejak Tjoko Tjandra
Djoko Sugiarto Tjandra, pria
kelahiran Sanggau 27 Agustus 1950 beralamat di Jl Simprug Golf I No. 89
Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia,
oleh personel Polri dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol
Listyo Sigit.
Sigit sendiir berterima kasih
atas peran serta Polisi Diraja Malaysia. Hingga akhirnya bisa memborgol buronan
itu ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie)
antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.
Lalu bagaimana sebenarnya skandal
awal dari peristiwa itu muncul? Dari beberapa data yang didapat, kasus ini
bermula saat Djoko Tjandra membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan
piutang Bank Bali pada tiga bank (Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum
Nasional, dan Bank Bira) senilai Rp3 triliun.
Namun yang bisa dicairkan oleh
EGP, setelah diverifikasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hanya
sebesar Rp904 miliar dari nilai transaksi Rp1,27 triliun (di BDNI).
Pencairan piutang sebesar Rp904
miliar itu, juga melibatkan BPPN yang meminta Bank Indonesia melakukan
pembayaran dana itu.
Nah, kasus ini mencuat setelah
muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutang tersebut.
Pada saat itu, Pande Lubis adalah Wakil Ketua BPPN, Syahril Sabirin menjabat
Gubernur Bank Indonesia, dan Djoko Tjandra adalah pemilik EGP.
Namun, Majelis hakim Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada 28 Agustus 2000.
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan juga menyatakan uang sebesar Rp546,46 miliar
dikembalikan kepada perusahaan milik Joko, PT EGP. Sedangkan uang sebesar
Rp28,75 juta dikembalikan kepada Tjandra sebagai pribadi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Antasari Azhar sempat mengajukan kasasi, meskipun akhirnya ditolak oleh
Mahkamah Agung. Tersangka kedua, Pande Lubis juga dibebaskan majelis hakim PN
Jakarta Selatan pada 23 November 2000. Namun, pada tingkat kasasi, MA
menganggap putusan itu salah dan mengganjar Pande empat tahun penjara.
Sedangkan Syahril Sabirin dibebaskan.
Putusan MA tersebut tidak
membahas soal uang senilai Rp546,46 miliar yang dijadikan barang bukti. Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy mengatakan kejaksaan
mendapat penawaran dari Djoko untuk mengembalikan uang Rp546,46 miliar
tersebut, asal kejaksaan mencabut pengajuan PK kasus Bank Bali.
Namun, Jaksa Agung Hendarman
Supandji tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN)
Jaksel, setelah putusan kasasi MA pada Juni 2001 yang memenangkan dan membebaskan
Djoko dari dakwaan.
Di lain pihak, dalam persidangan
kasus suap 660 ribu dolar AS terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, terungkap rekaman
pembicaraan antara pengusaha Artalyta Suryani (Ayin) dan Kemas Yahya Rahman
ketika masih menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Keduanya membicarakan tentang
Joker, yang diduga adalah Djoko Tjandra yang sedang berperkara di Kejaksaan
Agung.
KPK kemudian menyampaikan surat
bernomor R1141/01/2008 tertanggal 24 April 2008 yang ditandatangani Wakil Ketua
KPK saat itu Bibit Samad Riyanto untuk pencegahan Djoko Tjandra terkait
penyidikan kasus jaksa Urip Tri Gunawan.
Namun tidak disebutkan, status
Djoko Tjandra apakah sebagai saksi atau tersangka.
Dalam surat cekal bernomor
110/01/IV/2008 disebutkan Djoko Tjandra dicegah bepergian dalam kapasitas
sebagai Direktur Utama PT Mulia Intan Lestari. Namun KPK kemudian mencabut
status pencegahan, karena kurang alat bukti pada November 2008.
Polri berupaya memeriksa para
pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan dan
pencabutan status pencegahan terhadap pengusaha Djoko Tjandra. Dua pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Chandra M Hamzah dan Bibit Samad
Rianto diperiksa selama delapan jam sebagai tersangka kasus penyalahgunaan
wewenang di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/9/2009).
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA)
mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Kejaksaan
Agung untuk Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin, sehingga keduanya masing-masing
dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp15 juta.
Dalam petikan putusan MA nomor:
12PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 untuk Djoko Tjandra disebutkan bahwa barang
bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank
Bali sejumlah Rp546,468 miliar, dirampas untuk dikembalikan ke negara.
Namun, satu hari sebelum putusan
dikabulkannya permohonan PK yang diajukan Kejagung oleh MA, pada 11 Juni 2009,
Djoko Tjandra sudah kabur ke Papua Nugini menggunakan pesawat carteran dari
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada 10 Juni 2009.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus
(Jampidsus) Marwan Effendy enggan menjawab soal adanya pembocoran putusan
terkait kaburnya Djoko Tjandra tersebut.
â€Wah ya jangan suudzon (curiga)
dulu. Dia kan punya bisnis di Port Moresby, PNG, ada adiknya dan kakaknya di
sana. Punya perusahaan namanya Papindo,†katanya. â€Kita sudah cekal (Djoko
Tjandra) sejak 11 Juni 2009,†katanya lagi.
Dan kini, setelah 11 tahun
berlalu, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin heran terpidana kasus pengalihan
hak tagih Bank Bali Djoko Sugiarto Tjandra yang telah buron bertahun-tahun bisa
datang ke Indonesia pada 8 Juni 2020.
â€Djoko Chandra datang ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali,â€
terang Jaksa Agung dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI
Senayan Jakarta, Senin (29/6/2020).
Adik kandung anggota DPR RI TB
Hasanuddin itu, heran kenapa terpidana bisa masuk ke Indonesia, padahal menurut
aturan pencekalan, dia tidak bisa masuk ke Indonesia.
Menurut penuturan Dirjen Imigrasi
Jhoni Ginting kepada Komisi III DPR RI, Senin (13/7), petugas Imigrasi tidak
mengetahui bahwa Djoko Tjandra berstatus buronan.
Jhoni beralasan petugas yang
bertugas kala itu juga baru lulus studi. â€Kalau dia masih 20 tahun, 23 tahun,
baru lulus, dia enggak akan kenal ini Djoko Tjandra pagi-pagi datang,†kata
Jhoni dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, Senin, 13 Juli
2020.
Jhoni mengatakan Djoko Tjandra
membuat paspor ke Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada pukul 08.00 WIB pagi.
Paspornya rampung satu hari berikutnya atau pada 23 Juni 2020.
Ditambahkannya paspor buronan
Kasus Bank Bali diambil oleh seseorang yang membawa surat kuasa.
Kemudian paspor diminta Imigrasi
untuk dipulangkan pada 27 Juni 2020, setelah Imigrasi mendapatkan surat dari
Kejaksaan Agung RI. Dalam RDP dengan Komisi I DPR RI, Jhoni mengatakan paspor
diminta dikembalikan dengan surat resmi yang dikirim ke rumah yang bersangkutan
di Simprug.
â€Karena rumahnya kosong, kami
titipkan suratnya kepada RT/RW setempat. Ketemu juga dengan orang kejaksaan di
sana, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Mereka melakukan, kami
juga melakukan,†kata Jhoni, di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta.
Ternyata, paspor betul-betul
dipulangkan oleh yang bersangkutan ke Imigrasi via pos tanggal 5 Juli 2020.
Jhoni pun heran, karena dari petunjuk pada paspor, paspor baru tersebut belum
pernah dipergunakan karena tidak ditemukan cap stempel Imigrasi.
Berarti, berdasarkan petunjuk
yang ditemukan pada paspor, secara de jure Djoko dianggap tidak keluar dari
Indonesia. â€De jure-nya dia di Indonesia. De jure, tapi de facto-nya ya bisa di
mana-mana,†kata Jhoni sambil menggelengkan kepala.
Kepala Biro Koordinasi dan
Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim,
Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol
Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet diduga terkait kasus Djoko Tjandra masuk
ke Indonesia.
Ketiganya langsung dimutasi
jabatan oleh Kapolri Jenderal Pol Idham Azis.
Hasil penyelidikan, Prasetijo
diketahui mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri
tanpa seizin pimpinan.
Tak hanya itu, pemberian surat
keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Tjandra juga melibatkan Prasetijo.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden
Prabowo Argo Yuwono menuturkan orang yang mendatangi RS Polri Said Sukanto,
Jakarta untuk melakukan rapid test (tes cepat) terkait permintaan surat
keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra, bukanlah Djoko Tjandra
sendiri. Namun orang tersebut mengaku sebagai Djoko Tjandra.
â€Ada dua orang yang datang ke RS
Kramat Jati (RS Said Sukanto), kemudian diterima oleh dokter dan dilakukan
rapid test, hasilnya nonreaktif. Orang itu menyebut atas nama Djoko Tjandra,
tidak menunjukkan KTP ya karena di situ ada Brigjen PU yang mendampingi,†ujar
Argo.
Dengan surat jalan tersebut,
Djoko Tjandra diduga melakukan perjalanan ke Pontianak, lalu terbang dengan
pesawat pribadi ke Malaysia. Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol
Prasetijo Utomo pun ditetapkan statusnya sebagai tersangka atas kaburnya
terpidana Djoko Tjandra. (tim/fin/ful)