26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Sidang Perdana Sofyan Basir Belum Ungkap soal Fee

Peran Sofyan Basir dalam
kasus proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1 dibeber di Pengadilan Tipikor Jakarta
kemarin (24/6). Mantan Dirut PLN itu didakwa memberikan kesempatan dan
fasilitas untuk Eni Maulani Saragih dan Johannes B. Kotjo melakukan tindak
pidana korupsi.

Dalam surat
dakwaan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan, Sofyan memfasilitasi
pertemuan Eni, Idrus Marham, dan Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN.

Pertemuan itu
dilakukan untuk mempercepat proses kesepakatan proyek independent power
producer (IPP) PLTU RIAU 1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI)
dan Blackgold Natural Resources serta China Huadian Engineering yang dibawa
Kotjo.

“Padahal,
terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat fee sebagai imbalan dari
Kotjo,” ungkap jaksa KPK Budi Sarumpaet. Dalam persidangan sebelumnya, Eni yang
saat itu menjabat wakil ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar dan Idrus
sebagai Sekjen Partai Golkar didakwa menerima uang secara bertahap dari Kotjo
yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 miliar.

Baca Juga :  Izin Tidak Sesuai, Pabrik CPO PT PSAM Diduga Ilegal

Rangkaian perbuatan
Sofyan dalam dakwaan itu pernah terungkap dalam persidangan Eni, Idrus, dan
Kotjo. Misalnya, pada awal 2017, Sofyan mengajak dua direksi PLN, Supangkat
Iwan Santoso dan Nicke Widyawati, bertemu dengan Eni dan Kotjo di Hotel
Fairmont Jakarta. Dalam pertemuan itu, Eni dan Kotjo meminta proyek PLTU Riau 1
tetap dicantumkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN
tahun 2017.

“Kemudian,
terdakwa (Sofyan) meminta Nicke (sekarang menjabat Dirut Pertamina, Red) untuk
menindaklanjuti permintaan tersebut,” ungkap jaksa.

Setelah
pertemuan itu, pada 29 Maret 2017, IPP PLTU 2 x 300 megawatt di Peranap, Indragiri
Hulu, Riau, akhirnya masuk RUPTL PLN 2017-2026. Juga, disetujui masuk rencana
kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Rencana
itu pernah diajukan Samantaka Batubara (anak usaha Blackgold) pada 1 Oktober
2015.

Dalam dakwaan,
jaksa KPK tidak memerinci indikasi penerimaan janji atau fee PLTU Riau 1 untuk
Sofyan sebagaimana pernah diungkap di awal penyidikan. Menurut jaksa,
penerimaan janji itu akan dibuktikan dalam persidangan. “Nanti kami lihat
pembantuannya di mana,” kata jaksa setelah sidang.

Baca Juga :  Wanita Paruh Baya yang Ditemukan Meninggal, Ternyata PMKS Binaan Dinso

Jaksa
menggunakan konstruksi pasal 12 huruf a juncto pasal 15 UU Pemberantasan
Tipikor juncto pasal 56 ke-2 KUHP dan pasal 11 juncto pasal 15 UU Pemberantasan
Tipikor juncto pasal 56 ke-2 KUHP. Dengan konstruksi dua pasal itu, KPK menitikberatkan
pada pembuktian peran Sofyan dalam membantu pelaku lain

Sofyan beserta tim kuasa
hukum langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan yang dibacakan
jaksa. Menurut Susilo Ariwibowo, penasihat hukum Sofyan, penerapan pasal 15 UU
Tipikor yang dihubungkan dengan pasal 56 ke-2 KUHP berlebihan. Dengan demikian,
itu membuat surat dakwaan kabur.

“Hal ini telah membingungkan terdakwa Sofyan dan penasihat
hukumnya di dalam pemahaman dugaan perbuatan pembantuan yang dituduhkan kepada
terdakwa sehingga menyulitkan dalam melakukan pembelaan,” jelasnya. Mereka pun
meminta majelis hakim untuk membatalkan dakwaan tersebut serta membebaskan
Sofyan dari seluruh dakwaan penuntut umum.(jpc)

Peran Sofyan Basir dalam
kasus proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1 dibeber di Pengadilan Tipikor Jakarta
kemarin (24/6). Mantan Dirut PLN itu didakwa memberikan kesempatan dan
fasilitas untuk Eni Maulani Saragih dan Johannes B. Kotjo melakukan tindak
pidana korupsi.

Dalam surat
dakwaan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan, Sofyan memfasilitasi
pertemuan Eni, Idrus Marham, dan Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN.

Pertemuan itu
dilakukan untuk mempercepat proses kesepakatan proyek independent power
producer (IPP) PLTU RIAU 1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI)
dan Blackgold Natural Resources serta China Huadian Engineering yang dibawa
Kotjo.

“Padahal,
terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat fee sebagai imbalan dari
Kotjo,” ungkap jaksa KPK Budi Sarumpaet. Dalam persidangan sebelumnya, Eni yang
saat itu menjabat wakil ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar dan Idrus
sebagai Sekjen Partai Golkar didakwa menerima uang secara bertahap dari Kotjo
yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 miliar.

Baca Juga :  Izin Tidak Sesuai, Pabrik CPO PT PSAM Diduga Ilegal

Rangkaian perbuatan
Sofyan dalam dakwaan itu pernah terungkap dalam persidangan Eni, Idrus, dan
Kotjo. Misalnya, pada awal 2017, Sofyan mengajak dua direksi PLN, Supangkat
Iwan Santoso dan Nicke Widyawati, bertemu dengan Eni dan Kotjo di Hotel
Fairmont Jakarta. Dalam pertemuan itu, Eni dan Kotjo meminta proyek PLTU Riau 1
tetap dicantumkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN
tahun 2017.

“Kemudian,
terdakwa (Sofyan) meminta Nicke (sekarang menjabat Dirut Pertamina, Red) untuk
menindaklanjuti permintaan tersebut,” ungkap jaksa.

Setelah
pertemuan itu, pada 29 Maret 2017, IPP PLTU 2 x 300 megawatt di Peranap, Indragiri
Hulu, Riau, akhirnya masuk RUPTL PLN 2017-2026. Juga, disetujui masuk rencana
kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Rencana
itu pernah diajukan Samantaka Batubara (anak usaha Blackgold) pada 1 Oktober
2015.

Dalam dakwaan,
jaksa KPK tidak memerinci indikasi penerimaan janji atau fee PLTU Riau 1 untuk
Sofyan sebagaimana pernah diungkap di awal penyidikan. Menurut jaksa,
penerimaan janji itu akan dibuktikan dalam persidangan. “Nanti kami lihat
pembantuannya di mana,” kata jaksa setelah sidang.

Baca Juga :  Wanita Paruh Baya yang Ditemukan Meninggal, Ternyata PMKS Binaan Dinso

Jaksa
menggunakan konstruksi pasal 12 huruf a juncto pasal 15 UU Pemberantasan
Tipikor juncto pasal 56 ke-2 KUHP dan pasal 11 juncto pasal 15 UU Pemberantasan
Tipikor juncto pasal 56 ke-2 KUHP. Dengan konstruksi dua pasal itu, KPK menitikberatkan
pada pembuktian peran Sofyan dalam membantu pelaku lain

Sofyan beserta tim kuasa
hukum langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan yang dibacakan
jaksa. Menurut Susilo Ariwibowo, penasihat hukum Sofyan, penerapan pasal 15 UU
Tipikor yang dihubungkan dengan pasal 56 ke-2 KUHP berlebihan. Dengan demikian,
itu membuat surat dakwaan kabur.

“Hal ini telah membingungkan terdakwa Sofyan dan penasihat
hukumnya di dalam pemahaman dugaan perbuatan pembantuan yang dituduhkan kepada
terdakwa sehingga menyulitkan dalam melakukan pembelaan,” jelasnya. Mereka pun
meminta majelis hakim untuk membatalkan dakwaan tersebut serta membebaskan
Sofyan dari seluruh dakwaan penuntut umum.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru