Site icon Prokalteng

KPK Rombak Satgas Kasus Suap KPU

kpk-rombak-satgas-kasus-suap-kpu

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merombak para
personel penyidik yang menangani dugaan suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Kebijakan tersebut dianggap tidak lazim oleh
sebagian pegawai KPK. Sebab, pergantian personel dianggap bakal makin
menyulitkan pengungkapan kasus yang melibatkan mantan caleg PDIP Harun Masiku
itu.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengakui adanya perombakan
pegawai yang menangani kasus suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota
DPR tersebut.

Menurut dia, perubahan formasi pegawai yang tergabung dalam
satuan tugas (satgas) adalah hal wajar. ”Pasti ganti (pegawai, Red) karena
sudah naik sidik (penyidikan),” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin
(19/1).

Lili menyebutkan, perombakan itu dilakukan lantaran perubahan
status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Menurut dia, pola tersebut juga
diterapkan beberapa lembaga lain. Lili lantas mencontohkan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK). ”Di LPSK, ketika kasus masih di divisi penerimaan
permohonan, lalu masuk pendalaman investigasi dan setelah diputus, maka
petugasnya ganti,” ujar mantan wakil ketua LPSK itu.

Namun, sumber Jawa Pos di internal KPK menyampaikan pernyataan berbeda.
Dia menyebutkan, perombakan tim satgas itu tidak lazim di lingkungan komisi
antirasuah tersebut. Pimpinan KPK periode sebelumnya, kata sumber itu, hampir
jarang mengganti personel. Selama ini penyidik KPK umumnya merangkap sebagai
penyelidik. Karena itu, ketika kasus tersebut naik ke penyidikan, pimpinan
tidak perlu lagi menunjuk penyidik lain. ”Pergantian (personel satgas, Red) itu
memang wewenang pimpinan, tapi sangat tidak wajar,” ucapnya kepada Jawa
Pos
.

Sumber lain menjelaskan, penunjukan pegawai lain untuk menangani
sebuah perkara akan menghambat kinerja. ”Secara aturan memang tidak ada yang
dilanggar pimpinan (dalam perombakan tim penindakan, Red), tapi memang tidak
wajar,” ungkapnya.

Harun Masiku Masih Diburu

Di sisi lain, KPK memastikan bakal menerima semua informasi yang
berkaitan dengan posisi Harun Masiku, mantan caleg PDIP yang menjadi tersangka
suap. Bukan hanya informasi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, tapi
juga dari semua pihak yang punya data dan fakta tentang jejak politikus yang
diduga menyuap mantan Komisioner KPK Wahyu Setiawan tersebut. Baik itu jejak di
dalam negeri maupun luar negeri. ”Informasi selain dari imigrasi tentu menjadi
bahan yang berharga bagi KPK,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada Jawa Pos.

KPK, tegas Ali, masih berpegang pada pernyataan imigrasi bahwa
Harun ada di Singapura dua hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT). Namun,
berdasar penelusuran Jawa Pos, Harun sejatinya berada di Indonesia pada 7
Januari atau sehari sebelum OTT. Keberadaan Harun di dalam negeri itu dikuatkan
pengakuan istrinya, Hildawati. Hilda –sapaan Hildawati– mengatakan, Harun
berada di Jakarta pada 7 Januari. Informasi serupa disampaikan petugas Bandara
Soekarno-Hatta. Menurut petugas tersebut, Harun ada dalam daftar manifes
penerbangan Batik Air rute Singapura–Jakarta.

Namun, Lili kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa
berpegang pada informasi selain dari instansi berwenang. Dengan kata lain, KPK
tetap berpegang pada keterangan imigrasi soal lalu lintas Harun. ”Sampai
sekarang belum ada info dari imigrasi terkait keberadaannya (Harun) di
Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar, perbedaan
sikap di lingkungan KPK menunjukkan adanya dua gerbong berbeda. Gerbong pertama
diisi golongan yang terkesan ingin melindungi Harun. Sedangkan gerbong lain
berupaya agar Harun cepat tertangkap. ”Jadi, sepertinya ada orang yang kerja
dan ada orang yang menghalangi orang kerja,” terangnya.

Haris mengatakan, situasi itu memunculkan persepsi buruk
terhadap kinerja pimpinan KPK saat ini. Bahkan, bukan tidak mungkin pimpinan
KPK akan dicap sebagai pembohong jika pernyataan tentang posisi Harun yang
masih di luar negeri (sebagaimana informasi dari Ditjen Imigrasi) bisa
dipatahkan dengan bukti dan keterangan pihak lain.

Persepsi buruk tersebut juga mengancam kredibilitas Polri.
Sebab, Polri dianggap terlibat dalam upaya menghalangi penyidik KPK saat
mengejar Harun. Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menyatakan, Polri dalam
kepemimpinan Jenderal Idham Azis hanya terpaku pada membangun pencitraan. Namun
tidak memperhatikan substansi penegakan hukum. ”Ukuran dari kinerja Polri itu
menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya,” tutur dia.

Saat polisi memeriksa penyidik KPK di PTIK, menurut Bambang,
sebenarnya itu sudah jauh dari tupoksinya. Seharusnya seorang tersangka yang
masuk ke wilayah kepolisian justru ditangkap untuk membantu penegakan hukum.
”Bukan malah dilindungi. Saya yakin lah dalam mengejar semacam itu sudah ada
surat tugas ya,” terangnya.

Kinerja kepolisian belakangan tentu memiliki risiko. Kepercayaan
publik yang menurun bisa memicu masyarakat menarik dukungan terhadap Polri.
”Saat itu terjadi, bisa jadi ada desakan kuat untuk merevisi UU 2/2002 tentang
Kepolisian,” ujarnya. Bambang mengatakan, memang saat ini UU tersebut telah
berusia 18 tahun. Tentu banyak hal yang perlu dievaluasi. ”Seperti isu Polri
perlu di bawah kementerian,” ucapnya.

Begitu juga halnya soal pengawasan terhadap kinerja Polri. Saat
ini memang ada Itwasum dan Propam Polri yang bertugas mengawasi internal
polisi. ”Namun, itu hanya mengawasi personel, bukan Polri sebagai institusi,”
terangnya.

Kompolnas juga bukan lembaga pengawas Polri. Dalam UU 2/2002,
Kompolnas hanya memiliki tugas memberikan masukan ke presiden terkait Polri.
”Tidak ada yang mengikat. Sanksi juga tidak bisa diberikan,” ujarnya.

Bambang menambahkan, Polri yang ideal merupakan institusi yang
menjaga jarak dengan kekuasaan. Bukan sebagai aparat rezim atau petugas partai,
melainkan sebagai aparat negara. ”Yang dilayani negara dan masyarakat,”
tuturnya.(jpc)

 

Exit mobile version