PEMERINTAH terus
berupaya membersihkan aparatur sipil negara (ASN) dari tindak pidana korupsi.
Sayangnya visi itu belu sejalan dengan pemerintah daerah. Buktinya hingga
terdapat 168 ASN yang terseret kasus tindak pidana korupsi belum dipecat dari
statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Pernyataan itu dikemukakan oleh Plt Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik dalam acara ‘Penyelesaian
Hukum Bidang Otonomi Daerah’ di Hotel Mercure, Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis
(15/8).
Dikatakannya ada ratusan ASN yang terlibat kasus korupsi.
Hingga kini mereka belum diberhentikan dari statusnya sebagai PSN. Umumnya ASN
itu berasal dari instansi daerah. “Ada dari lingkup provinsi, pemerintah
kabupaten/kota. Total semua kurang lebih 168 orang,†kata Akmal. Rinciannya, 10
PNS di lingkup provinsi, 139 PNS pemerintah kabupaten, dan 19 PNS di pemerintah
kota.
Seharusnya, kata Akmal, 168 ASN sudah dijatuhkan hukuman
diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH). Nah, kewenangan melakukan PTDH berada
di tangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) daerah setempat. Sayangnya untuk
mendorong PPK menggunakan kewenangannya itu tidak mudah.
Selain itu, kendalanya ada sejumlah perbedaan data antara
Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Perbedaan data itu turut menghambat
proses PTDH. “Kami sudah berupaya semaksimal mungkin, sudah melakukan
koordinasi yang intensif bersama teman-teman MenPAN-RB, KPK, BKN, dan mencoba
mendorong agar upaya kita untuk penegakkan hukum bagi ASN ini bisa
dilaksanakan,†ujar Akmal mengklaim.
Upaya penegakan hukum terhadap oknum ASN yang terseret
kasus korupsi ini juga dikeluhkan oleh Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri
Kombes Gatot Agus Budi Utomo. Menurut Gatot, vonis yang dijatuhkan kepada para
pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor) masih ringan. Hal itu membuat para
pelaku tak kapok melakukan praktik rasuah.
“Kadang penegak hukum sudah capek-capek melakukan
penyidikan, mereka (koruptor) disidang berbulan-bulan. Kita lihat tontonan
televisi sidang mereka. Tetapi begitu divonis, ternyata ringan,†ucap Gatot.
Dia menyebut, sebanyak 84 persen koruptor rata-rata hanya
dihukum 2 tahun lima bulan penjara. Data itu mengacu ke penelitian yang
dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW). “Kalau hukum hanya seperti itu,
hanya sekecil itu, bagaimana mau membuat pelaku jera?,†ucapnya.
Padahal korupsi saat ini bukan hanya melibatkan pejabat
eksekutif, melainkan juga legislatif bahkan penegak hukum sendiri. “Kalau sudah
penegak hukum saja kena (kasus korupsi), mau jadi apa negara ini. Makanya
korupsi itu dibilang extraordinary crime (kejahatan luar biasa).†(jpc)