31.5 C
Jakarta
Thursday, April 17, 2025

Tim Hukum PDIP Sebut OTT Wahyu Setiawan Cacat Hukum

Anggota Tim Kuasa
Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maqdir Ismail menilai
operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan cacat hukum.
Pasalnya, Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) kasus tersebut dikeluarkan
saat pimpinan KPK jilid IV tidak memiliki kewenangan penuh melakukan penindakan
hukum.

Maqdir berpedoman pada
Keppres Nomor 129/P/2019 tentang Pemberhentian Anggota KPK periode 2015-2019
yang ditandatangani Presiden pada 21 Oktober 2019. Kemudian dalam Keppres
lainnya pimpinan KPK jilid V, baru akan dilantik pada 20 Desember 2019.

Artinya sejak tanggal
Keppres pemberhentian dikeluarkan, hingga pelantikan pimpinan KPK baru,
pimpinan KPK jilid IV dianggap tidak memiliki kewenangan penindakan hukum.
Sedangkan penandatanganan Sprin Lidik kasus Wahyu dikeluarkan pada 20 Desember
2019 tepat saat pergantian tampuk kekuasaan komisi antirasuah.

Baca Juga :  Jago Merah Lahap Hunian di Jalan Patimura

“Pimpinan KPK (lama)
tidak diberi kewenangan penuh untuk melakukan tindak-tindakan apa yang selama
ini menjadi kewenangan mereka,” kata Maqdir di DPP PDIP Menteng, Jakarta Pusat,
Rabu (15/1).

Selain itu, legalitas
pimpinan lama KPK juga dipertanyakan Maqdir lantaran ketiga pimpinannya
menyatakan menyerahkan mandat KPK kepada Presiden pada 13 September 2019. Tiga
pimpinan itu yakni Agus Raharjo, Saut Situmorang, dan Laode Syarief.

Pernyataan tersebut
dianggap Maqdir memenuhi unsur pengunduran diri sebagai pimpinan. Bahwa dalam
Undang-undang KPK disebutkan salah satu syarat pimpinan KPK berhenti dari
jabatannya yaitu ketika mengajukan pengunduran diri, meninggal dunia atau
berhalangan tetap, dan lain sebagainya.

Kualifikasi berhenti
dengan menyatakan mundur itu sendiri tidak dijelaskan oleh Undang-undang. Serta
tidak disebutkan memerlukan harus mendapat persetujuan DPR RI.

Baca Juga :  Sempat Berkerumun, Ratusan Warga Yang Antre Diperintahkan Jaga Jarak

“Dalam KUHP pimpinan
KPK yang lama itu sifat dan kegiatan mereka adalah kolektif kolegial. Ketika
ada tiga orang mengundurkan diri mestinya ini (kasus Wahyu) tidak sah. Tidak
bisa dilakukan proses hukum oleh mereka,” jelas Maqdir.

“Sekali lagi saya
tegaskan bahwa, antara 21 Oktober sampai dengan 20 Desember kemungkinan lima
orang pimpinan KPK itu tidak mempunyai kewenangan lagi,” pungkasnya.(jpc)

 

Anggota Tim Kuasa
Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maqdir Ismail menilai
operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan cacat hukum.
Pasalnya, Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) kasus tersebut dikeluarkan
saat pimpinan KPK jilid IV tidak memiliki kewenangan penuh melakukan penindakan
hukum.

Maqdir berpedoman pada
Keppres Nomor 129/P/2019 tentang Pemberhentian Anggota KPK periode 2015-2019
yang ditandatangani Presiden pada 21 Oktober 2019. Kemudian dalam Keppres
lainnya pimpinan KPK jilid V, baru akan dilantik pada 20 Desember 2019.

Artinya sejak tanggal
Keppres pemberhentian dikeluarkan, hingga pelantikan pimpinan KPK baru,
pimpinan KPK jilid IV dianggap tidak memiliki kewenangan penindakan hukum.
Sedangkan penandatanganan Sprin Lidik kasus Wahyu dikeluarkan pada 20 Desember
2019 tepat saat pergantian tampuk kekuasaan komisi antirasuah.

Baca Juga :  Jago Merah Lahap Hunian di Jalan Patimura

“Pimpinan KPK (lama)
tidak diberi kewenangan penuh untuk melakukan tindak-tindakan apa yang selama
ini menjadi kewenangan mereka,” kata Maqdir di DPP PDIP Menteng, Jakarta Pusat,
Rabu (15/1).

Selain itu, legalitas
pimpinan lama KPK juga dipertanyakan Maqdir lantaran ketiga pimpinannya
menyatakan menyerahkan mandat KPK kepada Presiden pada 13 September 2019. Tiga
pimpinan itu yakni Agus Raharjo, Saut Situmorang, dan Laode Syarief.

Pernyataan tersebut
dianggap Maqdir memenuhi unsur pengunduran diri sebagai pimpinan. Bahwa dalam
Undang-undang KPK disebutkan salah satu syarat pimpinan KPK berhenti dari
jabatannya yaitu ketika mengajukan pengunduran diri, meninggal dunia atau
berhalangan tetap, dan lain sebagainya.

Kualifikasi berhenti
dengan menyatakan mundur itu sendiri tidak dijelaskan oleh Undang-undang. Serta
tidak disebutkan memerlukan harus mendapat persetujuan DPR RI.

Baca Juga :  Sempat Berkerumun, Ratusan Warga Yang Antre Diperintahkan Jaga Jarak

“Dalam KUHP pimpinan
KPK yang lama itu sifat dan kegiatan mereka adalah kolektif kolegial. Ketika
ada tiga orang mengundurkan diri mestinya ini (kasus Wahyu) tidak sah. Tidak
bisa dilakukan proses hukum oleh mereka,” jelas Maqdir.

“Sekali lagi saya
tegaskan bahwa, antara 21 Oktober sampai dengan 20 Desember kemungkinan lima
orang pimpinan KPK itu tidak mempunyai kewenangan lagi,” pungkasnya.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru