28.8 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Kontrak Politik dari DPR, Capim KPK Diminta Jalankan Hasil Revisi UU

Seleksi calon pimpinan
(capim) KPK memasuki babak akhir. Hari ini dan besok (11-12/9), sepuluh capim
akan mengikuti 
fit and proper test (uji kelayakan dan
kepatutan) di hadapan para anggota Komisi III DPR.

Selain itu, DPR
memberikan tambahan syarat. Yakni, para capim diminta menandatangani dokumen
kontrak politik. Salah satu isinya, pimpinan KPK wajib menjalankan ketentuan
Undang-Undang KPK hasil revisi.

“Karena pimpinan (KPK,
Red) kan dilantik setelah undang-undang direvisi,” kata Wakil Ketua DPR Fahri
Hamzah di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (10/9).

Menurut dia, kontrak
politik itu merupakan seruan moral kepada pimpinan KPK untuk mematuhi UU.
Sebagai lembaga superbodi, ucap dia, KPK harus berjalan sesuai dengan arahan
UU, terutama UU KPK hasil revisi. Mulai penyadapan, penggeledahan, hingga
penangkapan. “Jangan seperti sekarang, seenaknya langgar aturan. Taat dong
dengan undang-undang,” tegasnya.

DPR membantah langkah
tersebut dianggap upaya memperlemah KPK. Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin
menyampaikan, kontrak politik tersebut merupakan bagian dari kesepakatan di
internal komisi III. Dia menyatakan, hal itu adalah bagian dari penegakan
integritas anggota KPK. Dia juga menjamin proses tersebut tidak akan mengganggu
independensi KPK. “Itu maksudnya agar KPK menjalankan UU. Tidak lebih dari
itu,” ujar politikus Golkar tersebut.

Bagaimana jika ada
capim yang menolak bertanda tangan? Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menambahkan,
pihaknya akan menyerahkan sepenuhnya kepada para capim. Dia menyampaikan bahwa
DPR tidak akan memaksa. ’’Kami hanya minta kejujuran. Tidak akan menjadikan itu
sebagai faktor dominan dalam uji kepatutan dan kelayakan,’’ paparnya.

Sekretaris jenderal (Sekjen)
PPP itu mengungkapkan, pihaknya akan mengutamakan tiga hal dalam penilaian.
Yaitu, integritas, kompetensi, dan leadership.

Sebagaimana
diberitakan, fit and proper test diagendakan berlangsung hari ini dan besok
(11-12/9). Mekanismenya, satu orang capim akan dipanel secara bergantian oleh
seluruh anggota dewan. DPR berjanji semua proses berlangsung terbuka. Dengan
begitu, publik bisa ikut menilai kecakapan serta kapabilitas para capim.

Sementara itu,
dukungan untuk KPK tidak hanya disampaikan kalangan akademisi dan masyarakat
sipil, tapi juga lembaga-lembaga keumatan. Di antaranya, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PB NU), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Paritas
Institute, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).

Baca Juga :  Dua Terpidana Korupsi Dijebloskan ke Penjara

Secara umum,
perwakilan lembaga keumatan itu mendesak presiden untuk tidak mendukung
pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis sebagaimana yang terjadi
sekarang. Mereka juga mewanti-wanti presiden untuk tidak menyetujui revisi UU
KPK inisiatif DPR. Setidaknya, itu bisa dilakukan Jokowi dengan tidak mengirim
surat presiden (supres) ke DPR.

Mereka juga mengajak
masyarakat menyuarakan serta menghadang pelemahan pemberantasan korupsi. Ajakan
itu bukan tanpa alasan. Sebab, korupsi adalah akar kemiskinan yang merenggut
hak-hak warga masyarakat secara umum. ’’Pernyataan sikap dan desakan ini kami
landaskan di atas nilai-nilai keagamaan yang kami yakini,’’ kata Pendeta Hendry
Lokra dari PGI.

Di sisi lain, ada pula
kelompok masyarakat yang mendukung revisi UU KPK. Misalnya, yang disuarakan
massa yang menamai diri mereka Civil Society Movement (CSM). Dukungan terhadap
revisi UU KPK itu disuarakan CSM di depan gedung KPK bersamaan dengan
pernyataan sikap perwakilan lembaga keumatan di lobi gedung.

Dalam orasinya,
kelompok CSM yang mayoritas mengenakan pakaian serbaputih kombinasi merah
menyebut revisi UU KPK dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan KPK. Revisi UU
itu tidak ditujukan untuk melemahkan KPK.

“Justru revisi UU KPK
ini sangat penting untuk memasukkan poin instrumen pengawasan terhadap sepak
terjang KPK,” ujar salah seorang orator CSM.

Wapres Setuju KPK Punya SP3

Di bagian lain, sikap
pemerintah terhadap revisi UU KPK mulai tampak. Isyarat persetujuan terhadap
langkah DPR muncul kemarin (10/9) dalam pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK). JK
memang tidak secara eksplisit menyatakan setuju. Dia memilih untuk menyebut
tidak semua isi draf RUU KPK bakal disetujui pemerintah.

Saat ditemui di kantor
Wapres kemarin, JK menyebutkan, saat ini pemerintah menyiapkan daftar isian
masalah (DIM) terkait dengan draf yang diajukan DPR. Dia menyatakan, hanya
beberapa hal yang disetujui pemerintah. Tidak seluruh isi draf disetujui.
’’Seperti katakanlah, dalam penuntutan, harus koordinasi dengan jaksa agung.
Nggak perlu itu,’’ terangnya.

Kemudian, perubahan
mekanisme pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Menurut JK, hal itu juga tidak perlu diubah. Lebih baik tetap berjalan seperti
yang selama ini dilakukan KPK.

Demikian pula
pembatasan sumber penyelidik KPK. JK menyampaikan sikap pemerintah bahwa
rekrutmen penyelidik di KPK akan tetap seperti sekarang.

Baca Juga :  20 Kandidat Capim KPK Jalani Tes Kesehatan di RSPAD Gatot Subroto

Meski demikian, dalam
beberapa hal lain, JK mengisyaratkan bahwa pemerintah setuju. Misalnya,
keberadaan dewan pengawas, mekanisme penyadapan, hingga persoalan operasi
tangkap tangan dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Apakah itu berarti pemerintah setuju dengan revisi UU KPK?

JK enggan menjawab
lugas. ’’Secara prinsip perlu perbaikan-perbaikan,’’ lanjutnya. Disinggung
mengenai kehati-hatian KPK dalam menetapkan tersangka berdasar dua alat bukti,
JK langsung menyergah. ’’Lha, Lino (R.J. Lino) lima tahun (tersangka), mana
buktinya?’’ ucap mantan Menko Kesra itu.

Sekadar diketahui,
R.J. Lino adalah mantan Dirut PT Pelindo II. Pada pertengahan Desember 2015,
Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan korupsi pengadaan tiga
unit Quay Container Crane di perusahaan tersebut.

Setelah penetapan
tersangka itu, para pemegang saham memutuskan untuk memberhentikan Lino dari
jabatannya. Beberapa kali Lino diperiksa, baik sebagai tersangka maupun saksi.
Namun, hingga kini kasus tersebut tak kunjung masuk ke pengadilan. Lino tetap
berstatus tersangka selama hampir empat tahun. Meski sempat dipertanyakan, KPK
berupaya meyakinkan bahwa kasus Lino segera beres.

JK melanjutkan, tidak
boleh seseorang ditersangkakan lebih dahulu, baru alat bukti dilengkapi. Itu
akan menghabisi seluruh kehidupannya. Dengan adanya wewenang SP3, kekeliruan
yang terjadi bisa dipulihkan. Dalam kasus Lino, misalnya, selama lima tahun
kasusnya menggantung. Mau dilepas tidak ada ruang, tetapi di sisi lain bukti
yang ada belum cukup untuk menuntutnya. Padahal, kata JK, Lino sudah kehilangan
segalanya.

Dia menuturkan, ada
beberapa hal yang memang perlu diperbaiki untuk memperkuat KPK. Keberadaan
dewan pengawas, misalnya, jangan langsung dianggap merugikan. Kerja presiden
pun diawasi, yakni oleh DPR. Karena itu, bisa saja keberadaan dewan pengawas
malah akan meningkatkan kinerja KPK. Misalnya, pengawasan terhadap penyadapan.

Prinsipnya, tutur JK,
pemerintah setuju bahwa sistem penyadapan KPK tetap seperti yang berjalan
selama ini. Hanya, perlu pengawasan dan audit agar tidak merusak privasi orang.
Dia membandingkannya dengan penyadapan di luar Indonesia yang begitu rumit karena
harus ada izin pengadilan. Izin penyadapan ke pengadilan tidak akan diterapkan
di Indonesia, tetapi tetap perlu audit. (mar/tyo/byu/lum/c5/oni)

 

Seleksi calon pimpinan
(capim) KPK memasuki babak akhir. Hari ini dan besok (11-12/9), sepuluh capim
akan mengikuti 
fit and proper test (uji kelayakan dan
kepatutan) di hadapan para anggota Komisi III DPR.

Selain itu, DPR
memberikan tambahan syarat. Yakni, para capim diminta menandatangani dokumen
kontrak politik. Salah satu isinya, pimpinan KPK wajib menjalankan ketentuan
Undang-Undang KPK hasil revisi.

“Karena pimpinan (KPK,
Red) kan dilantik setelah undang-undang direvisi,” kata Wakil Ketua DPR Fahri
Hamzah di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (10/9).

Menurut dia, kontrak
politik itu merupakan seruan moral kepada pimpinan KPK untuk mematuhi UU.
Sebagai lembaga superbodi, ucap dia, KPK harus berjalan sesuai dengan arahan
UU, terutama UU KPK hasil revisi. Mulai penyadapan, penggeledahan, hingga
penangkapan. “Jangan seperti sekarang, seenaknya langgar aturan. Taat dong
dengan undang-undang,” tegasnya.

DPR membantah langkah
tersebut dianggap upaya memperlemah KPK. Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin
menyampaikan, kontrak politik tersebut merupakan bagian dari kesepakatan di
internal komisi III. Dia menyatakan, hal itu adalah bagian dari penegakan
integritas anggota KPK. Dia juga menjamin proses tersebut tidak akan mengganggu
independensi KPK. “Itu maksudnya agar KPK menjalankan UU. Tidak lebih dari
itu,” ujar politikus Golkar tersebut.

Bagaimana jika ada
capim yang menolak bertanda tangan? Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menambahkan,
pihaknya akan menyerahkan sepenuhnya kepada para capim. Dia menyampaikan bahwa
DPR tidak akan memaksa. ’’Kami hanya minta kejujuran. Tidak akan menjadikan itu
sebagai faktor dominan dalam uji kepatutan dan kelayakan,’’ paparnya.

Sekretaris jenderal (Sekjen)
PPP itu mengungkapkan, pihaknya akan mengutamakan tiga hal dalam penilaian.
Yaitu, integritas, kompetensi, dan leadership.

Sebagaimana
diberitakan, fit and proper test diagendakan berlangsung hari ini dan besok
(11-12/9). Mekanismenya, satu orang capim akan dipanel secara bergantian oleh
seluruh anggota dewan. DPR berjanji semua proses berlangsung terbuka. Dengan
begitu, publik bisa ikut menilai kecakapan serta kapabilitas para capim.

Sementara itu,
dukungan untuk KPK tidak hanya disampaikan kalangan akademisi dan masyarakat
sipil, tapi juga lembaga-lembaga keumatan. Di antaranya, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PB NU), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Paritas
Institute, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).

Baca Juga :  Dua Terpidana Korupsi Dijebloskan ke Penjara

Secara umum,
perwakilan lembaga keumatan itu mendesak presiden untuk tidak mendukung
pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis sebagaimana yang terjadi
sekarang. Mereka juga mewanti-wanti presiden untuk tidak menyetujui revisi UU
KPK inisiatif DPR. Setidaknya, itu bisa dilakukan Jokowi dengan tidak mengirim
surat presiden (supres) ke DPR.

Mereka juga mengajak
masyarakat menyuarakan serta menghadang pelemahan pemberantasan korupsi. Ajakan
itu bukan tanpa alasan. Sebab, korupsi adalah akar kemiskinan yang merenggut
hak-hak warga masyarakat secara umum. ’’Pernyataan sikap dan desakan ini kami
landaskan di atas nilai-nilai keagamaan yang kami yakini,’’ kata Pendeta Hendry
Lokra dari PGI.

Di sisi lain, ada pula
kelompok masyarakat yang mendukung revisi UU KPK. Misalnya, yang disuarakan
massa yang menamai diri mereka Civil Society Movement (CSM). Dukungan terhadap
revisi UU KPK itu disuarakan CSM di depan gedung KPK bersamaan dengan
pernyataan sikap perwakilan lembaga keumatan di lobi gedung.

Dalam orasinya,
kelompok CSM yang mayoritas mengenakan pakaian serbaputih kombinasi merah
menyebut revisi UU KPK dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan KPK. Revisi UU
itu tidak ditujukan untuk melemahkan KPK.

“Justru revisi UU KPK
ini sangat penting untuk memasukkan poin instrumen pengawasan terhadap sepak
terjang KPK,” ujar salah seorang orator CSM.

Wapres Setuju KPK Punya SP3

Di bagian lain, sikap
pemerintah terhadap revisi UU KPK mulai tampak. Isyarat persetujuan terhadap
langkah DPR muncul kemarin (10/9) dalam pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK). JK
memang tidak secara eksplisit menyatakan setuju. Dia memilih untuk menyebut
tidak semua isi draf RUU KPK bakal disetujui pemerintah.

Saat ditemui di kantor
Wapres kemarin, JK menyebutkan, saat ini pemerintah menyiapkan daftar isian
masalah (DIM) terkait dengan draf yang diajukan DPR. Dia menyatakan, hanya
beberapa hal yang disetujui pemerintah. Tidak seluruh isi draf disetujui.
’’Seperti katakanlah, dalam penuntutan, harus koordinasi dengan jaksa agung.
Nggak perlu itu,’’ terangnya.

Kemudian, perubahan
mekanisme pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Menurut JK, hal itu juga tidak perlu diubah. Lebih baik tetap berjalan seperti
yang selama ini dilakukan KPK.

Demikian pula
pembatasan sumber penyelidik KPK. JK menyampaikan sikap pemerintah bahwa
rekrutmen penyelidik di KPK akan tetap seperti sekarang.

Baca Juga :  20 Kandidat Capim KPK Jalani Tes Kesehatan di RSPAD Gatot Subroto

Meski demikian, dalam
beberapa hal lain, JK mengisyaratkan bahwa pemerintah setuju. Misalnya,
keberadaan dewan pengawas, mekanisme penyadapan, hingga persoalan operasi
tangkap tangan dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Apakah itu berarti pemerintah setuju dengan revisi UU KPK?

JK enggan menjawab
lugas. ’’Secara prinsip perlu perbaikan-perbaikan,’’ lanjutnya. Disinggung
mengenai kehati-hatian KPK dalam menetapkan tersangka berdasar dua alat bukti,
JK langsung menyergah. ’’Lha, Lino (R.J. Lino) lima tahun (tersangka), mana
buktinya?’’ ucap mantan Menko Kesra itu.

Sekadar diketahui,
R.J. Lino adalah mantan Dirut PT Pelindo II. Pada pertengahan Desember 2015,
Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan korupsi pengadaan tiga
unit Quay Container Crane di perusahaan tersebut.

Setelah penetapan
tersangka itu, para pemegang saham memutuskan untuk memberhentikan Lino dari
jabatannya. Beberapa kali Lino diperiksa, baik sebagai tersangka maupun saksi.
Namun, hingga kini kasus tersebut tak kunjung masuk ke pengadilan. Lino tetap
berstatus tersangka selama hampir empat tahun. Meski sempat dipertanyakan, KPK
berupaya meyakinkan bahwa kasus Lino segera beres.

JK melanjutkan, tidak
boleh seseorang ditersangkakan lebih dahulu, baru alat bukti dilengkapi. Itu
akan menghabisi seluruh kehidupannya. Dengan adanya wewenang SP3, kekeliruan
yang terjadi bisa dipulihkan. Dalam kasus Lino, misalnya, selama lima tahun
kasusnya menggantung. Mau dilepas tidak ada ruang, tetapi di sisi lain bukti
yang ada belum cukup untuk menuntutnya. Padahal, kata JK, Lino sudah kehilangan
segalanya.

Dia menuturkan, ada
beberapa hal yang memang perlu diperbaiki untuk memperkuat KPK. Keberadaan
dewan pengawas, misalnya, jangan langsung dianggap merugikan. Kerja presiden
pun diawasi, yakni oleh DPR. Karena itu, bisa saja keberadaan dewan pengawas
malah akan meningkatkan kinerja KPK. Misalnya, pengawasan terhadap penyadapan.

Prinsipnya, tutur JK,
pemerintah setuju bahwa sistem penyadapan KPK tetap seperti yang berjalan
selama ini. Hanya, perlu pengawasan dan audit agar tidak merusak privasi orang.
Dia membandingkannya dengan penyadapan di luar Indonesia yang begitu rumit karena
harus ada izin pengadilan. Izin penyadapan ke pengadilan tidak akan diterapkan
di Indonesia, tetapi tetap perlu audit. (mar/tyo/byu/lum/c5/oni)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru