25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pengadilan Tolak Gugatan Warga Terhadap FLTI

NANGA BULIK, KALTENGPOS.CO
Pengadilan Negeri
Nanga Bulik Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah memutuskan, untuk menolak
gugatan warga bernama Syemlaba terhadap PT First Lamandau Timber International
(FLTI).

Dalam informasi
putusan Pengadilan Negeri Nanga Bulik dengan nomor perkara 15/Pdt.G/2020/PN.Ngb
disebutkan, pengadilan dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat untuk
seluruhnya dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.

“Putusan
tersebut membuktikan bahwa PT FLTI tidak pernah membebaskan lahan tanpa ganti
rugi, bahkan dalam persidangan terungkap bagi lahan tidak bertuan pun diberikan
ganti rugi melalui Kepala Desa disaksikan Bupati, Kepala Kantor Pertanahan,
Camat dan masyarakat
,” tegas kuasa hukum PT FLTI, Rivai Kusumanegara, melalui rilisnya yang diterima kaltengpos.co,Kamis (8/10).

Sebelumnya,
Syemlaba menggugat bahwa perusahaan belum memberikan ganti rugi terhadap 18
hektar lahan miliknya. Namun setelah dilakukan pemeriksaan bukti-bukti dan
keterangan sejumlah saksi dan ahli, terbukti bahwa klaim penggugat tidak benar.
Karena itu, majelis hakim PN Nanga Bulik menolak gugatan Syemlaba.

Baca Juga :  Viral Postingan Penampakan di Jembatan Kahayan, Cek Video Penelusurann

Dalam fakta
persidangan, lanjut Rivai, terdapat dua jenis lahan yang dibebaskan PT FLTI.

Pertama, lahan
yang dimiliki masyarakat. Kedua, lahan kosong yang disebut sebagai potensi
desa. 
“Menurut keterangan Ahli Hukum Agraria UGM Dr. Jur
Any Andjarwati, SH., M.Jur, tidak ada kewajiban perusahaan membebaskan lahan
kosong, karena senyatanya itu milik negara. Sehingga yang dilakukan FLTI merupakan
iktikad baik perusahaan,” jelas Rivai.

Berdasarkan
fakta persidangan, imbuh Rivai, Syemlaba telah menerima pergantian pembebasan
6,3 hektare lahan miliknya pada tahun 2005.

Selain itu,
Syemlaba sebagai Kepala Adat
juga ikut menandatangani dokumen pembebasan lahan potensi desa tahun 2011
seluas 282 hektare dan tahun 2014 seluas 90,31 hektare.

Menurut Rivai,
Syemlaba hanya bisa menghadirkan bukti-bukti surat. Itu pun, surat keterangan
tanah tahun 1999 yang hanya berupa fotokopi.
“Dan setelah ditelusuri kebenarannya, berdasarkan
pengakuan Irianus WA mantan Kepala Desa Sekoban, surat tersebut baru
ditandatanganinya di tahun 2020 atas permintaan Syemlaba,” ungkap Rivai.

Baca Juga :  Luka Parah, Pengendara Motor Tewas di Jembatan Kahayan

“Untuk
pemeriksaan lebih lanjut, kami sudah melaporkannya ke Polres Lamandau atas dugaan
pemalsuan surat atau penggunaan surat palsu,” lanjut Rivai. 

Dalam fakta
persidangan juga, lanjut Rivai, ternyata lokasi lahan yang digambarkan Syemlaba
tidak ditemukan. Lahan yang diklaim seluas 18 Ha tersebut, digambarkan sebelah
timur, selatan, dan barat berbatasan dengan sungai.

“Setelah kami
cari, tidak ada bentuk lahan seperti diuraikan dalam gugatan. Kami sampai
menghadirkan peta Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2007, karena Syemlaba
menolak sidang pemeriksaan setempat yang diperintahkan Hakim untuk melihat
obyek sengketa,” tegas
Rivai.

Atas penolakan
Syemlaba tersebut serta pembuktian yang dilakukan FLTI, Majelis Hakim dalam
pertimbangan putusan menyatakan obyek sengketa seluas 18 hektare yang
didalilkan Syemlaba tidak ada atau illusoir
.

NANGA BULIK, KALTENGPOS.CO
Pengadilan Negeri
Nanga Bulik Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah memutuskan, untuk menolak
gugatan warga bernama Syemlaba terhadap PT First Lamandau Timber International
(FLTI).

Dalam informasi
putusan Pengadilan Negeri Nanga Bulik dengan nomor perkara 15/Pdt.G/2020/PN.Ngb
disebutkan, pengadilan dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat untuk
seluruhnya dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.

“Putusan
tersebut membuktikan bahwa PT FLTI tidak pernah membebaskan lahan tanpa ganti
rugi, bahkan dalam persidangan terungkap bagi lahan tidak bertuan pun diberikan
ganti rugi melalui Kepala Desa disaksikan Bupati, Kepala Kantor Pertanahan,
Camat dan masyarakat
,” tegas kuasa hukum PT FLTI, Rivai Kusumanegara, melalui rilisnya yang diterima kaltengpos.co,Kamis (8/10).

Sebelumnya,
Syemlaba menggugat bahwa perusahaan belum memberikan ganti rugi terhadap 18
hektar lahan miliknya. Namun setelah dilakukan pemeriksaan bukti-bukti dan
keterangan sejumlah saksi dan ahli, terbukti bahwa klaim penggugat tidak benar.
Karena itu, majelis hakim PN Nanga Bulik menolak gugatan Syemlaba.

Baca Juga :  Viral Postingan Penampakan di Jembatan Kahayan, Cek Video Penelusurann

Dalam fakta
persidangan, lanjut Rivai, terdapat dua jenis lahan yang dibebaskan PT FLTI.

Pertama, lahan
yang dimiliki masyarakat. Kedua, lahan kosong yang disebut sebagai potensi
desa. 
“Menurut keterangan Ahli Hukum Agraria UGM Dr. Jur
Any Andjarwati, SH., M.Jur, tidak ada kewajiban perusahaan membebaskan lahan
kosong, karena senyatanya itu milik negara. Sehingga yang dilakukan FLTI merupakan
iktikad baik perusahaan,” jelas Rivai.

Berdasarkan
fakta persidangan, imbuh Rivai, Syemlaba telah menerima pergantian pembebasan
6,3 hektare lahan miliknya pada tahun 2005.

Selain itu,
Syemlaba sebagai Kepala Adat
juga ikut menandatangani dokumen pembebasan lahan potensi desa tahun 2011
seluas 282 hektare dan tahun 2014 seluas 90,31 hektare.

Menurut Rivai,
Syemlaba hanya bisa menghadirkan bukti-bukti surat. Itu pun, surat keterangan
tanah tahun 1999 yang hanya berupa fotokopi.
“Dan setelah ditelusuri kebenarannya, berdasarkan
pengakuan Irianus WA mantan Kepala Desa Sekoban, surat tersebut baru
ditandatanganinya di tahun 2020 atas permintaan Syemlaba,” ungkap Rivai.

Baca Juga :  Luka Parah, Pengendara Motor Tewas di Jembatan Kahayan

“Untuk
pemeriksaan lebih lanjut, kami sudah melaporkannya ke Polres Lamandau atas dugaan
pemalsuan surat atau penggunaan surat palsu,” lanjut Rivai. 

Dalam fakta
persidangan juga, lanjut Rivai, ternyata lokasi lahan yang digambarkan Syemlaba
tidak ditemukan. Lahan yang diklaim seluas 18 Ha tersebut, digambarkan sebelah
timur, selatan, dan barat berbatasan dengan sungai.

“Setelah kami
cari, tidak ada bentuk lahan seperti diuraikan dalam gugatan. Kami sampai
menghadirkan peta Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2007, karena Syemlaba
menolak sidang pemeriksaan setempat yang diperintahkan Hakim untuk melihat
obyek sengketa,” tegas
Rivai.

Atas penolakan
Syemlaba tersebut serta pembuktian yang dilakukan FLTI, Majelis Hakim dalam
pertimbangan putusan menyatakan obyek sengketa seluas 18 hektare yang
didalilkan Syemlaba tidak ada atau illusoir
.

Terpopuler

Artikel Terbaru