Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dirasakan lembaga
antirasuah dan semua elemen yang mendukung pemerantasan korupsi. Diam-diam, DPR
telah memutuskan untuk merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dirasakan lembaga
antirasuah dan semua elemen yang mendukung pemerantasan korupsi. Diam-diam, DPR
telah memutuskan untuk merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bukan kali ini saja, upaya pelemahan KPK terbaca. Catatan
Rasamala Aritonang, sebelum-sebelumnya ada upaya pelemahan KPK yang bekerja
sangat sistematis.
“Ada empat paling tidak yang kami catat dari bagaimana
sistematisnya (pelemahan) ini. Pertama kasus Novel Baswedan, sampai hari ini
tidak pernah terungkap,†kata Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk
Hukum KPK itu di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jalan Kalibata Timur,
Jakarta Selatan, Minggu (8/9).
Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel
Baswedan hingga kini belum juga terungkap. Rasamala memandang, belum ada
keseriusan dari pengambil kebijakan dan aparat hukum untuk menyelesaikan kasus
tersebut.
“Dari peristiwa tersebut juga kita belum menangkap satu
keseriusan, satu itikad serius untuk mengungkap siapa pelaku terhadap peristiwa
tersebut,†ucap Rasamala.
Kedua, terkait calin pimpinan (capim) KPK yang dianggap memiliki
catatan buruk. KPK hingga elemen masyarakat telah memberikan kritik dan masukan
terhadap kandidat capim KPK periode 2019-2023.
Namun, hal itu tidak digubris. Bahkan, sejumlah kandidat yang
punya catatan buruk diduga akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan atau fit
and proper test di DPR RI.
“Kritik keras publik terkait dengan profil, terkait dengan track
record, dan catatan dari calon-calon yang disampaikan oleh pansel itu tidak
digubris,†sesal Rasamala.
Rasamala melanjutkan, poin ketiga, adalah rampungnya pembahasan
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh DPR. “Kami telah menyampaikan
beberapa catatan, beberapa problem terkait dimasukkannya delik korupsi dari
undang-undang sekarang yang kemudian dimasukkan ke dalam RKUHP di Pasal
603-607,†ujarnya.
Menurut Rasamala, diterapkannya pasal tersebut berdampak negatif
terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depan. Sebab, jika delik korupsi masuk
ke dalam RKUHP, hal itu dianggap akan melemahkan kewenangan KPK.
“Menurut hemat kami akan mengurangi dan bahkan sama sekali tidak
memberikan insentif terhadap upaya pemberantasan korupsi,†ungkap Rasamala.
Sedangkan poin keempat adalah RUU UU KPK itu sendiri. Rasamala
memandang, inisiatif RUU KPK yang dilakukan DPR seolah muncul secara tiba-tiba.
Dia juga menyinggung poin-poin seputar Dewan Pengawas dan mekanisme penyadapan.
“Secara pokoknya, KPK sudah menyampaikan ada sembilan poin yang
sangat mendasar, sangat fundamental dalam revisi tersebut, yang terutama adalah
berkaitan dengan adanya Dewan Pengawas. Kemudian kedua, ada
kewenangan-kewenangan terkait dengan perizinan atas operasi yang dilakukan
untuk Dewan Pengawas yang diberikan pada Dewan Pengawas,†sesalnya.
Rasamala memandang, berbagai upaya pelemahan KPK terus dilakukan
sangat sistematis. Namun, ia memastikan, hal itu tak mengurangi semangat untuk
melakukan pemberantasan korupsi.
“Empat peristiwa itu rasanya bukan satu hal yang terlalu
berlebihan kalau kemudian kita memotret yang sebagai suatu pola yang sistematis
dalam upaya melemahkan upaya pemberantasan korupsi,†pungkasnya.(jpg)